Transjakarta memiliki kebijakan atas pewajiban menggunakan e-ticketing atau tiket elektronik sebagai transaksi dalam penggunaan moda transportasi berupa BRT tersebut. Meski dilakukan secara bertahap, namun kebijakan yang diusut ini menuai lebih banyak kontra dibandingkan dengan pronya. Saya sendiri mencoba menganalisa apa yang terjadi di lapangan. Sehingga akhirnya saya telah berani menyimpulkan yang insya Allah tidak subjektif dan dapat menjadi wawasan bagi para pembaca. Karena menggunakan moda transportasi umum seharusnya sudah menjadi sebuah kebutuhan yang utama dalam menjalankan aktivitas sehari-hari mengingat Jakarta ini adalah kota di mana rawan terjadi kemacetan dikarenakan volume kendaraan yang tak terbendung, baik roda dua pada umumnya, maupun roda empat.
Pertama kali halte yang mewajibkan sistem tiket elektronik adalah halte PGC 2 yang terletak di dalam pusat perbelanjaan. PT. Transjakarta telah mengumumkan hal ini beberapa hari sebelum sistem ini benar-benar diterapkan. Pada saat itu harga keseluruhan masih Rp. 20.000,- di mana kartu masih gratis sebelum akhirnya menjadi Rp. 40.000,- yang terdiri dari harga kartu Rp. 20.000,- dan saldonya juga Rp. 20.000,-.
Tanggapan saya sewaktu melihat pengumuman ini cukup kaget dikarenakan memang saya selalu memakai halte ini setiap kali pergi ke rumah seorang kerabat. Namun hal ini justru memberatkan saya pribadi karena saya harus menyiapkan uang minimal sebesar Rp. 20.000,- untuk mendapatkan sebuah layanan di halte tersebut walaupun memang dapat berkali-kali digunakan. Sejujurnya pada saat itu saya tidak terlalu peduli dengan kebijakan tersebut disebabkan PGC memiliki 2 halte, jika tidak ingin beli kartu di PGC 2, maka PGC 1 lah alternatifnya yang masih menyediakan tiket sobek yang terletak di luar pusat perbelanjaannya. Kemudian saya kira awalnya memang pewajiban ini hanya berlaku bagi PGC 2 saja, dan itupun tiket kertas manual benar-benar disediakan kembali jika stok kartu telah habis, saya benar-benar tidak menyangka jika memang tiba-tiba diterapkan di seluruh koridor setelah itu, meskipun secara bertahap.
Saya melihat banyak orang-orang mengeluh di PGC 2 pada saat itu, sebagian mereka bahkan ada yang marah-marah, kemudian petugas memberi solusi agar menggunakan halte PGC 1 yang dahulu masih menggunakan tiket manual. Kemudian setelah diterapkan merata kepada beberapa halte dan koridor, komentar-komentar negatif pun seraya dilayangkan. Bahkan teman saya cerita kepada saya ada seorang perempuan lanjut usia harus keluar halte dengan menelusuri ramp yang panjang (beberapa halte tidak memakai tangga) dan tidak jadi menggunakan moda transportasi berupa BRT tersebut.
Beberapa orang yang memang ‘tidak merasakan’ akan kebijakan tersebut dengan entengnya berkomentar, “Ah, itu kan Go Green“, “Untuk modernisasi”, bahkan ada yang seenaknya berkata, “Untuk pelayanan”.
Baiklah saya setuju beberapa dari alasan tersebut, namun coba kita rentangkan lebih jauh:
Jika memang benar-benar diminta pendapat dari diri saya pribadi, penggunaan e-tiket boleh diterapkan karena hal itu memang memberikan efek positif di antaranya adalah tidak perlu antrian panjang, lebih praktis, multifungsi, dan Go Green. Namun, jika pelayanan belum maksimal bahkan hampir di ambang ketiadaan janganlah kemudian mencetuskan kebijakan yang banyak menyulitkan para calon penumpang tersebut. Di sinilah seseorang dilatih agar dapat berpikir sebijaksana mungkin dalam hal menyikapi kebijakan ini.
Kebijakan ini juga insya Allah dapat menjadi ladang amal, di mana para calon penumpang yang tidak mampu membeli tiket kartu, kita dapat menawarkan agar mereka dapat menikmati Transjakarta dengan menggunakan tiket kartu kita.
Mohon maaf komentar telah ditutup.