Tak terasa bulan mulia yang baru saja menyapa, kini sudah mengemas barang-barang di kopernya, siap dengan selembaran manis ucapan selamat tinggal. Bulan Ramadhan ini menjadi ajang berbuat amal shalih, karena ujian keimanan sangat kental di sini demi tercapainya derajat taqwa yang telah tercantum pada surat Al-Baqarah ayat 183.
Berbagai obral pahala dan kebaikan terjadi di bulan ini, dipenuhi momen unik yang tidak dapat dijumpai di bulan-bulan lainnya. Tetapi sebenarnya, bulan Ramadhan itu sendiri hanyalah sebuah training iman yang mana hasilnya seharusnya dapat dilihat di sebelas bulan berikutnya.
Saat awal Ramadhan, setiap orang datang memenuhi masjid terutama saat Maghrib, Isya, dan Shubuh. Bahkan ada orang-orang yang saya tidak mengerti datang entah darimana ikut memperbanyak shaf ke belakang. Sebuah tradisi unik setiap awal puasa, yang sayangnya, tidak berjalan dengan persisten di hari-hari berikutnya. Setiap shaf semakin hilang, setiap semangat semakin memudar.
Sepuluh hari terakhir Ramadhan, yang mana hal tersebut seharusnya menjadi ajang untuk memperbanyak amal kebaikan karena terdapat malam istimewa di antara malam-malam tersebut, justru dirusak oleh sebuah budaya yang bernama mudik dan persiapan lebaran.
Mudik, tradisi pulang kampung untuk bertemu keluarga saat lebaran, tak sedikit mengorbankan puasa mereka selama perjalanan, menjadikan mudik sebagai alasan tidak berpuasa. Dan tradisi persiapan lebaran, di mana para manusia dapat memindahkan masjid ke mall-mall dan pusat perbelanjaan demi sambutan meriah sebuah hari Raya, membuat masjid semakin kehilangan pemakmurnya.
Akhirnya? Jangankan untuk rapor di sebelas bulan berikutnya, Ramadhan belum selesai saja prestasi mereka sudah anjlok. Dan semua itu terjadi hanya karena sebuah tradisi yang tidak diajarkan oleh syariat. Bukan berarti mudik dan mempersiapkan lebaran itu tidak boleh, namun syariat tetap harus diutamakan.
Yang lebih menyedihkan lagi, ada beberapa orang justru senang Ramadhan berakhir karena akan ‘digantikan’ dengan momen lebaran. Menganggap bulan mulia ini hanyalah sebagai beban belaka untuk orang-orang seperti itu.
Apakah kita dapat mendapatkan rapor Ramadhan dengan predikat taqwa?