“Kalau bisa dipersulit, kenapa harus dipermudah?”
Pernyataan tersebut kerapkali kita dengar jika ada yang membahas bagaimana kinerja dan pelayanan aparat atau pihak yang berwenang, dari mulai staf yang paling bawah hingga pejabat tinggi pada sektor pemerintahan, terkhusus untuk urusan birokrasinya.
Banyak rakyat yang nyata-nyata merupakan ‘customer’ dari pemerintahan kita mengeluhkan sistem birokrasi yang begitu berbelit-belit, petugas yang tidak ramah dan profesional, serta pelayanan yang super lambat. Dari mulai bidang kesehatan, pendidikan, hingga perizinan dan pajak.
Kita sepertinya memang jika memungkinkan selalu menghindari segala sesuatu yang berhubungan dengan pemerintahan, dengan alasan untuk menyelamatkan mood dan waktu kita pada hari itu. Pertanyaannya, mau sampai kapan?
Sempat saya melihat postingan di Facebook berupa foto aparat kepolisian yang mengembalikan kendaraan korban pencurian hingga sang korban terharu. Namun alih-alih saya mendapatkan komentar pujian, kebanyakan komentator justru mengatakan sebaliknya. Banyak dari mereka berkomentar bahwa kendaraan mereka yang hilang hingga saat ini bahkan tidak ada tindak lanjut laporannya.
Sebegitu buruknya kah citra pemerintahan di mata masyarakatnya? Mengapa seakan beberapa perbuatan baik para aparat pemerintah kerap kali dibalas dengan sebelah mata oleh masyarakat yang nyata-nyata adalah pelanggannya.
Saya mengernyitkan dahi, karena saya sendiri pun tidak dapat menyalahkan para komentator. Sebab, semua komentar tersebut merupakan “keluhan pelanggan” yang masih belum mendapatkan tindak lanjut.
Apakah hanya di Indonesia saja yang mengalami kejadian seperti ini?
Saya melihat di sebuah komik strip, bahwa ada pelancong dari Amerika Serikat yang bertandang ke Kamboja memohonkan sebuah visa kunjungan ke negaranya. Para petugas meminta ia menunggu selama enam jam hanya untuk memberikan persetujuan. Namun begitu ia ‘menyogok’, visanya jadi pada saat itu juga.
Sebagian besar negara berkembang terkhusus negara-negara korup mempraktekkan cara untuk mempersulit warganya. Hanya mereka yang mampu untuk membayar lebih yang mendapatkan prioritas spesial. Indonesia sudah jelas menjadi salah satunya. Mengapa hal ini bisa terjadi? Apa kita tidak lelah dengan hal yang terus terjadi seperti ini?
Jika kita ingin menelisik secara lebih jauh, mungkin kita tertarik bagaimana para kehidupan aparat dan pejabat tersebut sewaktu mereka masih belum menduduki area pemerintahan. Tentu saja, kita akan membahas bagaimana keseharian para pemilik wewenang tersebut saat mereka masih menjadi rakyat.
Jangan melupakan jargon “dari rakyat, untuk rakyat, oleh rakyat” yang telah diajarkan kepada kita semenjak kita masih duduk di bangku sekolah, di negara demokrasi ini. Perlu diperhatikan, bahwa jargon tersebut semuanya menyebutkan rakyat, tidak ada satupun yang menyebutkan pemangku wewenang.
Sekarang fokus kita adalah kepada para rakyatnya itu sendiri.
Seorang teman saya berprofesi sebagai pengemudi ojeg online, waktu itu memiliki inisiatif untuk mengajak teman-teman satu solidaritasnya mengampanyekan safety riding kepada para pengemudi lainnya. Bagaimana tanggapan solidaritasnya? Secara mengejutkan, mereka menolak mentah-mentah inisiatif tersebut. “Untuk apa.” begitu alasannya.
Teman saya meneruskan, ketika ada seminar safety riding dari perusahaannya, para pengemudi yang mengikuti seminar tersebut banyak yang tidak memperhatikan. Sebagian bercanda, bermain dengan gadgetnya, hingga ada yang tertidur. Hanya segelintir saja yang memperhatikan.
Ujung alis saya menurun ke bawah mendengar ceritanya. Mereka masih menjadi rakyat, belum menjadi aparat apalagi pejabat.
Saya sendiri pun merasakan ketika saya berdiskusi tentang masalah orang banyak kepada beberapa orang, kebanyakan mereka membalas saya dengan ‘cengengesan’ dan menyuruh saya untuk memikirkan masalah pribadi saya saja. Saya merasa sangat tidak nyaman dengan pernyataan tersebut. Bagaimana jika para pejabat memiliki prinsip yang sama, yaitu lebih baik memikirkan pribadinya dia saja daripada memikirkan kemaslahatan orang banyak?
Tidak jarang banyak jalan rusak yang membahayakan tidak diperbaiki karena kita sendiri yang enggan melapor. Sekalipun ada, hanya satu atau dua, yang mengakibatkan laporan tersebut menjadi tidak diprioritaskan pemerintah setempat.
Bahkan sempat saya beberapa kali menemukan para warga yang ‘bangga’ dengan jalan rusak tersebut, menunjukkan ‘skill’ mereka mengemudi di jalan rusak dan cenderung meremehkan orang kota yang jalanannya banyak yang mulus hingga menyebutnya sebagai orang yang cengeng lagi manja.
Tidak jarang pula mereka melarang orang lain untuk menghaluskan jalanan menuju sebuah tempat wisata, dengan alasan tempat tersebut akan menjadi tidak lagi natural.
Memang tidak semuanya yang seperti itu, mungkin hanya sebagian saja. Namun nila setitik saja sudah merusak susu sebelanga, bagaimana jika nilanya sudah jauh lebih banyak dari itu?
Banyak dari warga kita yang berprinsip, “Kan yang penting ada…” atau “Masih mending ada…”, kita lupa kalau nanti pemimpin yang kita pilih berasal dari mereka yang kesehariannya dihiasi oleh prinsip seperti itu. Lalu kenapa masih banyak yang mengherankan sikap para aparat dan pejabat yang menyulitkan warganya?
Melayani masyarakat, itu bukanlah sebuah materi yang berhubungan dengan kimia, fisika, biologi, matematika lanjutan, ekonomi menengah, dan ilmu eksak lainnya. Melayani masyarakat adalah ilmu yang telah diajarkan kepada kita bahkan sebelum usia kita menyentuh akil baligh atau usia yang sudah dapat menggunakan akalnya dengan baik.
Begitu pun dengan sikap mempermudah urusan orang lain, bersikap baik, dan disiplin, bukanlah hal yang harus melibatkan pikiran yang unik. Ini adalah kebiasaan yang bahkan seharusnya orang tua kita telah mengajarkan kepada kita sebelum kita mengenyam bangku sekolah dasar.
Ditambah, negara kita mayoritas muslim, tentu saja ini menjadi sorotan utama. Rasulullah Muhammad saw., yang ‘katanya’ menjadi panutan umat islam, beliau secara terang-terangan pernah bersabda,
βMudahkanlah setiap urusan dan janganlah kalian mempersulitnya, buatlah mereka tenang dan jangan membuat mereka lari.β
(HR. Bukhari: 5660)
Namun justru yang terjadi mengapa sebaliknya? Di mana umat muslim yang mengaku-aku diri mereka mencintai Rasulnya? Apakah pernah hal ini diangkat menjadi pembicaraan yang benar-benar serius?
Justru yang saya perhatikan kebanyakan orang-orang non muslim yang menerapkan hadits tersebut. Mereka melayani tanpa komplain, seperti yang saya alami sendiri di Singapura.
Para pemimpin adalah representasi dari rakyatnya, jika pemimpinnya buruk, kemungkinan rakyatnya juga demikian.
Sebenarnya masalah ini adalah masalah yang mudah, yang membuat sulit adalah banyaknya yang mengelak untuk membahas sumber masalahnya.
Tingginya ego dan sulitnya berintrospeksi menjadi duri yang sudah begitu tersebar dalam benak sebagian besar orang sehingga mereka dengan mudahnya merasa tersindir jika dibahas masalah yang berkaitan dengan mereka. Padahal yang sedang dibahas adalah masalah umum, tidak spesifik membahas diri mereka.
Hilangkan persepsi bahwa orang yang menginginkan kemudahan adalah orang yang cengeng dan manja, karena jika segala sesuatu sudah dipermudah, setiap orang juga akan merasakannya.
Mengapa tidak memulai untuk memprioritaskan diri sebagai orang lain? Seperti, jika kita sedang berada di jalan dan melihat sebuah rambu lalu lintas, berpikirlah apakah orang lain dapat dengan mudah melihat dan mengerti rambu tersebut, atau apakah yang kita temukan akan menyulitkan orang lain, seperti lokasi pintu masuk stasiun, atau sejenisnya? Syukur jika kita sendiri yang dapat melakukan pengadaan sebuah aset untuk mempermudah hidup orang lain.
InsyaAllah masalah hidup kita juga akan menjadi mudah dan tidak bertahan lama jika kita mempermudah hidup orang lain. Karena mereka pun memiliki masalah masing-masing yang seharusnya tidak lagi kita tambah meski dengan petunjuk arah yang menyulitkan.
Jadi kembali lagi kepada diri kita sendiri, apakah kita ingin memulai untuk melakukan perubahan mulai dari diri sendiri dahulu atau tidak?