Bermula dari sebuah email langganan dari Quora yang berisi pertanyaan-pertanyaan yang mungkin saya suka. Salah satu topik yang saya subscribe adalah “Singapura“, karena negara mini tersebut hampir selalu mendapat pertanyaan unik dari Quorans seluruh dunia.
Email tersebut saya klik dan ada satu pertanyaan yang benar-benar membuat saya tertarik. Sebenarnya ini sudah lama, setahun yang lalu hinggaΒ bahkan saya sampai lupa apa secara detail pertanyaannya dan saya terlalu malas untuk mengubek-ubek yang mana email yang berisi pertanyaan tersebut.
Pertanyaannya kira-kira, “Apa yang membuat masyarakat Singapura begitu patuh terhadap hukum (Law Abiding)?”
Jawaban yang saya dapat dari orang Singapuranya itu justru sangat simpel, namun bobot jawabannya sangat luar biasa. Dia cuma jawab, “Seluruh peraturan di negeri kami tertulis.” diiringi dengan beberapa detail sederhana.
Yup, hanya itu.
Bagaimana sebuah metode “peraturan yang tertulis” dapat mengubah karakter sebagian masyarakat?
Orang Singapura tersebut menyebutkan, dengan peraturan tertulis yang selalu terpasang di setiap tempat, tidak ada lagi orang yang beralasan “tidak tahu” saat ia melanggar peraturan tersebut.
Seluruh peraturan tertulis ini dibuat sejelas mungkin dan dipasang semudah mungkin untuk terlihat agar tidak ada seorang pun yang dizalimi. Peraturan tertulis inilah yang pada akhirnya membentuk karakter masyarakat yang taat hukum.
Ditambah lagi, Singapura memiliki hukuman yang tidak main-main terhadap si pelanggar dengan penegak hukum yang disiplin lagi tegas, meskipun si pelanggar pada akhirnya dapat meminta keringanan hukuman atau kasasi dari denda atau hukuman yang diterimanya.
Lalu apakah setiap peraturan harus tertulis?
Meskipun kita diajarkan bahwa hukum ada yang tertulis dan ada yang tidak, namun sejatinya beberapa hukum yang tidak tertulis sepatutnya tertulis. Hukum yang tidak tertulis biasanya dapat ditemukan di beberapa hukum adat dan hukum agama, yang mana sebagian hukum yang tidak tertulis tersebut sepatutnya tertulis.
Terkhusus, hukum tidak tertulis yang bersifat kewajiban atau larangan sebenarnya wajib ditulis. Mengapa?
Sekarang bayangkan jika kita melewati sebuah kebudayaan suku adat atau tradisi agama tertentu yang kita baru kenal. Di sana terdapat hukum tidak tertulis yang melarang siapa pun menggunakan baju berwarna khusus, misalnya. Apakah kita punya waktu untuk Googling peraturan khusus tersebut?
Apalagi jika naasnya kita tidak sengaja melanggar hukum yang tidak tertulis tersebut karena murni ketidaktahuan kita. Masih lebih baik jika kita ditegur secara sopan oleh penanggung jawab hukum tersebut, bagaimana yang terjadi justru membuat kita trauma seumur hidup?
Di sinilah pentingnya peraturan-peraturan tertulis.
Sudah sepatutunya hukum yang tertulis harus lebih memiliki ‘taring’ dari hukum-hukum yang tidak tertulis karena memang hukum yang tertulis itu sudah pasti mutlak dan memiliki jejak yang pasti jika ada revisi atau amandemen. Serta, yang memiliki wewenang untuk melakukan revisi atau amandemen hukum tertulis tersebut pastinya bukan sembarang orang.
Nyatanya, di negara kita masih banyak hukum yang tidak tertulis lebih memiliki kuasa daripada hukum tertulis. Seperti, hukum tertulis menyebutkan bahwa setiap pengendara diwajibkan berhenti saat lampu lalu lintas berwarna merah. Peraturan tersebut bahkan sudah diajarkan sedari kita masih duduk di bangku sekolah dan benar-benar tertulis di buku-buku pelajaran.
Namun, beberapa masyarakat justru dengan sembarangan membuat peraturan sendiri bahwa lampu lalu lintas boleh dilanggar jika ia bukan di jalan besar atau saat tengah malam, atau bahkan jika seseorang memiliki jabatan khusus yang tidak tertulis di undang-undang.
Pada akhirnya, karena banyaknya hukum-hukum tidak tertulis yang berlaku di masing-masing ‘kubu’ masyarakat, seringkali terdengar gesekan-gesekan yang tidak menyenangkan terjadi antarwarga.
Apakah hukum yang tidak tertulis perlu ada? Tentu saja.
Namun alangkah baiknya jika hukum yang tidak tertulis itu bukan bersifat kewajiban atau larangan. Contohnya, saat Ramadan, saya mempersilakan karyawan saya untuk pulang satu jam lebih cepat agar dapat berkumpul dan berbuka puasa dengan keluarga mereka lebih awal. Hukum ini tidak tertulis, yang artinya, karyawan saya boleh melaksanakan hukum ini atau tidak.
Hukum dibuat untuk membuat masyarakat lebih teratur dan tentu saja kita ingin daerah atau negara kita aman karena sebagai warga negara, kita merasa dilindungi oleh hukum-hukum yang tertulis tersebut.
Jangan sampai yang terjadi justru sebaliknya, hukum justru dibuat hanya untuk menandakan bahwa seseorang memiliki wewenang yang berakibat timbulnya rasa tidak aman sebagian besar warganya.
Jika seseorang tidak aman dengan hukum yang berlaku di daerahnya, itu menandakan bahwa hukum tersebut masuk ke dalam kategori hukum yang gagal. Siapa yang bertanggung jawab dengan kegagalan sebuah hukum?
Singapura telah membuktikan sendiri dengan seluruh peraturan yang tertulis tersebut, berhasil meraih predikat sebagai salah satu negara teraman di dunia. Masyarakatnya tidak harus khawatir jika ia berjalan sendirian saat malam hari, bahkan tidak harus khawatir jika ia dibuat tidak nyaman dengan para penegak hukum.
Artinya, produk hukum di negara tersebut berhasil.
Kini kembali lagi kepada pentingnya hukum-hukum yang tertulis. Mengapa kita tidak bertanya apakah hukum tertulis telah membuat kita nyaman? Apakah hukum-hukum tidak tertulis justru memiliki peluang untuk mengganggu keharmonisan? Kita dapat menganalisa semua ini di waktu luang kita.