Semenjak 2018, dan semenjak rumor dari seorang dan dua orang Youtuber yang mendapatkan keuntungan yang tidak main-main dari apa yang sehari-harinya mereka lakukan di depan kamera, dari sanalah bisnis konten digital mulai mendapatkan perhatian hampir di setiap belahan masyarakat kita.
Setelah itu? Sudah dapat ditebak. Masing-masing mencoba mencari tahu dari setiap kata tanya yang tersedia. Masing-masing ingin mencoba mengambil bagian. Dan tentu saja, masing-masing mencoba untuk memutar rolet nasib mereka di atas pelataran kasino.
“Apakah saya akan mendapat jackpot dan menjadi tumpuan perhatian setiap orang jika saya menjadi viral?”
Bahkan meskipun rolet tersebut mendarat di bagian yang menguntungkan, mereka rela berkorban.
Saya hanya membuka tutup kemasan susu di pagi hari, meminumnya hingga habis sambil membaca berita-berita tentang riuh rendah para kreator konten dunia maya mencoba mengorek-korek setiap saripati yang menetes dari konten mereka.
Semakin hari, ada kabar hangat dari bagian mana pun di belahan dunia ini mengenai penemuan-penemuan teknologi mereka yang semakin mempermudah kinerja manusia. Tidak jarang, teknologi-teknologi tersebut semakin beringas memangsa mata pencaharian manusia yang dapat diotomasi.
Teknologi-teknologi tersebut membuat semuanya menjadi mudah, praktis, dan tentu saja menyingkat waktu aktivitas setiap orang. Di satu sisi, banyak orang yang harus move on dan beradaptasi dengan (baca: menyelamatkan diri dari) kebuasan dan serangan-serangan teknologi yang membawa sejuta keuntungan bagi banyak umat.
Tanpa kita sadari, tonggak sejarah baru tiba-tiba dimulai, tanpa adanya pertikaian berarti, tanpa adanya pertumpahan darah yang fatal, sesingkat itu, hanya dalam beberapa tahun saja.
Lihat? Kemana anak-anak yang ceria di lapangan melompati kotak-kotak dampu dan tertawa gembira? Ya, mereka masih ada. Namun jumlahnya sangat berkurang, atau bahkan berkurang drastis. Anak-anak itu sudah memilih sesuatu yang lain. Saya kini tidak kaget jika suara perang permainan digital menghiasi kolom khusus bermain anak-anak.
Hari ini, lampu ajaib di film Aladdin terlahir kembali dengan kemasan berupa sebuah tombol di gadget masing-masing manusia, dengan permohonan yang tidak lagi berjumlah tiga. Lapar? Tekan tombol. Ingin pergi namun kendaraan tidak tersedia? Tekan tombol. Ingin mentransfer sejumlah uang? Tekan tombol. Jika Aladdin hidup di zaman ini, si Jin pasti langsung pensiun.
Pada akhirnya semua serba canggih, mudah, dan praktis. Kemudian setelah itu apa? Manusia memilih jalan takdirnya sendiri, putar balik, banting stir, karena perubahan tonggak sejarah ini berlangsung sangat cepat, mungkin lebih cepat dari kedipan mata.
Ada kita yang memilih untuk fokus dengan apa yang menjadi hobi kita, dan ada pula yang stuck, dan ada pula yang pada akhirnya terbawa arus di sungai yang sedang diterpa banjir bandang. Siapa mereka? Setiap orang yang memiliki ambisi yang tinggi mencari gengsi di dunia maya.
Saya tidak katakan bahwa sangat ingin menjadi viral adalah hal buruk. Karena blog saya ini, tulisan yang sedang kalian baca ini, masih menjadi bagian dari kata ‘viral’ tersebut. Saya ingin tulisan saya dibaca, dan kalian sedang mewujudkan keinginan saya agar tulisan ini dibaca. Artinya, di mata satu orang, yaitu kalian, saya mendapatkan keviralan saya.
Viral, seperti apa yang dimaksudkan, menjadi terlihat di mata dan benak orang-orang.
Sayangnya, tidak jarang orang-orang yang berlomba-lomba memutar rolet dan memasang taruhan dalam dunia perjudian popularitas mereka, membuat konten dalam setiap bidang, dari yang humor hingga konyol, dari yang ilmiah hingga konspirasi, dari mengekspos kehidupan sosial hingga kehidupan pribadi, masing-masing undian di pasang di hadapan roda rolet yang terputar.
Mereka yang roda roletnya berakhir di pilihan yang menyenangkan, akan mengambil seluruh keuntungan dan bersiap untuk memasang undian kembali dalam perjudian popularitas. Sisanya? Rugi bandar. Sudahlah peralatan yang dibeli demi konten begitu mahal, namun pemirsanya sangat sedikit, bahkan tidak jarang komentarnya pun sangat tidak patut untuk dibaca.
Apes. Mereka itulah yang tersingkir. Atau jika mereka masih punya nyali, mereka bertaruh kembali di bidang yang lain.
Bagaimana nasib yang beruntung? Mereka kembali bertarung dengan yang lain, memutar rolet keviralan, jika menang, mereka kembali bertaruh, memutar kembali rolet keviralan, dan jika menang, mereka memasang kembali, dan seterusnya. Itu semua mereka lakukan demi mempertahankan mata pencaharian mereka yang mungkin hanya satu-satunya.
Pertanyaannya, bukankah memang semuanya begitu? Termasuk blog Anandastoon ini yang berlomba-lomba kontennya dinikmati para pengunjung?
Benar sekali. Saya katakan pernyataan klasik, yang mana itu merupakan hadits Rasul saw., bahwasanya segala sesuatu kembali kepada niatnya. Kita yang cerdas dapat menilai seorang kreator konten menciptakan karyanya dari hati secara tulus atau hanya untuk mencari perhatian semata.
Mereka yang berkarya secara tulus, tidak memiliki gengsi yang terlalu menggebu-gebu atau hanya sewajarnya, lebih dikenal oleh pemirsa mereka daripada mereka yang hanya melakukannya demi meraih simpati orang-orang.
Terkadang manusia yang begitu berambisi viral, biasanya memiliki landasan berupa rasa iri yang kuat kepada mereka yang mendapatkan kenikmatan lebih dari hasil serupa. Dahulu saya juga termasuk salah satunya, namun karena alhamdulillah saya masih termasuk orang-orang yang diselamatkan, setiap usaha saya menuju viral entah mengapa selalu gagal tanpa sebab jelas.
Ternyata saya ditakdirkan jadi programmer, alhamdulillah saya sekarang menjadi seorang CTO.
Lebih baik memang kita menyerahkan keviralan kepada ahlinya. Dunia dapat bisa lebih dinikmati jika alurnya demikian.
Berapa banyak tren yang diciptakan orang-orang dan diviralkan, namun tidak dapat bertahan lebih dari satu bulan? Padahal di puncak tren, setiap orang bersahut-sahutan tanpa henti membahas sesuatu yang viral itu, bahkan hingga mereka yang tidak tahu akan menjadi korban bully.
Siapa yang masih ingat mereka yang viral dari tahun 2016 dan masih bertahan secara baik hingga sekarang? Dari ratusan kreator konten, kita hanya mengingat sekelumit, atau tidak sama sekali. Bahkan dari ratusan kreator konten tersebut, karya mereka yang masih kita nikmati bahkan dapat dihitung jari.
Saya pada akhirnya menyerah dengan keviralan tersebut, dan menemukan kreator konten pujaan saya sendiri. Entah mereka blogger, pengembang game, musisi, Youtuber, desainer, dan lain sebagainya. Bahkan setiap beberapa periode sekali, saya kerap mengecek halaman mereka, menunggu sesuatu yang baru, yang dapat saya nikmati.
Manusia pada dasarnya memiliki sifat insecurity yang membuat mereka tidak nyaman saat ada orang-orang yang setara dengan mereka memiliki status sosial yang lebih tinggi. Mereka mencoba untuk menyaingi orang tersebut dan jika berhasil mereka akan begitu senang luar biasa bahkan hingga merendahkan orang-orang tersebut.
Jika gagal? Rasa iri mereka berubah menjadi dengki, mereka berubah menjadi monster.
Misal ada desainer grafis si A dan si B.
Si A memiliki ide untuk membuat tren desain yang menakjubkan. Namun naas, si B memiliki presentasi yang lebih baik. Pada akhirnya si B lebih mendapatkan gengsi daripada si A.
Apa yang kalian rasakan jika kalian menjadi si A? Itulah ‘kejamnya’ judi popularitas jika memang si A meniatkan dari awal untuk itu. Namun jika tidak? Si A akan lebih fokus mencari pemirsanya dari celah yang lain, membuat komunitas kecil yang begitu harmonis. Presentasi buruk? Tidak masalah, si A memiliki tips desain yang lain.
Terlebih, si A dapat lebih mudah membuat garis kehidupannya sendiri dengan stabil, di mana si A entah membuat perusahaan desain sendiri, atau menjadi karyawan desain teladan di perusahaan ternama.
Usaha takkan mengkhianati hasil, itulah yang dikatakan orang Tionghoa kepada saya, membuka resep rahasia mengapa bisnis mereka banyak yang berhasil.
Mematangkan diri itu perlu, bukan hanya ‘oh saya dapat membuat karya keren’ namun masih sangat mentah atau tidak dapat dinikmati oleh orang lain terlebih oleh dirinya selain daripada hanya pujian-pujian yang hanya mampir sekejap bagai debu yang terbang terbawa angin.
Perilaku ‘kebelet’ viral ini tidak jarang dapat merusak keseimbangan dunia. Selain dapat memengaruhi para pemirsanya untuk mendapatkan inspirasi-inspirasi fatamorgana, banyaknya mereka yang mendadak viral akan ‘mengubur’ orang-orang yang memang memiliki konten berkualitas.
Apalagi jika hari ini hampir seluruh pemasok digital mengais rezeki via pihak ketiga atau periklanan. Pernah saya mendapat keluhan dari seorang kreator konten bahwa semenjak banyak orang-orang yang membuat blog-blog yang artikelnya hanya salin-menyalin semata dan mempersilakan Google Adsense memasang iklan di blog mereka, penghasilan blog kreator konten tersebut anjlok karena permintaan iklan yang tadinya terpusat menjadi pecah terbagi-bagi.
Lebih parah lagi, jika perilaku ‘kebelet’ viral tersebut menyihir masyarakat akan iming-iming dan mengabaikan ilmu-ilmu yang selama ini mereka dapat dari sekolah selama bertahun-tahun. Alih-alih seseorang mendapatkan cita-cita masa kecilnya menjadi dokter atau pemain piano, justru pada kenyataannya ia membuka hari-harinya dengan ucapan, “Hai guys, selamat datang di Channel X!“
Saya tidak katakan itu buruk, namun bagaimana jika hal itu terjadi kepada sebagian besar kita? Mengapa kita banyak yang tidak membiarkan ranah viral itu dilakukan oleh para kreator konten yang sudah ahli di bidang mereka masing-masing?
Saya sendiri sekarang kerap menjauhi ranah viral karena semua kontennya hanya membuat saya bosan. Hari ini saya semakin sulit menikmati konten yang benar-benar memiliki dedikasi dalam setiap detiknya, dalam setiap alineanya, dalam setiap pikselnya, atau dalam setiap melodinya. Bukan hanya konten yang sekedar mendapatkan reaksi ‘love’ atau ‘haha’ kemudian ya sudah.
Pada akhirnya, penilaian ada pada diri kita pribadi. Apakah kita menginginkan yang seperti itu atau yang seperti bagaimana?