Kok Gue Kok Elu

Sebuah percakapan formal dilakukan, bertemu teman jauh dari seorang teman dekat. “Gua begini, elu gimana?” Perbincangan yang ia lakukan tiba-tiba menjadi intens, saya tersedak.

Tanah Abang, pertama kalinya saya bersapa dengan dunia. Betawi asli, mereka menyematkan nama suku itu kepada saya. Berbagai bahasa, dialek, dan kesenian daerah yang kini telah menjadi ibukota negara itu sudah lama saya selami. Namun saya justru kaget banyak pendatang yang langsung menegur saya “Gua, dan elu.”

Mengapa “Gua”? Mengapa “Elu”? Saya tidak mempermasalahkannya. Saya dibesarkan oleh keluarga yang formal, makanya saya tidak terbiasa.

Mengapa “Gua”? Mengapa “Elu”? Saya tidak terlalu menghiraukannya. Setiap bahasa daerah, saya yakin memiliki bahasa halus dan kasar, bahasa formal dan informal, yang sangat penting untuk diperlajari semua.

Mengapa “Gua”? Mengapa “Elu”? Saya tidak meributkannya. Dunia pertelevisian mengudara bebas di atas tanah Jakarta, mempopulerkan bahasa kasar daerah yang kini menumpang pandang di atas kitab gaul para remaja.

Apa yang terjadi jika ibukota bumi pertiwi ini berada di Bandung? Mereka akan lebihΒ  mempopulerkan “Aing” dan “Sia”, dan membuat sedikit tidak nyaman orang-orang yang telah terbiasa dengan “Abdi” dan “Anjeun”. Kemungkinan yang sama akan terjadi berbagai di daerah lainnya. Bahasa kasar lebih mulus mendarat di pendengaran mereka, terdengar lebih gaul, celotehnya.

Orang-orang luar yang belum tahu apapun dengan serta-merta melayangkan sapaan kasar kepada yang lebih tua pada kesan pertama, oh mengagumkan!


Akankah negeri ini selamanya menjadi pengekor tanpa tahu siapa pemilik ekor?

“Gua” dan “Elu”, bukan itu permasalahannya.

Akankah negeri ini selamanya menjadi pengekor tanpa tahu siapa pemilik ekor?

“F*ck You!” Seorang anak petani desa yang terlihat inosen pernah berkata seperti itu tepat di depan muka saya.

Akankah negeri ini selamanya menjadi pengekor tanpa tahu siapa pemilik ekor?

Jari tengah teracung bagi siapa saja yang terlilit emosi negatif, masa bodoh apa gerangan maksud jari tengah yang berdiri jaya.

Akankah negeri ini selamanya menjadi pengekor tanpa tahu siapa pemilik ekor?

Budaya timur ini telah banyak tergantikan dengan budaya barat karena terdengar lebih keren, katanya.

Akankah negeri ini selamanya menjadi pengekor tanpa tahu siapa pemilik ekor?


AST2018

Suka
Komentar
pos ke FB
pos ke X
πŸ€— Selesai! πŸ€—
Punya uneg-uneg atau saran artikel untuk Anandastoon?
Yuk isi formulir berikut. Gak sampe 5 menit kok ~

  • Sebelumnya
    7 Kesalahan Karyawan yang Menghambat Berkah

    Berikutnya
    Diari #3: Negeri Utopia


  • 0 Jejak Manis yang Ditinggalkan

    Minta Komentarnya Dong...

    Silakan tulis komentar kalian di sini, yang ada bintangnya wajib diisi ya...
    Dan jangan khawatir, email kalian tetap dirahasiakan. πŸ˜‰

    Kembali
    Ke Atas