Saya membuka sebuah jejaring sosial dan melihat sebuah postingan dibagikan oleh seseorang mengenai peristiwa yang kontradiktif, menuai komentar-komentar beragam di mana para pengguna dunia maya atau Internet Citizen yang disingkat dengan Netizen (penduduk dunia maya) melepaskan seluruh kata dan kalimat sesuka hatinya.
Hal ini bukanlah sekali dua kali hal tersebut terjadi, namun berkali-kali hingga saya hingga detik ini tidaklah pernah membagikan sesuatu yang kontroversial sehingga memancing komentar-komentar yang tidak saya inginkan untuk saya lihat, meski itu bukan ditujukan untuk saya.
Setelah itu barulah kemudian saya mendengar rekan kerja saya yang menyebutkan bahwa itu adalah kejadian di mana para netizen merasa paling benar ketika mereka mengeluarkan apa pun untuk berkomentar ria di jagat maya. “Netizen yang Maha Benar”, mereka menyebutnya demikian.
Saya tidak nyaman dengan istilah seperti itu. Sungguh.
Twitter, Facebook, Youtube, dan bahkan situs-situs berita yang mengizinkan para penggunanya “berperang” di kolom komentar akan menjadi santapan empuk para netizen. Kita dapat dengan mudahnya menemukan orang-orang yang berkomentar tanpa batasan norma, ruang, dan waktu. Semua bebas terjadi di kolom komentar.
Tak heran, beberapa detik ketika sesuatu yang dapat menuai pro dan kontra lahir ke arena media sosial, maka komentar-komentar akan dengan mudahnya didapat, bahkan hingga konten tersebut sudah tidak berada dalam masanya lagi.
Sebuah pertanyaan tercuat, “Mengapa mereka sebegitu seringnya membuka media sosial?”
Saya tidak menyalahkan orang-orang yang sesekali membuka jejaring sosial dan kemudian menyisipkan opini mereka. Namun pasti ada orang-orang yang hobinya memang memenuhi area sensitif tersebut, tanpa kenal kapan mereka menjentikkan jari-jari mereka di atas papan ketik. Bahasa gampangnya, “Itu orang kok ON melulu ya?”
Yang kita tahu, membuka media sosial terlalu sering akan berakibat kepada penurunan produktivitas yang mengakibatkan pada merosotnya kualitas seseorang. Hormon endorfin yang tercetak membuat orang akan merasa betah berlama-lama di internet, mengabaikan tugas-tugas penting mereka.
Bahkan setelah puas beropini yang kebanyakan tanpa dasar, kebanyakan kita lebih disibukkan membaca komentar-komentar yang telah ada dan mencari artikel-artikel terkait.
Netizen-netizen tersebut seakan menjadi pemburu, mencari setiap konten-konten yang tersebar di dunia maya dan secara gagah bak sebuah prestasi besar jika mereka berhasil menuangkan opininya yang juga kontroversial. Apakah orang-orang seperti itu adalah orang-orang yang bahkan memiliki masa depan?
Saya meneliti orang-orang yang produktif dan bermanfaat bagi dirinya dan sesamanya, mereka bahkan hampir tidak memiliki waktu membuka jejaring sosial karena mereka terlalu sibuk dengan urusan positifnya sehingga membuat mereka disegani di wilayahnya.
Tak jarang, berbagai ragam bahasa dimuntahkan dalam sesi debat tertulis sesama para penghuni dunia maya. Ada yang bijak, ada yang terlihat bijak, dan bahkan ada yang senang menggunakan kata-kata kasar. Tetapi justru dari apa yang saya perhatikan, yang benar-benar bijak sayangnya hanya dapat dihitung dengan jari atau bahkan tidak ada sama sekali.
Kebanyakan hanya orang-orang yang seakan tidak berpendidikan menulis berdasarkan giringan hawa nafsunya. Lihat bagaimana mereka dapat dihargai oleh sesama manusia lainnya.
Saya ambil contoh, ketika saya melihat video mengenai permainan yang kualitasnya dapat dikatakan buruk, namun sebenarnya masih sangat dimaafkan. Beralih ke kolom komentar, maka bahasa-bahasa yang membuat hati ‘berdarah’ benar-benar membanjiri daerah tersebut.
Bahkan, seseorang yang tidak tahu-menahu akan sebuah kasus justru ingin terlihat bahwa dia ada bersama dengan pendapat mayoritas yang sibuk mencaci dengan bahasa yang kurang etis. Inilah yang kemudian membuat orang-orang semakin disibukkan dengan bahasa-bahasa yang menjerumuskan diri mereka sendiri.
Sedihnya, saya dahulu adalah salah satunya, meramaikan sebuah tagar kontroversial di Twitter, hingga seseorang yang saya segani meng-unfollow saya karena mungkin atau memang sangat terganggu. Dari sanalah kemudian saya sadar bahwa apa yang saya lakukan hanyalah membuang-buang waktu, tidak ada manfaatnya sama sekali.
Siapa yang mengajari kita untuk melakukan hal itu di internet? Tidakkah bisa kita lebih mengkampanyekan sesuatu yang jauh lebih positif?
Banyak orang-orang keras kepala, semakin bangga dengan pernyataan kotornya dan selalu membela diri ketika diberitahu, seakan diri mereka tidak pernah salah. Setiap hari netizen-netizen semacam itu semakin tidak terkontrol dan semakin menjadi. Pada akhirnya, sebuah watak setan tertanam rapi jauh di dalam diri mereka.
Dari sinilah ungkapan “Netizen Maha Benar” kemudian muncul.
Tidak jarang pula, ungkapan “Netizen Maha Benar” juga diungkapkan oleh para netizen yang selalu merasa diri mereka benar ketika mereka mendapatkan balasan argumen-argumen yang tidak menyenangkan dari orang lain. Bukannya ditelaah, justru dengan gelap hati mereka sibuk mempertahankan keyakinannya, membalikkan fakta, hingga memanggil teman-temannya yang satu ‘akidah’ dengan mereka agar ikut memaki lawan bicaranya.
Siapa yang bertanggung jawab akan fenomena yang terjadi sekarang ini? Kebanyakan kita hanyalah memikirkan diri kita sendiri.
Dari sinilah kita tahu bahwa musuh terbesar kita bukanlah para penjajah karena negara kita sudah merdeka. Seperti yang pernah diucapkan Alm. Ir. Soekarno, Sang Presiden Pertama, bahwa musuh utama negara ini adalah masyarakatnya sendiri, terutama yang dialamatkan julukan “Maha Benar” tersebut. Sebab mereka bukan hanya menghambat kemajuan negeri, namun mereka juga menjadi benalu karena tidak dapat diajak berkompromi.
“Maha Benar”, lebih tepat dimiliki oleh Sang Pencipta. Karena Dia tidak pernah salah. Setan memang memiliki banyak cara untuk membuat manusia menjadi makhluk yang kacau balau.
Saya pribadi sering mendapatkan banyak komplain bukan hanya dari orang lain, melainkan dari kerabat-kerabat dan keluarga saya sendiri. Mereka berani kritik saya atau saya yang meminta. Saya bersyukur mereka masih peduli dengan saya dan mereka pun juga siap menerima komplain balik.
Bagaimana orang bisa lebih baik tanpa komplain?
Saya sekarang sangat jarang berkomentar di jejaring sosial jika memang tidak diperlukan apalagi dengan bahasa yang menyakiti. Saya hanya berkomentar dengan masuk akal di beberapa area yang memang opini saya perlu ditebar di sana dengan bahasa yang insyaAllah sesuai dan terlihat berbobot.
Ingat,
βSesungguhnya ada hamba yang mengucapkan satu kalimat tertentu, yang tidak dia pikirkan akibatnya, namun menyebabkan dia tergelincir ke dalam neraka, yang dalamnya sejauh timur dan barat.β
(HR. Ahmad 9157 & Bukhari 6477)