Jumpa Fans

Menjadi influencer itu memang tidak senikmat apa yang biasa kita lihat di media sosial. Ada tantangan tersendiri untuk menjadi unik dan itu melelahkan.

Sebut saja namaku Vina, influencer berusia 24 tahun yang menjadi salah satu generasi sandwich untuk menghidupi diriku sendiri dan keluarga. Tetapi berkat kerja kerasku, bukan cuma banyak tawaran menggiurkan, aku juga mendapatkan banyak fans.

Ada satu penggemar yang menarik perhatianku. Dia selalu memberikan dukungan yang membuatku terharu dan motivasinya bukan pakai untaian kata kaleng-kaleng.

Saat diriku sedang kehilangan gairah, orang itu selalu memberikan semangat dan beberapa tips layaknya seorang psikolog.

Dari ribuan pengikutku yang aktif, hanya dia sendiri yang selalu mengutarakan decak kagum dengan penampilanku yang katanya tidak ia temukan pada influencer lain.

Dia bahkan mengutarakan ingin bertemu denganku suatu saat nanti untuk menimba ilmu.

Aku terharu…

Terbesit olehku yang ingin membalas kebaikannya. Tapi bagaimana caranya?

Setelah sekian lama aku berpikir, aku mungkin akan mengirimkan parsel kepadanya dengan aku sendiri sebagai kurirnya hahaha! Anggap saja jumpa fans ya?

Esoknya, aku hubungi dia lewat pesan pribadi.

Aku tahu namanya adalah Diah. Saat aku ingin mengirimkannya hadiah, ia begitu gembira hingga pesannya menggunakan huruf kapital semua. Caps lock jebol gitu deh.

Ia mengirimkan alamatnya. Tempat tinggalnya ternyata ada di desa Rahayu, Jawa Timur. Wah jauh juga… Apa bisa pakai kereta ke sana?

Setelah aku cari-cari, ternyata ada stasiun kecil yang dekat sana, syukurlah. Jadilah aku memesan tiket pulang-pergi yang aku jadwalkan di minggu berikutnya.

Hari H tiba, keretanya ternyata mengalami gangguan beberapa jam yang membuatku baru tiba di stasiun mungil tujuanku saat senja hari.

Stasiunnya begitu sepi, hanya ada beberapa orang yang turun. Tidak kutemukan angkutan umum meski hanya ojeg. Penumpang yang turun kebanyakan sudah dijemput oleh keluarganya masing-masing. Apa mungkin sudah terlalu sore ya?

Kemudian aku lihat peta, desa Rahayu sekitar dua kilometer dari sini. Mungkin akan memakan satu jam perjalanan.

Karena mentari sudah mulai semakin menghilang dari ufuk, aku bergegas mempercepat jalanku sambil membawa parsel ini.

Inginnya kuhubungi si Diah itu. Namun kalau ia tahu aku yang datang, bukan kejutan lagi namanya. Aku hanya ingin totalitas saja.

Saat sedang berjalan ke tempat yang mana sudah semakin sedikit manusia terlihat, aku berpapasan dengan seorang ibu tua yang memperhatikanku. Tampak kekhawatiran di raut wajahnya.

“Mau kemana Nak, sudah gelap ini?” Tanya si ibunya.

“Ke desa Rahayu, Bu. Masih jauh ya?” Aku menjawab pertanyaannya.

“Sendirian?”

Ya begitu deh, intinya ada sedikit basa-basi percakapan dengan si ibunya.

“Apa kamu yakin, Nak? Desa yang kamu maksud masih dua kilometer lagi di depan sana. Besok saja ya, tinggal saja sama ibu malam ini.”

“Yakin kok, Bu. Cuma lurus saja, kan?” Aku dengan mantap bertanya.

Si ibu mengangguk. Lalu dengan nada yang penuh dengan kekhawatiran, beliau memberikan wejangan kepadaku agar sebisa mungkin kupatuhi selama perjalanan.

Ada beberapa pesan yang aku tangkap dari ibunya.

1. Berjalanlah dengan tetap menghadap ke depan. Jangan mencoba-coba menoleh ke kanan atau kiri, apalagi ke atas, meskipun perasaanku pada saat itu begitu ingin menoleh.

2. Rute ke desa Rahayu dari sini hanya lurus, tidak ada percabangan. Kata ibunya, apabila aku nanti tiba-tiba berhadapan dengan percabangan, ambil jalan yang lebih jelek. Atau picingkan saja mataku supaya lebih dapat membedakannya. Percabangan itu sebenarnya mengarah ke jurang.

2A. Terlebih saat di percabangan itu aku menemukan rambu jalan, abaikan saja. Tidak pernah ada rambu jalan di sepanjang jalan nanti.

3. Lampu penerangan jalan selalu berwarna kuning. Jika aku nanti menemukan lampu jalan yang berwarna lain, segera menunduk dan sebisa mungkin jangan langsung menghadap ke depan. Cahaya tersebut bukan berasal dari lampu jalan.

4. Si ibu mewanti-wanti agar aku jangan berlari. Jalan cepat boleh, hanya saja jangan berlari. Itu membuat segala sesuatu di sana “tertarik” denganku.

5. Saat aku nanti menemukan seorang warga desa yang menggunakan sepeda motor tua menawarkan jasanya untuk aku tumpangi, lebih baik tolak dengan halus sambil tersenyum. Baik untuk tidak menatap langsung wajahnya.

6. Aku mungkin akan lelah saat berjalan menuju desa Rahayu di pertengahan jarak. Si ibunya bilang, di saat itu biasanya tiba-tiba aku akan melihat sebuah pondok yang menggodaku untuk beristirahat di dalamnya. Sekali lagi, jangan. Berdiam saja selama beberapa detik hingga aku mulai dapat meneruskan kembali perjalananku.

7. Jika nanti semak-semak di pinggir jalan bergerak-gerak beberapa meter di hadapanku, baiknya aku berhenti. Itu adalah penghuni sana yang ingin menyebrang jalan. Aku mungkin tidak ingin melihat siapa atau sosok seperti apa yang menyebrang itu.

8. Pemandangan aneh seperti munculnya kain kafan yang menjuntai dari atas pohon bisa jadi akan menemani perjalanan. Selama tidak aku pedulikan, katanya aku akan aman. Jadi, anggap saja akar pohon beringin.

9. Tidak ada penjual makanan, tidak ada penjual minuman, semua kegiatan warga sudah berakhir pukul lima sore. Untunglah saat aku cek, botol air minum dan sisa bekal roti masih ada.

10. Pastikan aku tidak memotret suasana jalan termasuk pakai kamera HP. Hampir selalu aku akan bisa menangkap apa pun itu dan mereka mungkin akan mengikutiku selama fotonya masih ada di memori kameraku.

10A. Berbicara masalah HP, sinyal akan hilang sebelum tiba di desa Rahayu. Jika ingin menghubungi keluarga atau siapa pun, sekaranglah saatnya.

10B. Oh, masih seputar HP, kalau nanti aku menemukan bagian gelap yang tidak terkena lampu jalan, aku tidak bisa menggunakan lampu flash dari HP. Entah memang tidak bisa kunyalakan lampunya, atau bisa kunyalakan namun akan ada sesuatu yang muncul tepat di depanku secara mendadak saat lampunya menyala.

11. Ibunya sempat bertanya apakah aku sedang haid. Aku menggeleng. Si ibu kemudian terlihat lega sambil memegang dada. Sebab, apa pun itu nanti sepanjang perjalanan tertarik dengan bau darah, dan itu sangat berbahaya bagi diriku. Pernah ada gadis yang terluka saat berjalan di sana, kemudian tidak ditemukan lagi hingga sekarang.

12. Jangan berbalik arah. Jika sudah ragu dan tidak ingin melanjutkan perjalanan, berjalanlah dengan mundur sambil bilang “Permisi, permisi…”. Itu penting sebagai isyarat agar aku tidak menabrak sesuatu saat aku mundur.

13. Sebisa mungkin jangan berteriak saat kaget atau takut, “mereka” mungkin menganggap itu sebagai sebuah serangan.

14. Dilarang setel musik dengan keras untuk mengalihkan perhatianku dari gangguan-gangguan yang bisa jadi akan kutemui di perjalanan nanti, namun aku boleh memakai headset atau earphone. Hanya saja, saat musiknya tiba-tiba berubah jadi suara tawa atau suara tangis, aku wajib mematikan atau melepas segera headsetnya.

15. Begitu nanti sudah tiba di desa Rahayu, langsung cari rumah yang ingin aku tuju. Sebaiknya tidak menoleh ke jalan yang baru saja kulalui tadi sebab dengan setibanya aku di tujuan, belum tentu semuanya usai.

Waw, peraturan yang begitu aneh dan menakutkan. Tetapi itu tidak boleh menyurutkan hasratku untuk melihat reaksi penggemar beratku itu. Anggap saja bisa menjadi pengalaman seru untuk aku jadikan konten.

Sambil berterima kasih kepada ibu itu, aku berjalan agak cepat menembus jalan dengan aspal rusak dan penuh bebatuan di bawah sedikit naungan cahaya kuning lampu jalan yang masih sangat berjarak.

Cahaya senja sudah semakin meredup, semakin gelap. Kini satu-satunya sumber cahaya adalah sorotan lampu kuning jalan yang begitu renggang.

Aku menyadari bahwa aku hanya sendirian berjalan di daerah ini, belum tampak satu rumah penduduk pun terlihat. Satu-satunya yang aku bisa dengar hanyalah suara jangkrik dan binatang malam lainnya.

Perasaanku berubah menjadi tidak nyaman. Ketakutan mulai merambah ke sekujur tubuh, membuatku mau tidak mau mengurungkan niatku untuk bertemu dengan penggemarku itu. Itu pun kalau benar dia ‘berwujud’.

Segera aku balik arah, kembali kepada ibu yang tadi memberitahuku, berharap barangkali aku bisa menginap di rumahnya hingga kereta mulai beroperasi kembali di hari esok.

Tidak lagi aku temukan ibu itu, padahal aku yakin jaraknya belum jauh sejak aku meninggalkannya.

Sekarang di hadapanku hanya ada jalan perkampungan yang seperti tidak berujung, padahal aku ingat tadi tidak seperti ini. Semakin aku berbalik arah, justru seolah seperti semakin masuk ke dalamnya.

Tak lama, kulihat dari ujung jalan, sesuatu menjuntai turun dari dedaunan pohon.

Seperti kain, kain putih. Jangan-jangan itu kain kafan yang ada di salah satu peraturannya!

Semak-semak di depanku mulai bergerak-gerak. Aku langsung menunduk, menatap ke kedua kakiku. Aku tidak ingin melihat apa pun itu di depanku.

Dari sela kakiku terpancar cahaya lampu jalan di belakangku, warnanya bukan kuning, melainkan kemerah-merahan.

Ponselku tidak memiliki sinyal, menjadikanku sia-sia untuk menghubungi siapa pun.

Mulai terdengar suara-suara yang tidak menyenangkan di sekelilingku. Entah suara gumaman, rintihan, atau suara tawa, apa pun itu.

Aku ingin berteriak namun aku sudah terlalu takut.

Aku mau pulang…

Suka
Komentar
pos ke FB
pos ke X
🤗 Selesai! 🤗
Punya uneg-uneg atau saran artikel untuk Anandastoon?
Yuk isi formulir berikut. Gak sampe 5 menit kok ~


  • 0 Jejak Manis yang Ditinggalkan

    Minta Komentarnya Dong...

    Silakan tulis komentar kalian di sini, yang ada bintangnya wajib diisi ya...
    Dan jangan khawatir, email kalian tetap dirahasiakan. 😉

    Kembali
    Ke Atas
    Pakai tema horor