Sekontroversial judul artikelnya, memang itulah kenyataannya.
Saya sudah bersiap jika nanti ada beberapa muslim yang naik pitam dan langsung menghakimi saya karena judul yang (bagi mereka) sangat tidak pantas seperti ini.
Namun apabila seorang muslim benar-benar berusaha mengamalkan Al-Quran yang katanya mereka jadikan panutan itu, mereka seharusnya telah memahami istilah ‘tabayyun’ di atas kata ‘menilai secara sepihak’.
“Tabayyana – yatabayyanu – tabayyun”
secara harfiah berarti meminta penjelasan (bayan), memverifikasi.
Mengapa saya lebih memilih mendengarkan musik daripada AlQuran? Pertanyaan bagus!
Beberapa tahun lalu pernah saya menulis artikel agar beberapa muslim berhenti membandingkan musik dengan alQuran.
Sejujurnya saya sangat tidak senang saat saya sedang mendengarkan musik, kemudian ada yang mencolek saya dengan berkata, “Daripada dengerin musik, mending denger tilawah alQuran.”
Menyandingkan atau bahkan menyamaratakan alQuran dengan segala sesuatu yang dibuat oleh manusia, bagi saya adalah sebuah penghinaan terhadap alQuran itu sendiri.
Ya, beberapa muslim menurunkan derajat alQuran menjadi setara dengan musik. Naudzubillah.
Mereka melakukan hal seperti itu dan selalu berdalih dengan ayat berikut,
Dan apabila dibacakan Al-Qur’an, maka dengarkanlah dan diamlah, agar kamu mendapat rahmat.
(Al-A’raf: 204)
Maka dari itulah mereka menggantikan musik-musik di gadget mereka dengan kumpulan mp3 lantunan ayat alQuran. Kemudian hanya dengan ‘bermodal’ itu, mereka dengan beraninya mengganggu orang lain agar mengikuti jalan mereka.
Padahal, seorang muslim dapat mencari juru tafsir atau minimal seorang guru fikih mengenai maksud lebih dalam ayat tersebut.
Di sana telah tertulis, “Istama’a – yastami’u” bukan cuma sekedar “sami’a – yasma’u”.
Atau bahasa mudahnya, di sana dijelaskan untuk menyimak bacaan alQuran, bukan sekedar mendengarkan seperti layaknya musik. Karena sudah jelas, alQuran berisi peringatan yang menjadi panduan, bukan dimaksudkan hanya untuk hiburan.
Yang lebih mengkhawatirkan, peristiwa seperti ini mendekatkan kepada salah satu tanda akhir zaman.
“Akan keluar manusia dari arah timur dan membaca Al-Qur’an namun tidak melewati kerongkongan mereka.”
(HR. Bukhari)
Bisa jadi hari ini, sebagian muslim membaca alQuran dan membagus-baguskan suaranya demi dapat terpampang di layanan streaming. Dari sana para muslim yang menggantikan musik dengan bacaan alQuran akan membuat para qari/ah tersebut menjadi pasar baru.
Percaya atau tidak, saya pernah menemui seseorang yang memilih-milih qari/ah untuk mengisi playlist bacaan alQurannya. Ia hanya ingin mendengarkan lantunan yang sesuai dengan selera individual.
Semoga jangan sampai alQuran hanya berhenti di kerongkongan mereka saja. Mereka mendengarkan, namun tidak masuk dalam sanubari.
Orang kafir, orang gila, bahkan binatang pun mendengarkan alQuran, namun apakah mereka serta-merta mendapatkan rahmat? Karena tentu saja alQuran itu lebih dari sekedar hal untuk didengarkan.
Kita bukanlah orang Arab yang hidup di zaman Rasulullah saw., jadi saat dibacakan alQuran kepada kita, kita tidak langsung paham apa maknanya.
Cobalah agar mendatangi kajian-kajian fikih yang membahas bagaimana cara mengamalkan alQuran dengan baik dan benar. Bahkan kita sendiri sudah memiliki panutan yang menurut istrinya r.a, akhlak beliau adalah alQuran.
Orang yang insyaAllah sudah memahami hal ini, ia dapat memilah mana musik yang layak ia dengar, dan mana musik yang tidak bermanfaat baginya. Musik dapat bermanfaat memberikan inspirasi kerja, dan hiburan layaknya seorang teman mengobrol.
Jadi musik bukanlah tempat pelarian, apalagi sampai pemberi ketenangan di luar alQuran.
Rasa bahagia yang keluar sebab mendengarkan musik, sama seperti rasa bahagia saat kita melihat hasil-hasil desain yang indah, atau saat membaca cerita yang menyenangkan. Tidak lebih.
Bahkan secara mengejutkan, saya pernah menutup telinga saat ada lantunan ayat alQuran. Kok bisa?
Ada sebuah masjid yang senang menyalahgunakan pengeras suara untuk meminta sumbangan dan memutar tilawah dengan sangat keras padahal bukan dalam waktu yang diizinkan, bukan tahrim, bukan karena ada acara, dan masih sangat jauh dari waktu shalat mana pun.
Ditambah, saya pada saat itu sedang sakit kepala karena kurang tidur. Alhamdulillah saya memiliki penutup telinga jadi saya dapat terbebas dari suara lengkingan pengeras suara di waktu-waktu yang sangat tidak layak.
Padahal, Rasulullah Muhammad saw., pernah menyuruh sahabatnya agar memelankan suara bacaan alQuran agar tidak mengganggu orang lain yang mungkin juga sedang dalam aktivitas munajat mereka.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam beri’tikaf di Masjid, lalu beliau mendengar mereka (para sahabat) mengeraskan bacaan (Al Qur’an) mereka. Kemudian beliau membuka tirai sambil bersabda: “Ketahuilah, sesungguhnya setiap kalian tengah berdialog dengan Rabbnya, oleh karena itu janganlah sebagian yang satu mengganggu sebagian yang lain dan jangan pula sebagian yang satu mengeraskan terhadap sebagian yang lain di dalam membaca (Al Qur’an) atau dalam shalatnya.”
(HR. Abu Daud & Ahmad)