Dengan Berat Hati
urban legend by : anandastoon
Aku selalu ingin anakku pergi. Entah bagaimana pun caranya anakku harus pergi. Meski pun dalam batin seorang ibu aku memiliki rasa berat hati yang cukup mengganggu, namun aku menyadari bahwa anakku harus memiliki masa depan yang cerah.
Anakku adalah seorang gadis, satu-satunya di keluarga ini. Sedangkan aku, ibunya, sudah sakit-sakitan yang hanya dapat berbaring di tempat tidur, tidak dapat bangun dan berjalan kecuali dengan sangat terpaksa.
Untunglah rumah kami sangat dekat dengan pelabuhan jadi jika suatu saat anakku sudah memutuskan dirinya untuk pergi, aku bisa sedikit mendampinginya hingga ke ambang pintu rumah dan melihat paras cantiknya meninggalkan kapal di pagi hari.
Kami benar-benar hidup di tengah kemiskinan dengan seorang ayah yang benar-benar tidak dapat begitu bisa diandalkan. Maka aku, selaku ibunya, harus menjadi tumpuan utama untuk mendidiknya menjadi seorang anak gadis yang matang. Aku harus membuat dia pergi untuk menyongsong masa depan cerahnya, menggapai cita-citanya.
Hingga malam itu, aku mungkin agak keras kepadanya untuk segera berkemas. Aku hanya mendengar ia menangis dari bilik kamar. Aku tahu, aku sudah memberikan penjelasan yang seharusnya membuat ia tergugah, namun aku gagal. Sekarang aku hanya kasihan kepadanya. Andai aku dapat sedikit lebih sehat.
Namun tak disangka, di pagi buta aku terbangun dan mendengar anakku yang cantik itu seperti sedang memasukkan sesuatu ke dalam tas. Apakah ia sedang berkemas? Tak lama, ia mengetuk pintu kamarku dan aku mempersilakannya masuk. Ia pun masuk dengan tas di punggungnya, menyeka sedikit air matanya dari linangan air mata.
Aku bahagia, begitu bahagia. Ia akhirnya memutuskan pergi. Aku berusaha sebisa mungkin untuk melihat paras manisnya sebelum ia pergi ditelan horizon. Anakku ikut membantu membopongku, benar-benar anak yang begitu baik. Jadilah air mata kami mulai membasahi pipi-pipi kami.
Aku memberinya sedikit bekal untuknya. Kami berpelukan sebelum dia berlari menuju kapal. Aku hanya melihat dia melambaikan tangannya dari dermaga kapal, diiringi dengan kapal yang mulai meninggalkan pelabuhan. Ia bahkan sudah tidak mempedulikan lagi ayahnya.
Kulihat ia pergi, dengan tatapan penuh kepiluan dari pancaran sinar wajahnya yang terpantul oleh cahaya mentari pagi.
Selamat menggapai cita-cita dan impianmu nak, karena kau sudah tahu, ibumu memiliki kelebihan dapat melihat masa depan. Ibu sudah katakan kepada masyarakat, bahkan ayahmu, namun mereka tidak percaya dan mereka justru berbalik meremehkan ibu. Lagipula siapa yang mau mendengarkan ocehan dari keluarga miskin ini?
Pergilah nak, jangan hiraukan desa ini lagi. Peringatan ibu sudah mereka remehkan, hanya kau yang mau mendengarkan ibu. Desa ini akan dilanda sesuatu yang sangat mengerikan nanti malam.
Ibu hanya ingin kau selamat. Selamat jalan nak, untuk yang terakhir kalinya.