Kita sudah mengetahui bahwa zaman semakin canggih dan terus berkembang. Tetapi di satu sisi, ada perasaan kita yang campur aduk dalam menanggapi kecanggihan teknologi.
Benar bahwa teknologi banyak berjasa meringankan pekerjaan dan aktivitas keseharian kita. Justru di satu sisi, kita merasa teknologi justru membuat orang-orang semakin leluasa dan semaunya.
Apakah teknologi membuat orang-orang semakin pintar atau semakin bodoh?
Maksudnya, apakah teknologi ini membuat kita menjadi semakin mudah memahami masalah dan semakin mudah pula memecahkannya; Atau,
Teknologi justru membuat kita terlalu bergantung kepadanya hingga kita lupa bagaimana konsep dasar dari setiap aktivitas yang kita lakukan.
Jangan sampai misalnya, karena ketergantungan kita dengan kalkulator, itu membuat kita melupakan prinsip penjumlahan dasar dan operasi matematika lainnya.
Dan juga jangan sampai karena ketergantungan kita dengan kendaraan bermotor atau transportasi online, itu membuat kita semakin enggan berjalan kaki dan berolahraga meski hanya membeli makan di restoran seberang jalan.
Beberapa kita bertanya-tanya, di satu sisi teknologi membuat urusan hidup menjadi lebih sederhana, namun di sisi lainnya membuat beberapa manusia semakin meremehkan urusan hidup mereka.
Untuk kita yang khawatir bagaimana dampak teknologi ke depannya, jadi bagaimana dampak teknologi ini? Apakah membuat manusia semakin pintar atau semakin bodoh?
Jawabannya sama dengan uang, teknologi tidak membuat kita lebih pintar atau bodoh, melainkan menampakkan sifat asli kita.
Atau analogi lain, sama seperti pisau. Fungsi pisau akan berbeda di tangan koki dan di tangan penjahat.
Orang yang pada dasarnya tidak produktif, maka dengan adanya teknologi ia akan menghabiskan hari-harinya hanya berkutat di depan layar saja.
Sebagian orang enggan berlelah-lelah memasak makanan karena mereka terlalu mengandalkan jasa pengantar makanan online.
Pegawai atau buruh yang memang memiliki semangat kerja yang buruk, dengan adanya teknologi maka rendahnya kualitas kerja mereka akan semakin terlihat.
Saat orang yang tidak berpendidikan atau suku di pedalaman mendapatkan teknologi, mereka justru kecanduan hal-hal negatif seperti pornografi. Kalian dapat membaca beritanya di sini.
Padahal setiap orang yang mengembangkan teknologi telah bersusah-payah mengorbankan waktu dan tenaga serta pikiran mereka untuk menyediakan kemudahan bagi masyarakat.
Kemudahan adalah anugrah bagi orang rajin dan malapetaka bagi orang malas.
Orang yang rajin akan lebih banyak menghasilkan manfaat dengan adanya bantuan teknologi. Waktu berkarya dan bekerja mereka akan semakin efisien berkat teknologi yang mereka gunakan.
Berbeda dengan orang malas. Mereka akan terlalu mengandalkan teknologi sebagaimana mereka memanfaatkan orang lain agar bekerja untuknya atau mereka dapat pintai tolong dengan cuma-cuma.
Banyak orang yang memanfaatkan teknologi demi ambisi mereka dengan usaha seminimal-minimalnya. Kemudahan dan kecanggihan fitur dari teknologi yang mereka gunakan justru menjadi jalan pintas yang tidak wajar untuk mereka.
Itu bukan bagian dari rasa syukur sama sekali. Pengaplikasian rasa syukur terjadi apabila diri kita menjadi lebih baik dengan apa yang kita syukuri.
Contohnya, beberapa kali saya nyatakan dalam postingan saya yang lain, seperti desainer grafis atau fotografer yang menjadikan teknologi sebagai jalan pintas untuk memamerkan ego mereka.
Beberapa desainer dan fotografer amatir langsung menggunakan tutorial, tools, dan template secara instan, hanya mengubah warna atau pengaturannya sedikit kemudian mengklaimnya sebagai hasil jerih payah mereka.
Begitu pula dengan programmer atau bahkan pekerjaan yang non IT sama sekali.
Saya pernah melihat arsitek yang tidak memiliki kemampuan untuk mendesain bangunan sama sekali, ternyata bisa membuat bangunan yang menakjubkan hasil dari gabungan blueprint desain arsitek lain.
Terlebih, saya pernah melihat ada software yang dapat memberitahu porsi bangunan yang rentan rubuh apabila terkena angin kencang atau gempa bumi. Setiap orang dapat mengoperasikan software tersebut tanpa harus menghabiskan waktu, pikiran, harta, dan tenaga di sekolah sipil.
Dahulu masyarakat banyak yang produktif karena acara favorit mereka hanya tayang beberapa kali dalam seminggu. Itu pun bukan tayang di jam-jam sibuk.
Sementara hari ini, hampir setiap orang memiliki kesempatan mengendap-endap mencuri waktu dari aktivitasnya demi dapat bersantai menikmati tayangan favorit mereka lewat telepon genggam.
Jadi bagaimana, haruskah kita menggunakan teknologi apabila sesuatu yang memanjakan itu justru membuat kita lebih buruk?
Sekali lagi, kemudahan teknologi hanya akan menampakkan sifat asli kita dan menunjangnya, yang mana dari sana akan terlihat apakah dengan teknologi itu membuat kita lebih baik atau buruk.
Kita bisa menganalisa sendiri dampak teknologi tersebut atas diri kita.
Apakah teknologi membuat waktu kita semakin teratur atau semakin berantakan?
Apakah teknologi membuat pekerjaan kita semakin banyak yang selesai atau semakin banyak yang tertunda?
Kesalahan tidak terletak pada teknologi, justru bersyukurlah karena teknologi menunjukkan siapa diri kita sebenarnya.
Saat kita merasa teknologi membuat kita semakin bodoh, bagaimana cara kita untuk memperbaiki diri?
Sebaliknya, saat kita merasa teknologi membuat kita semakin pintar, bagaimana cara kita mempertahankannya?
Namun sayang beribu sayang, sebagian besar orang tidak pernah merasa saat teknologi membuat mereka menjadi lebih buruk. Ciri-cirinya adalah mereka hanya menyalahkan teknologi, enggan menyalahkan diri mereka sendiri.