People Pleaser

People pleaser, atau mudahnya kita sebut dengan “orang nggak enakan”, terlalu memprioritaskan orang lain daripada diri mereka sendiri. Seolah mirip dengan sifat naif, padahal sebenarnya berbeda.

Sebelumnya, menjaga perasaan orang lain adalah hal yang terpuji. Menjadi seseorang yang penuh empati adalah perbuatan yang mulia. Apa salahnya selalu menyenangkan banyak orang?

People pleaser ini meskipun istilahnya terdengar positif, sebenarnya lebih condong ke arah negatif. Para people pleaser ini sebenarnya lebih mengarah kepada menghindari respon negatif meski itu normal daripada benar-benar berbuat baik.

Sehingga, people pleaser ini termasuk kepada gejala kecemasan berlebih (anxiety).

Banyak sekali orang-orang yang menjadi people pleaser yang pada akhirnya menyadari dan mengeluh betapa lelahnya kegiatan mereka, namun seolah tidak bisa lepas dari itu semua.

Apakah saya seorang people pleaser? Bagaimana people pleaser dapat terjadi? Apa pemicunya? Bagaimana caranya keluar dari masalah ini?

Baik, saya coba berbincang masalah ini.


Mereka yang “gak enakan”

Siapakah para people pleaser itu? Apakah saya, penulis artikel ini, juga termasuk people pleaser?

Benar, saya dulu pernah menjadi people pleaser. Keinginan saya untuk selalu menyenangkan orang lain pernah hinggap pada diri saya sepuluh tahun lalu.

Sebenarnya sampai hari ini saya masih menjadi people pleaser, tetapi sudah dalam dosis yang sangat, sangat minim.

Dahulu, saya selalu berusaha memenuhi keinginan orang lain meski saya benar-benar sedang tidak mampu pada saat itu.

Apa yang ada di pikiran orang lain tentang saya telah menjadi penentu suasana hati saya kala itu. Saat ada orang lain yang tidak senang dengan saya, maka itu bisa menggerogoti pikiran saya berhari-hari, merusak motivasi saya.

People pleaser itu seperti lilin, menerangi orang lain namun dirinya sendiri binasa.

Padahal jika kita lihat, para people pleaser dapat menjadi sasaran empuk orang lain yang gemar memanfaatkan atau melempar kesalahan.

Apakah saya pernah menjadi seorang people pleaser? Ya, pernah. Tetapi itu dulu, dulu sekali.

Sebagai CTO yang kerap pulang malam, saya selalu memikirkan fitur yang bisa membahagiakan bukan hanya klien saya, tetapi juga tim saya.

Saya pun menyediakan wadah “wish & wonder” bagi tim saya, baik di dalam divisi IT maupun diluar itu agar kian mempermudah dan mereka semakin semangat bekerja.

Saya pun berusaha menolong orang lain semampu saya. Memberikan empati dan pengertian ekstra.

Bukan, saya bukan people pleaser, setidaknya sudah bukan lagi.

Saya sudah berani berkata “tidak”, saya pun siap dibenci orang lain yang menjadi parasit bukan hanya bagi saya, tetapi bagi sekitarnya pula.

Perbuatan baik dan ekstra ini saya lakukan hanya karena kewajiban saya sebagai manusia saja. Istilah relijiusnya, “Dengan niat mencari ridha Allah Ta’ala”.

Maka dari itu alhamdulillah saya merasakan sendiri kemudahan-kemudahan dalam hidup saya, rezeki yang seringnya tak saya sangka, dst.


Secercah kisah

Pernah dulu, saya ikut membangun suatu tempat yang potensial bersama pengelolanya.

Saya keluar uang hingga jutaan untuk mempercantik tempat itu dan pengelolanya bahagia. Jadilah tempat itu terhias cantik dan nyaman.

Hingga akhirnya ada pengguna yang memanfaatkan tempat itu semaunya sampai membuat pengguna lain resah. Ia tidak terima saya tegur dan memaki saya di depan pengelolanya.

Di luar dugaan saya, pengelolanya justru membela orang yang bermasalah tersebut dan bahkan menyuruh saya diam. Sejujurnya saya sakit hati.

Akhirnya, saya menghentikan kontribusi saya yang ternyata pengelolanya pun tidak masalah. Sedari awal memang pengelolanya seolah tidak memiliki niat untuk membangun tempatnya sendiri meski sudah komersial.

Dari sinilah saya merasakan sedih, lelah, dan sakit karena kecewa yang begitu dalam. Itu sampai membuat saya depresi, hingga sesak di dada.

Kini, saya hanya berbuat baik semampu saya, bukan terpaku untuk menyenangkan orang lain semata. Saya sudah mengenal batasan saya dalam berbuat baik.

Jika saya merasa seseorang mulai memanfaatkan saya berlebih, saya hanya tersenyum sambil menggeleng, kemudian memohon maaf kalau saya tidak bisa membantunya lebih dari itu. Masalah ia akan membenci saya, sudah bukan lagi urusan saya.

Yang terpenting kewajiban saya dalam berbuat baik sudah saya tunaikan, dan saya berusaha sebaik yang saya mampu.


Mencari sang pemantik

Benar bahwa people pleaser adalah sebuah masalah kesehatan mental. Sama seperti trauma, perihal people pleaser ini memiliki pemicu.

Pemicunya bukan hanya satu, namun bermacam-macam. Jadi orang-orang yang merasa menjadi people pleaser bisa mengidentifikasi mandiri kira-kira poin apa yang paling dominan membuat mereka tidak ingin mengecewakan orang lain secara berlebih.

1. Trauma masa lalu

Seringnya mengecewakan orang lain termasuk diri sendiri bisa menjadi pemantik orang menjadi people pleaser. Apalagi saat kekecewaannya itu membuat seseorang mengira dirinya tidak berguna.

Karena itulah seseorang tidak ingin mengulangi kesalahannya di masa lalu dan sebisa mungkin tidak ingin mendapatkan reaksi negatif dari orang lain, meski ia dimanfaatkan.

Reaksi negatif itu bisa membawa trauma masa lalunya kembali ke permukaan.

Tetapi jika ia tidak menghentikan perbuatannya itu, maka dirinya sendiri akan mendapatkan penderitaan baru yang membuatnya trauma juga. Jadi mirip seperti lingkaran setan.

Terlebih saat seorang people pleaser berada dalam tim atau lingkungan yang menuntut dan saling menekan satu sama lain (peer presure). Ia rela terombang-ambing ombak karena mencari aman meskipun ia tahu itu akan membahayakannya dan orang lain yang sedang tidak ingin berpartisipasi.

2. Perfeksionis

Inilah salah satu penyebab saya menjadi seorang people pleaser. Apa yang saya lakukan harus membuat orang lain bahagia. Maka dari itu saya sangat kecewa jika perbuatan baik saya bertepuk sebelah tangan.

Walaupun, saya sudah mengetahui bahwa saya tidak mungkin membahagiakan setiap orang.

Hanya saja, perasaan wajib membuat setiap orang berbahagia ini sudah menjadi akar yang mencengkeram batin saya, menjadikan setiap kesalahan saya begitu membuat saya tidak dapat tidur nyenyak.

Benar, saya terlalu memikirkan perasaan orang lain yang terkena imbas kesalahan saya.

Saya tidak ingin nama saya menjadi buruk, meski hanya di mata satu orang saja.

3. Mereka yang naif

Terlalu sering mendengar dongeng utopia bisa membuat seseorang menjadi people pleaser. Mengapa bisa?

Ada dongeng yang menceritakan kehidupan di suatu daerah yang selalu baik dan damai. Yang membuat onar hanyalah orang jahat saja.

Sampai sini saya pikir tidak perlu saya jelaskan lebih jauh.


Adakah penawar?

Seorang people pleaser sepertinya memang harus bertemu dengan orang-orang yang terus memanfaatkannya bahkan sampai terus-menerus melempar kesalahan kepadanya.

Bila perlu, sampai depresi.

Dari sini, barulah seorang people pleaser ini dapat mengetahui kemana arah perbuatan mereka selama ini. Apakah akan menjadi hero atau menjadi villain.

Namun, depresi bisa menjadi wadah untuk mengubah sifat “nggak enakan” seseorang. Air mata bisa membuatnya melihat dengan lebih jernih.

Jika sudah sampai tahap ini, agar kita tidak berujung menjadi villain sebab backstory yang buruk saat kita menjadi people pleaser, kita harus tetap berbuat baik.

Tetapi berbuat baiknya seperti yang telah saya sebutkan, karena kewajiban kita sebagai manusia.

Jangan khawatir, kebaikan kita akan mendapatkan audiensnya tersendiri yang tidak terpengaruh meski pada saat itu kita bilang “tidak”.

Audiens atau lingkaran kita akan terus menjadi lebih baik seiring kita terus berimprovisasi atau terus memperbaiki kualitas perbuatan baik kita.

Kita pun menjadi lebih siap dibenci orang lain yang memang menjadi sumber masalah bagi sekitarnya juga.

Jadi, tetaplah dalam perbuatan baik kita. Tetapi jangan lupa untuk senantiasa melakukan perbaikan atau improvisasi perbuatan baik kita juga.

Ini bukan untuk orang lain, melainkan untuk diri kita sendiri.

Suka
Komentar
pos ke FB
pos ke X
🤗 Selesai! 🤗
Punya uneg-uneg atau saran artikel untuk Anandastoon?
Yuk isi formulir berikut. Gak sampe 5 menit kok ~

  • Sebelumnya
    Tips Lebih Bahagia 44: Berburu Magic

    Berikutnya
    Jakarta Itu Keras, Masa Sih?


  • 0 Jejak Manis yang Ditinggalkan

    Minta Komentarnya Dong...

    Silakan tulis komentar kalian di sini, yang ada bintangnya wajib diisi ya...
    Dan jangan khawatir, email kalian tetap dirahasiakan. 😉

    Kembali
    Ke Atas