Pemandangan yang Sudah Jarang Terlihat

Gerigi roda berpacu di atas aspal. Waktu sudah menunjukkan jam tiga sore. Suara-suara panggilan indah untuk menghadap sang Ilahi begitu menggema saling bersahutan. Saya, dibonceng oleh teman saya menggunakan sepeda motor sedang dalam perjalanan pulang dari agenda melepas penat yang telah terlaksana dengan baik.

Beberapa daratan tinggi dan gunung-gunung menjadi kawan yang memberikan dekapan hangat di sepanjang perjalanan kami, dinaugi oleh pohon-pohon lebat yang terpancar sinar matahari senja dari sela-sela dedaunan. Namun fokus saya ternyata bukan hanya untuk hal-hal yang memanjakan mata sahaja, saya melihat beberapa kejadian yang membuat sayu hati saya.

Saya memajukan sedikit kepala saya ke arah helm teman saya demi mendapatkan komunikasi yang lebih baik, saya katakan sesuatu padanya,

“Kau lihat itu? Suatu hal yang mungkin sudah tidak sering lagi kita lihat…”

Teman saya membalas, “Di daerah saya justru yang seperti itu sudah hampir tidak terlihat lagi.”

Nyanyian dari para sandal berbalas irama pasti, menimbulkan suatu alunan melodi statis yang mungkin akan sangat dirindukan. Sekumpulan anak Adam yang memakai sarung dan baju koko sedang berjalan harmonis menuju surau untuk menunaikan bakti mereka pada sang Pencipta.

Kendaraan pun kemudian terparkir di halaman sebuah masjid, memberi tanda koma kepada jurnal perjalanan kami.


Kalian tahu, sudah berapa masjid desa yang saya sambangi, namun hampir tidak terlihat para belia selain dari wajah saya. Para orang-orang tua menggoreskan senyuman ketika saya memberi ruang kepada mereka agar mereka maju mengisi shaf terdepan bersama-sama dengan para generasi muda, yang justru hanya terdiri dari jasad saya seorang.

Beberapa anak kecil berlarian, mulut mereka mengeluarkan suara-suara berisik yang nantinya akan dirindukan para masjid. Di mana para remaja? Mereka sedang asyik depan layar komputer, mereka sedang asyik berpacu di atas kendaraan bermotor, mereka sedang asyik memainkan game-game populer.

Desah saya tersalur panjang. Para penerus yang diandalkan, ternyata banyak yang tidak bersahabat dengan Tuhan. Tidak semuanya, namun sebagian besar iya. Setiap manusia memiliki jatah kehidupan, dan tidak selamanya para pemakmur masjid yang kerutan sudah banyak menghiasi wajah mereka akan terus berdiri di atas tanah.

Sebuah pemandangan yang harus dilestarikan, bersyukur para muda-mudi yang masih tetap terpaut pada rumah-rumah Allah. Saya telah selesai pada jurnal perjalanan saya pada saat itu dengan memberi banyak deretan titik serta tanda tanya. Menyisakan petuah manis nan tragedis untuk kelangsungan budaya masyarakat yang agamis, di tengah indahnya pemandangan desa yang eksotis.


AST2018

Suka
Komentar
pos ke FB
pos ke X
🤗 Selesai! 🤗
Punya uneg-uneg atau saran artikel untuk Anandastoon?
Yuk isi formulir berikut. Gak sampe 5 menit kok ~

  • Sebelumnya
    Cerita dari Primbon #50: Kesurupan

    Berikutnya
    7 Kesalahan Karyawan yang Menghambat Berkah


  • 0 Jejak Manis yang Ditinggalkan

    Minta Komentarnya Dong...

    Silakan tulis komentar kalian di sini, yang ada bintangnya wajib diisi ya...
    Dan jangan khawatir, email kalian tetap dirahasiakan. 😉

    Kembali
    Ke Atas