suasana natal

Sebuah pertanyaan terucap, “Saya muslim, tapi saya kangen suasana natal (christmas vibes). Apa diperbolehkan dalam Islam?”

Sebagai muslim, kebanyakan dari kita, termasuk saya sendiri, justru akan dengan tegas melarang hal itu. Bahkan kita akan mengait-kaitkannya dengan dalil haramnya bertasyabbuh atau mengikuti tradisi golongan kafir.

Namun secara kontras, beberapa ulama justru membolehkannya. Sejujurnya saya jadi menggunakan kacamata yang berbeda karena ini merupakan bahasan menarik.

Sebelum itu, hari raya Natal milik umat Kristiani bermakna memperingati kelahiran Yesus yang merupakan bagian dari tuhan mereka. Natal itu sendiri berarti kelahiran.

Jelas sangat bertolak belakang dengan keyakinan umat Islam bahwa Tuhan tidak beranak dan tidak diperanakkan. Bahkan dengan tegas Allah Ta’ala menyatakan sendiri dalam firmanNya,

Hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu, dan bumi belah, dan gunung-gunung runtuh, karena mereka menganggap Allah Yang Maha Pemurah mempunyai anak. Dan tidak layak bagi Tuhan Yang Maha Pemurah memiliki anak.
QS. Maryam: 90-92

Di sini saya sudah batasi perbedaan akidah antara umat Islam dengan umat Kristiani dalam masalah tauhid atau ketuhanan.

Kita kembali ke pembahasan, mengapa beberapa umat Islam justru merindukan suasana Natal? Dan mengapa pula sebagian ulama membolehkannya?


Mengklaim yang hilang

Umat Islam sudah memiliki dua hari raya, yakni Idul Fitri dan Idul Adha.

Keduanya memiliki sebuah fungsi yang sama, yakni memberikan kebahagiaan bagi yang merayakannya.

Setiap orang harus berbahagia pada kedua hari raya tersebut. Apabila ada yang tidak berbahagia, maka muslim di sekitar seolah wajib membuat mereka berbahagia. Bahkan sampai-sampai diharamkan berpuasa pada kedua hari raya agar umat Islam menikmati berbagai hidangan di hari-hari tersebut.

Maksudnya, saya masih berbahagia dengan Ramadan, masih bersedih dengan kepergiannya, hanya saja tidak seintens dahulu.

Entah, sejak pandemi 2020 lalu, suasana Ramadan menjadi terus memudar dan memudar. Saya merasa semakin kehilangan esensi Ramadan dari tahun ke tahun setelah pandemi.

Dalam kata lain, nuansa ‘magis’ Ramadan telah semakin meredup.

Kegiatan Ramadan hari ini seolah hanya sahur, tadarus, kerja, tarawih, tidur, berulang. Tidak seberkesan dahulu, setidaknya teman-teman saya yang tinggal di kota banyak yang merasakannya.

Padahal nuansa magis di sini penting sebagai motivasi dan pembangkit rasa cinta. Hal ini termasuk syariat dalam Islam itu sendiri. Banyak ayat-ayat alQuran yang membangkitkan motivasi para sahabat Rasulullah saw., dengan imajinasi-imajinasi yang menggiurkan.

Mereka itu balasannya ialah ampunan dari Tuhan mereka dan surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah sebaik-baik pahala orang-orang yang beramal.
QS. Ali Imran: 136

Bagi kita yang sedari kecil hidup di daerah tropis, mungkin tidak terlalu mengena jikalau ada motivasi mengenai sungai-sungai yang mengalir. Tetapi bagi para sahabat Nabi saw yang tinggal di daerah gersang nan tandus, itu adalah motivasi yang sangat dahsyat.

Saling memberikan motivasi sangat dianjurkan dalam Islam agar manusia senantiasa bersemangat dalam beribadah.

Jadi saat ada muslim yang sedang turun iman mereka, kualitas beribadahnya berkurang, alangkah baiknya tidak kita nilai bahwa itu sudah pasti perbuatan setan. Hal tersebut sangatlah tidak etis dan hanya membuat orang yang sedang lemah imannya justru semakin enggan dan menjauh.

Demi masa; sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh serta saling menasihati untuk kebenaran dan kesabaran.
QS. Al-Ashr: 1-3

Nuansa magis ini bisa menjadi daya tarik seseorang sebab mengandung nilai motivasi yang sangat tinggi.

Perlu kita ingat, para sahabat Rasulullah saw yang sudah mendapatkan jaminan surga saja, mereka masih banyak mendapatkan kalimat-kalimat penyemangat dari alQuran itu sendiri.

Maka dari itu, sungguh memprihatinkan apabila dari kalangan muslimnya itu sendiri jangankan memberikan nuansa magis, kita terkadang cenderung untuk mencap orang lain daripada memberi mereka semangat.


Sebuah pembanding

Malam-malam di akhir tahun, yang kebetulan bertepatan dengan suasana Natal dan Tahun Baru, terkhusus di dunia barat yang mayoritas umat Kristiani, selalu ada tradisi yang begitu mereka tunggu-tunggu.

Tidak heran tradisi itu mereka sebut dengan “Festive Season” atau musim festival yang sarat kebahagiaan.

Perlu kita ketahui, “kebahagiaan” atau “sesuatu yang ditunggu-tunggu” menjadi titik berat pada bahasan kali ini.

Kita membayangkan di sana lampu-lampu berkelap-kelip di musim dingin, penuh dekorasi yang nyaman dipandang mata, dan bertebaran kehangatan dalam sejuk.

Atau di negara Indonesia yang beriklim tropis ini, perayaan Natal identik dengan liburan akhir tahun, di mana cuaca begitu sejuk karena dalam musim penghujan, lalu banyak sekali acara-acara keluarga di televisi yang menarik untuk kita tonton di masa-masa itu.

Apakah Idul Fitri dan Idul Adha memiliki kemeriahan tersebut? Jawabannya tentu saja ada. Di beberapa daerah masih ada pertunjukan bazaar, pawai, hingga takbir keliling.

Hanya saja, sekali lagi, nuansa magisnya sudah jauh berkurang seiring bergantinya tahun.

Apalagi saya lebih sering mendengar semakin banyak keluhan masyarakat seperti masjid-masjid yang menggunakan pengeras suara selama hampir 24 jam penuh dengan pengeras suara luar, kemudian esoknya harus berhadapan dengan sosialisasi yang begitu melelahkan selama setengah hari dan mengundang kecemasan karena khawatir akan banyak pembicaraan yang melanggar privasi, dan sebagainya.

Pada beberapa kasus, di hari yang suci tersebut justru kita menemukan anak-anak yang diajari oleh orang tua mereka untuk meminta-minta kepada rekan kerabatnya yang mereka harap memiliki kelebihan harta.

Terakhir, khususnya mereka yang bekerja di bagian pelayanan publik yang mana jam istirahat mereka sudah begitu sedikit, Hari Raya justru membuat mereka semakin minim beristirahat.

Alih-alih hari raya menjadi sesuatu yang membahagiakan, justru menjadi sesuatu yang melelahkan baik fisik mau pun batin.

Meriah bukan berarti harus dengan bebas mengganggu sesama. Beberapa orang mungkin tidak masalah dengan hal ini, namun perhatian saya justru mengarah kepada orang-orang yang mencoba berbahagia di hari raya mereka yang sudah mereka tunggu.

Ada pun momen lain seperti tradisi mudik, terkadang menjadi sebuah tantangan sendiri hari ini. Jalanan semakin macet, suasana di kampung halaman tidak seasri dahulu, dan ruang bebas yang semakin sempit.

Kita mungkin sangat berbahagia saat kita bertemu nenek, kakek, atau orang tua kita saat mudik, tetapi itu kebetulan momennya hanya ada pada libur panjang di hari raya Idul Fitri. Pada Idul Adha, ternyata esensi hari rayanya tidak kita dapatkan semeriah Idul Fitri.

Apalagi jika ternyata yang kita tunggu sebenarnya bukan Hari Rayanya, melainkan hal lain seperti mudik dan bertemu keluarga jauh, misalnya.


Hikmah yang terserak

Kesyahduan dan ketenangan yang ada saat nuansa Natal itulah yang memiliki daya tarik.

Dekorasi dan lampu-lampu hias menjadi saranaΒ healing manusia dari pemandangan monoton yang ia lihat sehari-hari.

Pernah saya lihat video sekilas tentang seorang bapak yang tertegun di tengah kegiatannya mendekorasi sebuah pohon natal. Ia kemudian dengan dramatisnya melihat sekeliling dan bilang,

Melihat dekorasi ini membuat saya kembali ke masa-masa kecil saya dahulu.

Pun demikian dengan anak-anak muslim yang tinggal di lingkungan mayoritas umat kristiani. Para ulama membolehkan mereka mengagumi hiasan-hiasan tersebut dengan syarat orang tuanya membangun tembok akidah yang kuat seperti yang saya jelaskan pada beberapa alinea awal.

Apa pun yang membuat kita berbahagia dan termotivasi, adalah suatu hal yang baik untuk kita terapkan.

Tidak, kita tidak sedang meniru kegiatan umat Yahudi dan Kristiani. Tetapi bisakah esensi dua Hari Raya umat Islam kita buat menjadi begitu berkesan seperti kemarin-kemarin?

Sayangnya, memberikan rasa aman dan nyaman kepada sesama sepertinya telah menjadi syariat yang semakin ditinggalkan umat Islam akhir-akhir ini.

Lebih menyedihkan, sebagian orang bahkan sengaja menjual gengsi di hari raya dengan menyewa barang mewah untuk dipamerkan meski kegiatan itu mengganggu kerabatnya yang belum beruntung.

Yang disebut dengan muslim sejati adalah orang yang selamat orang muslim lainnya dari lisan dan tangannya.
HR. Bukhari & Muslim

Beberapa orang masih tidak mengetahui bahwa kebahagiaan itu termasuk rasa nyaman, rasa tenang, dan rasa damai.

Ada kisah di zaman Rasulullah saw tentang kegiatan berkesan di hari raya yang saya sadur dari situs Kementrian Agama RI,

Suatu ketika saat hari raya Idul Fitri, Rasulullah menemani Aisyah mendatangi sebuah pertunjukan atraksi tombak dan tameng. Bahkan saking asyiknya, sebagaimana hadist riwayat Ahmad, Bukhari dan Muslim, Aisyah sampai menjengukkan (memunculkan) kepala di atas bahu Rasulullah sehingga dia bisa menyaksikan permainan itu dari atas bahu Rasulullah dengan puas.

Esensi dari hari raya adalah kebahagiaan. Dan kebahagiaan di sini bukanlah untuk ego pribadi masing-masing individu saja. Kita sebagai umat Islam memiliki kewajiban juga untuk menjadikan hari raya sebagai hari yang berkesan bagi orang-orang di sekeliling kita.

Sungguh teramat malu apabila ternyata hari raya umat agama lain justru lebih membawa kepada rasa tenang dan damai (dari gangguan sesama, khususnya).

Kita yang menyadari hal ini memiliki kewajiban untuk menciptakan kebahagiaan tersebut dan memperbaiki kembali hakikat hari raya apabila kita rasa hari ini sudah begitu berkurang.

Suka
Komentar
pos ke FB
pos ke X
πŸ€— Selesai! πŸ€—
Punya uneg-uneg atau saran artikel untuk Anandastoon?
Yuk isi formulir berikut. Gak sampe 5 menit kok ~

Sssttt... Anandastoon punya journaling sebagai info di belakang layar blog ini.
Klik di mari untuk menuju halaman diarinya.

  • 0 Jejak Manis Ditinggalkan

    Minta Komentarnya Dong...

    Silakan tulis komentar kalian di sini, yang ada bintangnya wajib diisi ya...
    Dan jangan khawatir, email kalian tetap dirahasiakan. πŸ˜‰

    ERROR: Sorry, human verification failed.

    Kembali
    Ke Atas