“Berapa harganya pak?” Tanya saya ketika ingin naik bus untuk keperluan pulang kampung.
“150 ribu dek.”
What? Biasanya cuma 75 ribu! Semua harga naik ketika menjelang lebaran. Hari yang katanya penuh berkah dan kebahagiaan tersebut justru menjadi ajang untuk mencekik dompet orang-orang. Sebuah pertanyaan usang menarik untuk diangkat lagi ke permukaan, “Apakah setiap lebaran harga-harga harus melambung?”
Berdasarkan kaidah ekonomi, setiap tingginya permintaan akan suatu barang sedangkan persediaan barang yang terbatas, maka sudah barang pasti harga barang tersebut akan ikut naik. Sebagai contoh adalah tiket bus, karena tingginya lonjakan penumpang saat menjelang lebaran sedangkan armada terbatas, mau tidak mau pihak pengelola bus harus menaikan tarif.
Begitu pula dengan lonjakan harga-harga lainnya, seperti bahan-bahan pokok, bahkan hingga tiket masuk tempat wisata. Perusahaan jasa yang mengalami kenaikan harga dapat disebabkan oleh sumber daya yang terbatas sehingga perlu biaya lebih untuk menambah sumber daya yang lebih.
Sayangnya, justru banyak momen-momen kebahagiaan saat lebaran ini dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab untuk mendapatkan keuntungan lebih. Di saat hari yang agama pun mengharamkan puasa apapun karena pada saat itu adalah hari yang dikhususkan untuk berbahagia, justru ulah oknum-oknum tersebut merusak kebahagiaan yang sudah menjadi kewajiban oleh setiap orang.
Tidak sedikit perusahaan yang justru melambungkan harga yang tidak main-main hanya untuk masuk ke kantong mereka semata, dengan tidak memiliki timbal balik. Teman saya pernah kecewa naik bus yang lonjakan harganya hingga dua kali lipat ketika lebaran namun tidak mendapatkan apa-apa selain pelayanan yang justru dikurangi. Seperti biasanya ia dapat makanan ringan dari bus, kini hanya minumnya saja.
Bahkan beberapa pedagang dengan tidak tanggung-tanggung meroketkan harga jajaannya hingga lima kali lipat. Teman saya yang lain pernah mengeluh harga makanan yang biasanya hanya Rp5.000,-, ketika lebaran menjadi Rp25.000,-. Padahal, ketika teman saya berbincang dengan pedagang tersebut, sebenarnya harga yang wajar setelah kenaikan hanyalah Rp10.000,- saja, sisanya? Dimanfaatkan.
Bagaimana menyiasati kenaikan-kenaikan harga yang begitu fantastis di lingkup hari raya ini? Mudah saja, berdasarkan kaidah ekonomi di atas, kenaikan terjadi karena persediaan barang yang menjadi langka karena permintaan yang tiba-tiba membludak. Maka dari itu, tidak ada salahnya jika kita merencanakan apa yang akan kita beli ketika lebaran dari jauh-jauh hari. Berapa kali lebaran yang telah kita lalui? Apakah itu belum dapat menjadikan kita dapat memprediksikan apa saja yang akan kita konsumsi?
Begitu pula dengan ritual mudik yang menggunakan kendaraan-kendaraan besar, mengapa tidak membeli tiketnya dari jauh-jauh hari? Apalagi, hari ini booking online atau via minimarket sudah membuat segala sesuatunya menjadi lebih mudah. Perencanaan yang baik menjadi senjata utama dalam menghadapi kenaikan harga. Atau yang lebih praktis, mengapa tidak menetap saja ketika lebaran? Mudik hanya ritual lokal, bukan syariat. Momen lebaran sebenarnya dapat dibuat pada hari-hari lain seperti sebelum puasa. Sehingga, kita dapat menikmati udara kota sementara yang lain sedang repot-repotnya terjebak dalam kemacetan dengan harga tiket yang mencekik.
Yang paling penting, kendalikan hawa nafsu. Jangan sampai keinginan kita untuk merayakan lebaran lebih mewah justru disalahgunakan oleh pengusaha-pengusaha nakal yang ingin meraup untung yang tidak wajar tanpa dibarengi dengan pelayanan yang lebih. Sehingga, jika kita terbiasa untuk hemat ketika lebaran, maka tradisi kenaikan harga dapat berkurang sedikit demi sedikit sehingga bukan hal yang mustahil jika suatu saat hampir tidak ada kenaikan harga menjelang hari di mana setiap manusia wajib berbahagia tersebut.
Ingin beli baju baru untuk lebaran? Belilah sebelum puasa, pakailah menjelang lebaran. It’s so simple, isn’t it?