Menyelesaikan pekerjaan di kamarku mungkin sudah sedikit membuatku bosan, jadi aku menenteng tas laptopku untuk pergi ke taman beberapa blok dari rumah ku.
Kulihat jam sudah menunjukkan pukul 8 malam, mungkin satu jam cukup untuk mencari udara malam, atau setidaknya sampai baterai laptopku melemah.
Tak biasanya jalanan agak sepi, hanya ada beberapa orang yang duduk-duduk di ujung gang. Baguslah, aku bisa lebih fokus menyelesaikan pekerjaan.
Aku tiba di taman, duduk di salah satu bangku yang menurutku paling nyaman, membuka laptopku, sembari menyalakan tethering dari ponsel. Angin sepoi-sepoi terasa segar kuhirup, bermandikan cahaya lampu taman dan beratapkan dahan pohon rindang.
Taman ini ada di belakang pemukiman, jadi sumber cahaya cukup minim di sini. Hanya taman pemukiman kecil, bukan taman kota. Agak menyeramkan namun sangat cocok untuk menyendiri. Untunglah angka kriminal di tempatku rendah.
Aku Ario, pemuda berusia 27 tahun, karyawan swasta yang bekerja dengan berkutat di depan layar. Mencoba menyelesaikan sisa draft yang sebenarnya batas waktunya tinggal beberapa hari lagi.
Kutemukan nama ponselku di daftar wifi laptop, dengan beberapa nama wifi aneh lain.
Bahkan ada nama yang terlalu aneh, hanya huruf “x”. Apakah itu seperti Twitter? Atau situs dewasa? Entah. Indikator sinyalnya penuh.
Iseng, aku klik wifi tersebut, dan memintaku memasukkan passwordnya. Pikiranku yang iseng memasukkan huruf “x” delapan kali dan tidak berharap apa pun selain menunggu animasi loadingnya selesai.
Tersambung.
Aku tidak salah. Tersambung. Laptopku tersambung dengan wifi aneh itu.
Aku langsung mencoba mendownload musik agar tahu berapa kecepatannya. Tidak perlu memberitahuku tentang speed test, aku lebih senang melihat kecepatannya langsung di panel downloadnya.
5MB/s. Wow, cepat sangat! Aku tidak tahu wifi siapa ini tapi maafkan aku ya…
Langsung saja kucari situs-situs download film dan video untuk kudownload sepuasnya. Bagiku ini seperti rezeki nomplok. Bahkan aku lupa apa tujuan pertamaku datang ke taman ini.
Oh iya, sambil menunggu download selesai, aku matikan tethering di ponselku dan menyambungkan ke wifi bernama “x” itu.
Tersambung dengan sempurna.
Kutelepon pacarku untuk mengabari ini. Pacarku terheran-heran tidak percaya. Bahkan agar lebih puas, kualihkan menjadi videocall. Jadilah kami berbincang sampai aku mulai terserang kantuk malam itu.
Besoknya aku masuk ke kantor, melanjutkan tugas yang seharusnya aku kerjakan di taman kemarin malam. Namun sebelum memulai kerja, hobiku adalah membuka situs berita selama beberapa menit.
Kubuka laptop, menunggu sampai wifi tersambung otomatis, lalu mengetik situs berita.
Browser kemudian menyambungkan ke situs berita, kuseruput kopi, menunggu hingga situsnya termuat.
Terbuka sebuah situs hitam, dengan latar belakang bercak-bercak darah. Termuat teks-teks dengan bahasa yang terenkripsi, mungkin seperti deretan simbol-simbol tak bermakna.
Kuturunkan gelas dari kopi, terpana sejenak. Ada sebuah kotak di situs itu yang seperti bingkai foto dengan foto yang belum termuat.
Aku perhatikan seksama…
Sebuah kepala perempuan bermata hitam tiba-tiba muncul memenuhi bingkai. Aku terhentak, kopi dalam gelasku tumpah sebagian mengenai kemeja.
AAHHH!!! Dengan reflek aku berteriak dengan cukup kencang.
Rekan kerjaku di ruangan itu seluruhnya menghadapku dan beberapa menghampiriku.
“Yah si Ario kenapa lagi? Minum kopi sampe tumpah begitu. Kepanasan ya?” Tegur salah satu rekan kerja terdekatku, Bobby. Ia bertato seperti preman, tetapi ia hanya pekerja kantoran biasa.
Aku yang langsung menaruh cangkir ke meja, langsung menunjuk layar laptopku dengan gemetar dengan masih menatap Bobby.
“Apaan?” Singgung Bobby. “Kaget sama perolehan suara pemilu? Alah kayak baru pertama kali aja.”
Aku terdiam, kemudian menoleh ke layar. Sebuah situs berita favoritku kini terhampar dengan berita utama tentang pemilu.
Aku menoleh lagi kepada Bobby, menggeleng dengan pasti.
“Bukan! Tadi bukan ini yang terbuka! Websitenya gelap terus ada kepala perempuan muncul!” Aku membela diri.
Teman-temanku yang lain menertawakanku, termasuk Bobby. Ia bahkan menuduhku terlalu sering menonton film horor. Bagiku terlalu cepat menyimpulkan. Tapi… mungkin ia benar. Itu hanya halusinasiku saja.
Suasana ruanganku kembali kondusif. Bobby sudah duduk di kubikalnya. Aku, dengan jantung yang masih berdegup kencang mulai kembali menatap situs berita yang sudah ‘benar’.
Tetapi pandanganku tertuju kepada ikon wifi di laptopku yang telah terputus.
Aku menyambungkannya kembali dengan wifi kantor, dan bekerja seperti biasa.
Siangnya, aku biasa memakan makan siang sambil menonton di Youtube. Kutaruh makan siangku di meja, kubuka kembali laptopku dari keadaan ‘sleep’nya.
Wifi tersambung, aku membuka Youtube.
Halaman beranda Youtube muncul, tetapi entah, aku merasa asing dengan tampilannya.
Video-video rekomendasi yang tersaji di beranda bukanlah video yang sering kutonton. Bahkan bukan jenis video yang suka aku tonton.
Di antara thumbnailnya adalah foto orang yang tewas bersimbah darah, kain putih yang melayang di atas batu nisan, dan… di pojok kanan bawah, aku menemukan foto kepala perempuan itu tadi.
Kuperhatikan dengan sesama. Aku menyeka mataku untuk meyakinkan.
Thumbnail kepala wanita dengan mata menghitam itu bergerak-gerak. Mulutnya perlahan tersenyum. Menatapku.
Aku terhening sejenak, berkeringat basah.
“BOBBYYY!!!”
Kupanggil Bobby dengan keras, ia segera menghampiriku.
“Ada apa?! Ada apa??!!!” Bobby panik.
Aku kembali menunjuk laptopku sambil menatap Bobby seperti yang kulakukan tadi pagi.
“Iya, itu Youtube?”
Kualihkan pandanganku kembali ke layar laptopku yang ternyata hanya beranda Youtube dengan rekomendasi video normal yang sering kutonton. Tapi aku kali ini langsung melihat ke ikon wifi.
Terputus, seperti yang tadi pagi.
“Nah kan! Terputus lagi!” Sambil kuceritakan tentang beranda Youtube horor tadi.
Bobby kali ini agak bersimpatik kepadaku. Ia adalah rekan kerja terdekatku, dan ia tidak pernah melihatku seperti ini sebelumnya.
Bobby sempat berceloteh jika laptopku ini memiliki penunggu, namun ia bersedia menungguku sampai aku menyambungkan kembali dengan wifi kantor dan website yang kukunjungi menjadi sedia kala.
Sorenya, setelah coffee break, aku agak marah dengan kejadian hari itu. Aku kembali membuka laptopku.
Aku membuka browser dan tidak ingin kuketik apa pun. Hanya halaman awal browser default. Aku kemudian memandang ikon wifi yang telah tersambung.
Ada sesuatu bergerak-gerak dari atas layar, membuatku kembali melemparkan tatapanku ke bagian atas layarku, tepat ke address bar browser.
Sesuatu yang hitam menjuntai perlahan menuruni bilah address bar. Ini lebih hitam dari warna dark mode browser. Sesuatu yang hitam itu perlahan semakin panjang dan aku mengenali itu.
Rambut wanita. Melihat itu aku menjadi agak panik dan ketakutan. Aku kembali memandang ikon wifi tersebut dan tiba-tiba berinisiatif agar segera menonaktifkan wifinya.
Saat kubuka panel wifi, kusadari laptopku tidak tersambung ke wifi kantor, tetapi ke “x”.
Rambut yang menjuntai perlahan itu sudah mulai menampakkan dahi.
Aku terkejut bukan main, aku langsung mencoba mematikan sambungan wifinya, sembari mencoba menscreenshot layar untuk kutunjukkan kepada orang-orang.
Tiba-tiba rambut tersebut seperti tertarik kembali ke atas dan menghilang dengan sempurna ke balik panel address bar.
Kulihat screenshot, hanya browser normal dengan ikon wifi yang tidak tersambung.
Aku tidak tahan dengan ini, sepulang kerja aku berencana mengunjungi orang pintar terdekat untuk memberikanku solusi. Aku browsing dan mendapatkan nomornya satu.
Sial, aku lupa tenggat waktu tugas kantorku berakhir hari ini, dan aku masih belum menyelesaikannya.
Malam itu, setelah aku berusaha keras menyelesaikan tugasku, aku pulang terburu-buru.
Aku langsung ke kontrakan, mandi, dan berganti baju.
Lampu di kontrakanku tiba-tiba mati, mati listrik.
Tak lama, ponselku yang kutaruh di meja menyala dengan sendirinya. Namun hanya ada layar putih terang.
Aku tiba-tiba membeku. Memandang layar ponsel sekitar tiga langkah dari tempatku berdiri.
Dari layar tiba-tiba muncul sebuah tangan, dengan kuku yang panjang, langsung mencengkeram apa pun yang berada di dekatnya.
Aku kaget bukan kepalang, berteriak sekuat tenaga. Apa pun itu sepertinya sedang berusaha keluar dari ponselku. Aku berlari keluar dari kontrakanku sejauh mungkin.
Sial, aku jadi tidak dapat mengunjungi orang pintar. Nomornya ada di ponselku itu! Dari jauh, aku melihat jendela kamarku menjadi agak menyala karena layar ponselku.
Tetapi ada yang sedang menatapku kembali dari balik jendela. Aku tidak ingin tahu apa itu dan kembali berlari.
Ada hotel di dekat kontrakanku. Untunglah aku membawa dompet jadi aku menghabiskan malamku di sana. Semoga apa pun itu tadi tidak mengikutiku. Aku terlalu lelah dan tertidur.
Pagi tiba. Pukul delapan aku kembali ke kontrakanku dengan masih dalam keadaan takut, sambil menengok jendela kamarku yang sepertinya terlihat normal.
Untunglah aku melihat tetanggaku jadi aku meminta tolong mengantarkanku masuk ke dalam kamar. Aku beralasan saja semalam aku mendengar orang menyelinap masuk ke dalam kontrakan.
Bersama tetanggaku, kami masuk ke dalam kamar. Kamarku sepertinya terlihat normal seakan tidak pernah terjadi apa-apa, sampai kami melihat ke meja.
Alangkah terkejutnya kami, beberapa kertas dan buku terlihat sobek. Juga ada beberapa bekas cakaran di meja yang mengarah ke layar ponselku.
Tetanggaku sepertinya pernah mengetahui hal ini dan memberikanku catatan tentang alamat orang pintar terdekat. Aku berterima kasih kepadanya dan langsung pergi kerja. Tentu saja kutinggalkan ponselku, sebab aku masih trauma.
Di kantor, aku izin kepada atasanku untuk pulang cepat, lalu kujual laptopku kepada Bobby. Tidak ada isi apa pun di sana, kecuali hanya file pekerjaan yang telah selesai dan film-film ilegal yang kudownload lewat wifi terkutuk itu.
Aku jual dengan harga murah, hanya 2 juta setengah. Dan Bobby juga sedang membutuhkan laptop tambahan. Terjadilah transaksi mutualisme.
Seluruh file berharga ada di harddisk semuanya jadi aku tidak kehilangan apa pun dari laptopku itu.
Sepulang dari tempat kerja yang masih tengah hari, aku bergegas menuju rumah orang pintar. Rumahnya ternyata ada di seberang kelurahan, hanya 2km dari kontrakanku.
Sebuah rumah yang tidak begitu spesial, sama seperti rumah kebanyakan pada umumnya dengan teras beranda yang beratap sejuk.
Aku membuka pagar terasnya yang hanya sepinggang, lalu mengetuk pintunya.
Tak lama, pintu dibuka oleh seorang bapak yang mungkin di usia 40-an.
“Pak, maaf, apakah ini rumah Bapak Sanusi?”
“Oh, saya sendiri…”
Wah, kebetulan. Si bapak langsung menyuruhku duduk di kursi teras yang tersedia. Suara kriet empuk dari kursi anyaman bambu ini mengingatkanku akan rumah nenekku dulu.
Bapak Sanusi membawakanku segelas air sambil dengan hangatnya membuka perbincangan, bertanya kepadaku apa tujuanku datang ke rumahnya.
Kuceritakan semuanya.
Senyum Pak Sanusi agak memudar seiring aku bercerita. Ia sepertinya sangat menungguku mengakhiri ceritaku, jadinya aku langsung menyelesaikan ceritaku.
Tibalah giliran pak Sanusi menambahkan cerita,
“Di rumah yang tidak jauh dari taman itu, sempat ada karyawati perantauan yang tinggal. Suatu hari ada saat di mana tidak lagi terdengar kabar tentangnya, masyarakat dan koleganya hingga mendobrak pintu rumahnya.”
“Dia, karyawati, telah ditemukan tergeletak bersimbah darah, tak lagi bernyawa. Ia bunuh diri dengan menyayat pergelangan tangannya. Rumornya, seseorang meretas laptopnya dan menyebarkan foto syur pribadinya ke jejaring sosialnya lewat wifi yang sedang ia gunakan. Pastinya dia malu hingga mengakhiri hidupnya.”
Pak Sanusi kemudian berasumsi, “Mungkin ia ingin balas dendam kepada si peretas dan memburu siapa pun yang menggunakan wifinya.”
Pak Sanusi menghela nafas, melanjutkan, “Jadi, inikah yang terhubung wifi terkutuk itu?” sambil mengangkat ponselku yang kutaruh di meja. Aku mengangguk.
Pak Sanusi kemudian memohon izin membawa ponselku masuk ke dalam rumahnya, sementara aku menunggu di terasnya. Aku hanya bisa percaya kepada beliau demi mengakhiri teror wifi ini.
Selang beberapa menit, pak Sanusi keluar lagi, memberikan ponselku yang sedikit basah. Aku tidak tahu beliau melakukan apa namun sepertinya saat aku nyalakan ponselku, semuanya masih bekerja, dan tidak terhubung wifi apa pun secara otomatis.
Intinya aku berterima kasih dan memberikan bayaran sepantasnya kepada beliau, sambil sumringah pulang, merasa lega.
Beliau mengakhiri percakapan sebelum kami berpisah, “Seharusnya tidak ada lagi wifi yang terpancar karena rumah tersebut sudah kosong beberapa bulan. Kau bisa jadi termasuk orang yang ‘beruntung’.”
Malamnya, aku menelpon Bobby dan memberitahu hal ini.
Telepon terangkat, namun “halo”ku tidak terbalaskan.
“Halo Bob? Halo? Halooo? Nggak ada sinyal kah?” Aku kembali bertanya.
Aku hanya mendengar suara nada statis seperti TV rusak.
Tak berapa lama, sayup-sayup terdengar suara lain.
Itu seperti suara perempuan tertawa dari jauh.
Aku kembali ketakutan dan langsung saja kumatikan ponselku. Setelah itu kulempar ponsel ke atas meja. Aku membeku beberapa saat.
Tidak ada apa-apa. Ponselku masih normal. Tidak ada suara tawa atau apa pun. Aku hanya mematikan total ponselku dan pergi tidur. Aku berusaha menganggap kejadian ponsel mengerikan malam lalu sudah tuntas oleh pak Sanusi.
Pagi tiba, aku berangkat ke kantor seperti sediakala, beserta ponselku yang sepertinya sudah normal. Aku pun membawa laptop cadangan untuk bekerja.
Selama bekerja, aku merasa aneh. Seperti merasa sepi.
Saat aku sadari, Bobby tidak masuk kerja. Tidak ada kabar. Rekan kerjaku yang lain tidak pula mengetahuinya. Membuatku bertanya-tanya. Ingin kutanya kabar, namun hasratku menahannya. Lebih baik kukunjungi saja rumahnya nanti.
Pulang kerja, aku langsung berangkat ke rumah Bobby yang ia juga tinggal sendirian. Rumahnya sekitar 5km dari kantor.
Karena macet dan aku menggunakan bus, aku baru tiba di gang menuju rumahnya pukul 8 malam. Sebelum tiba di rumahnya, aku melewati tempat pembuangan sampah yang menurutku aneh.
Aku terhenti sejenak, menengok ke arah pembuangan sampah itu, melihat sesuatu yang membuatku terbelalak.
Degup jantungku sepertinya hampir berhenti.
Di antara gundukan sampah, ada laptopku yang kujual kepada Bobby, terbuka. Layarnya mengeluarkan sinar putih, persis seperti ponselku beberapa malam lalu.
Ada tangan keluar dari layar laptop itu! Aku langsung ketakutan dan berbalik arah. Berlari mencari bus seketemunya dan secepatnya menuju rumah.
Sebelum tidur, aku terbayang-bayangi sesuatu.
Tangan yang keluar dari layar laptop itu, seperti pernah kukenal. Tangan itu bertato…
Aku yang menyadari itu langsung memberitahu rekan-rekan kerjaku untuk mendatangi rumah Bobby. Aku katakan saja ada kejadian penting yang melibatkan Bobby. Mereka penasaran dan setuju.
Esoknya kami mengunjungi rumah Bobby, dengan pintu yang ternyata tidak terkunci.
Saat tiba di kamarnya, kami tersentak mundur.
Kamarnya berantakan, namun ada corak darah di lantai seperti sesuatu yang diseret. Corak itu sayangnya terputus dan kami tidak tahu kemana arah seretan darah itu.
Kami menghubungi polisi dan aku meminta izin untuk kembali menemui orang pintar. Benar, Pak Sanusi. Aku bahkan belum sempat menceritakan kepada mereka tentang laptop yang ada di tempat pembuangan sampah malam kemarin.
Rekan-rekan kerjaku berjaga di rumah Bobby hingga polisi datang.
Aku langsung menuju kembali ke rumah Pak Sanusi, dan berhasil bertemu kembali dengan beliau. Kuceritakan lagi semuanya.
Ia agak kaget, dan berkata, “Aku pikir hanya ponselmu ini yang tersambung wifi itu?”
“Apa ada lagi?” Tanya beliau. Aku menggeleng. Seingatku hanya dua itu saja yang tersambung.
Beliau lega. Aku kembali pulang.
Namun saat aku ingin melangkah keluar dari terasnya, aku berbalik kepadanya dan memberi pertanyaan lain.
“Apa kegiatan seperti chat atau menelpon bisa ‘menular’?”
Pak Sanusi tersenyum menggeleng, “Tidak, seingatku tidak menular. Intinya yang tidak jelas terlihat lawan bicara kita itu tidak menular. Kecuali misalnya, kamu melakukan video call yang tampak wajah lawan bicaramu.”
Aku mengangguk dan berterima kasih kepadanya.
Lalu aku langsung teringat sesuatu.
Aku langsung bergetar dan berkeringat dingin.
Gawat!