Beberapa dari kita ada yang cukup aktif di jejaring sosial, ikut membahas masalah dan isu-isu politik yang sedang panas membahana di negeri ini. Di antara kita ada yang benar-benar paham apa yang terjadi meski jumlahnya begitu sedikit, sedangkan sisanya hanya ikut-ikutan.
Di samping itu, beberapa dari kita juga ada yang lebih memilih netral dan terlihat bijak, yang mana perihal sifat bijaksana tersebut masih misteri. Ada yang memilih diam karena memang mereka tidak tertarik, atau mereka merasa ada yang lebih penting untuk dilakukan daripada mengomentari isu-isu di negeri ini yang sepertinya terlihat awet, atau ada yang benar-benar bijak, atau juga ada yang hanya ingin terlihat bijak.
Artikel ini hanya akan membahas orang-orang yang tampak netral dan seolah-olah bijak, karena ini justru dapat menjadi positif palsu yang dapat mengecoh dan bahkan memengaruhi banyak orang.
Seringkali saya benar-benar terenyuh dengan kisah-kisah kebijaksanaan yang saya temukan di mana pun. Entah saya dapat dari internet atau saya dengarkan langsung dari teman-teman saya. Semua kisah tersebut memang benar-benar berhasil membuat hati saya meleleh dan tertegun. Sampai akhirnya saya sadar bahwa ada beberapa kisah yang setidaknya harus saya saring dahulu sebelum saya telan mentah-mentah.
Tidak semua kebijaksanaan tersebut asli. Musang memang selalu memiliki cara untuk mendapatkan bulu ayam. Ternyata pohon tua tidak selalu bijaksana, beberapa dari mereka bahkan ada yang memang harus ditebang agar tidak membahayakan orang-orang yang berlalu lalang di sekitarnya.
Jika memang kita melihat seseorang yang mengomentari sesuatu secara frontal, kita sudah bisa melihat dengan sangat jelas bagaimana etika dia dalam memilah kata dan mengatur intonasinya. Tetapi tidak dengan orang-orang yang sekilas terlihat bijaksana.
Di sinilah ujiannya untuk membuat sesuatunya menjadi jelas apakah seseorang tersebut benar-benar bijaksana atau dia hanya tidak peduli dan berusaha untuk menyeret orang lain ikut ke dalam ‘lingkaran’ orang tersebut.
Seperti apa contohnya?
Saya pernah mendengar cerita seperti ini, ada kenalan saya yang bertransaksi dengan seorang penjual di pinggir jalan yang etikanya begitu kasar, namun ia selalu membalas dengan senyuman. Dia membiarkan dan seakan mencegah orang-orang untuk menegur sang penjual tersebut.
Ketika ditanya apa alasannya dia begitu sabar, katanya, “Biarlah di dunia ini ada orang-orang begitu agar seimbang, kita jangan seperti itu.”
Di lain cerita, seseorang sedang menonton acara mengenai sifat buruk masyarakat kita yang seringkali terekspos media. Lagi, ada orang bijak yang berkata sama seperti di alinea sebelumnya.
Saya mendengar cerita tersebut awalnya merasa terenyuh dan kagum betapa sabarnya orang tersebut, namun semakin ke sini saya entah mengapa ada yang begitu janggal dari kisah-kisah tersebut di atas. Bahkan kejanggalan tersebut beberapa kali membuat saya sulit tertidur karena saya sama sekali belum dapat menjelaskan apa kejanggalan tersebut.
Beberapa tahun kemudian datanglah teman saya yang aktif untuk mengajak orang ke dalam kebaikan (beliau orangnya lembut dan sopan), sedikit mengeluhkan orang-orang di lingkarannya yang seakan dengan bijaksananya menyuruhnya untuk berhenti mengurusi urusan orang lain.
Padahal saya tahu beliau tidak pernah mengurusi urusan pribadi orang lain kecuali yang kira-kira memiliki dampak negatif untuk dirinya dan sekitarnya. Bahasa ajakannya pun begitu sopan dan lembut, bahkan terkadang hanya sebuah sindiran halus. Misalnya, kampanye hidup sehat secara agama hingga berpolitik sehat.
Tetapi yang beliau dapatkan justru bukan hanya hujatan orang-orang yang tidak senang dengan postingannya, beliau juga dapat tekanan dari orang-orang yang beliau selama ini percaya di lingkungannya. Sedikit sekali beliau mendapatkan dukungan.
Dan bukan hanya beliau yang komplain, semakin ke sini semakin banyak orang-orang serupa yang tidak lagi mendapatkan dukungan dari lingkungan yang ia percaya. Bahkan ia didiamkan hingga disuruh diam dari orang yang ia sudah kenal akrab sendiri. Kebanyakan ‘nasihat’ yang mereka terima dari orang-orang yang terlihat bijaksana tersebut tidak lebih seperti, “Sudahlah, yang penting kita tidak seperti itu. Mereka juga kasihan, kita harus beri mereka pengertian…”
Benar, orang-orang yang terlihat bijaksana itu telah mencoba untuk menghentikan orang lain dari bersikap tegas atas segala sesuatu yang kira-kira dapat merusak keseimbangan dan harmoni kehidupan. Orang-orang inilah yang secara halus dapat membahayakan.
Pada akhirnya, saat ketimpangan sudah begitu besar dan merajalela karena orang-orang yang peduli tidak lagi mendapatkan dukungan dari lingkungan mereka, orang-orang yang terlihat bijak tersebut seakan menghilang dari peradaban karena mereka juga terkena dampak besarnya.
Rasulullah saw. beliau bersabda,
βAkan datang kepada manusia suatu zaman, orang yang berpegang teguh pada agamanya seperti orang yang menggenggam bara api.β
(HR. Tirmidzi no. 2260. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini hasan).
Orang-orang yang berusaha untuk berbuat baik mendapatkan halangan terbesar justru dari ketidakpedulian orang-orang yang berada di sisinya.
Bahkan Rasulullah sendiri sempat mendapatkan perlakuan serupa dari paman yang amat beliau cintai sendiri, yaitu Abu Thalib. Beruntung paman beliau pada akhirnya mengerti beliau.
Abu Thalib berkata kepada Rasulullah saw.,βWahai keponakanku, aku selalu menurutimu dalam semua peristiwa yang telah lewat seperti yang engkau ketahui. Maka pada hari ini, patuhilah aku dengan yang akan aku katakan padamu. Kaummu telah datang menemuiku dengan pengaduan bahwa engkau telah mengunjungi mereka di Kaβbah dan tempat-tempat perkumpulan mereka dengan memperdengarkan sesuatu yang menyakiti hati mereka. Alangkah baiknya jika kamu berhenti saja dari perbuatan itu.β
Kemudian Rasulullah saw. menengadah ke langit lalu bersabda,βDemi Allah! Aku tidak lebih mampu untuk meninggalkan apa yang aku diutus dengannya, dibandingkan dengan salah seorang di antara kalian yang ingin mengambil satu bara api dari matahari.β
Kemudian bagaimana cara kita melawan orang-orang yang seperti itu?
Sebenarnya beberapa aktivis yang menyuarakan kebenaran atas perlakuan orang-orang yang telah sewenang-wenang itu sangat baik. Meskipun sebagian dari mereka ada yang memang masih harus diberi masukan tentang bagaimana cara menyampaikan dengan baik dan seimbang, alias tidak berat sebelah.
Jika memang beberapa aktivis yang telah terpercaya tersebut memang melakukan kesalahan, atau sekiranya perbuatannya sudah sedikit berlebihan, seharusnya orang-orang yang bijaksana dapat memetakan apa saja yang harus diperbaiki sebagai bentuk dukungan dan tidak dengan menyuruhnya berhenti dengan alasan ‘yang penting kita tidak seperti itu’.
Orang-orang yang benar-benar bijaksana menggunakan argumen-argumen untuk menghindari konflik, sedangkan orang-orang yang terlihat bijaksana menggunakan argumen-argumen hanya untuk bermain aman.
Orang-orang bijaksana memikirkan cara bagaimana agar lingkungannya damai, sedangkan orang-orang yang terlihat bijaksana seakan rela lingkungannya berantakan karena mereka pikir yang terpenting bahwa diri mereka tidak seperti itu, mereka juga cenderung mendiamkan orang-orang yang ingin membenahi lingkungan yang berantakan tersebut.
Hingga pada akhirnya, saya ‘terpaksa’ menjadi bagian orang-orang yang seperti itu demi melawan mereka kembali.
Suatu ketika, ada orang yang terlihat bijak pada akhirnya mengeluhkan bahwa pemerintahnya bertindak dengan lalim dan sangat tidak adil. Bahkan ia berencana untuk membuat laporan ke kepolisian setempat, atau setidaknya ia pada akhirnya sadar bahwa ia harus bertindak meski hanya memberitahu rekan-rekannya agar tidak mendapatkan perlakuan yang sangat tidak menyenangkan seperti dirinya.
Namun saya, yang sedang berkamuflase untuk terlihat bijak, menegurnya. Saya katakan kepadanya, “Sudahlah, jangan bagitu, dia juga kasihan punya anak dan istri. Yang penting keluarga kita tidak seperti itu.”
Dia, seperti dugaan saya, berkilah, “Tapi dia sudah jadi pejabat, seharusnya tidak boleh seperti itu!”
Saya jawab, “Ya memang benar! Namun dulu sewaktu dia masih menjadi pekerja kecil dan sudah korupsi, kau menghalang-halangi orang yang mau menindaknya dan membuat drama seakan dia wajib dimengerti dan dikasihani. Sekarang giliran dia sudah menjadi pejabat besar dan wataknya sudah keras tertanam dalam jiwanya, kau baru bertindak?”
Hampir-hampir saya mengatakan padanya agar dia jangan menjadi ‘sampah masyarakat’ demi sebuah gertakan. Sebuah sifat kebijaksanaan adalah sama sekali berbeda dengan ketidakpedulian, namun kebanyakan kita yang masih awam, termasuk saya juga, terkadang masih sulit untuk membedakan keduanya.
Ujian orang-orang yang menyampaikan kebaikan hari ini ada tiga:
—<(Wallahu A’lam Bishshawaab)>—