Permintaan Maaf

Ketika ada orang yang berbuat zalim dengan kalian dan ia meminta maaf, kalian mungkin memaafkannya. Namun apabila setelah itu ia mengulangi serta terus mengulangi perbuatan zalimnya kembali, kalian akan sulit memaafkannya lagi.

Benar bahwa itu adalah salah satu faktor mengapa banyak orang yang masih tidak menerima permintaan maaf dari si bersalah. Saya pun demikian.

Tetapi saya akan membahas lima faktor lainnya selain dari itu yang membuat saya masih belum dapat memaafkan seseorang sekali pun mereka telah meminta maaf.

Mungkin saya bukanlah tipe pemaaf, tetapi saya hanya ingin orang yang berbuat salah benar-benar menyadari kesalahannya terlebih dahulu sebelum mereka meminta maaf.

Saya sendiri jika memang berbuat salah, saya langsung meminta maaf tanpa ada tambahan alasan apa pun jika memang bukan masalah objektif.

Bahkan bukan hanya meminta maaf, saya pun menawarkan kompensasi tambahan dalam garis kewajaran kepada ‘sang korban’.

Misalnya, kendaraan saya pernah menyenggol emak-emak yang mengendarai sepeda motor karena langsung keluar dari gang tanpa melihat sekeliling terlebih dahulu.

Saya segera memarkirkan kendaraan saya dan meminta maaf kepada beliau.

Pada waktu itu sang emak mengomeli saya bermacam rupa meski saya telah meminta maaf, namun saya hanya mendengarkan dan tidak melawan. Setelah itu saya menawarkan apakah ada yang terluka dan saya bahkan menawarkan bantuan medis.

Saya menawarkan ‘kompensasi’ tersebut dengan suara yang pelan, seakan saya berbicara kepada ibu saya sendiri.

Mendengar penawaran itu, sang emak mereda. Beliau kemudian sedikit tersenyum dan kasusnya selesai seketika.

Bisa saja saya pada waktu itu saya memilih untuk berargumen kembali dan menyalahkan sang emak sebab beliau tidak memperhatikan sekitar dan main asal keluar gang. Tetapi hal itu tidak saya lakukan karena saya tahu itu akan memperkeruh keadaan.

Nah, lalu apa yang membuat saya tidak menerima permintaan maaf dari orang lain saat mereka meminta maaf kepada saya?


1. Formalitas

Sejujurnya saya kurang menyukai seseorang yang bersalah, melontarkan permintaan maaf yang seolah-olah hanya formalitas.

Misalnya, “Maaf ya kalau saya ada salah.”

Sekalipun saya menghargai ucapan permintaan maafnya, tetapi tidak serta-merta saya maafkan.

Telah saya sebutkan sebelumnya, saya hanya ingin yang bersalah mengetahui apa kesalahannya terlebih dahulu sebelum ia meminta maaf.

Bahkan sekali pun si bersalah tidak atau belum sempat meminta maaf kepada saya, saya otomatis akan memaafkannya apabila dia menyadari apa kesalahannya dan melakukan perbaikan setelah itu.

Bagi saya, permohonan maaf yang formalitas hanya ada di sesi pidato, ceramah, orasi, dan sejenisnya.

Permintaan maaf formalitas tidak berlaku apabila kasusnya spesifik.

Jika seseorang tidak paham apa kesalahannya, kemungkinan besar ia akan mengulangi kesalahan serupa terus-menerus di kesempatan lain.

Di satu sisi, biasanya saya memang memberitahukan apa kesalahan seseorang yang membuat saya marah kepadanya. Saya tidak mendiamkannya setelah saya tahu si bersalah memang terlihat ingin memperbaiki diri.


2. Pembelaan sepihak

Tidak ada yang lebih saya benci dari seseorang yang meminta maaf namun kalimatnya berekor hingga sepanjang sungai Amazon.

Saya kerap melihat di media sosial tentang orang-orang yang meminta maaf, dengan membubuhkan kata “tapi” setelah permintaan maafnya.

Ingat bencana asap yang melanda Sumatera yang menyebabkan langit pemukiman menjadi merah tahun 2019?

Keponakan saya yang berada di Pekanbaru hingga tidak dapat bersekolah karena sempitnya jarak pandang. Bahkan, banyak sekali kasus ISPA dari peristiwa kebakaran hutan tersebut. Kegiatan ekonomi di tempat terdampak menjadi terganggu, aktivitas warga banyak yang terhambat.

Pada saat yang sama, seorang warganet justru menggampangkan bencana tersebut dan tidak separah bencana lain seperti gempa bumi atau gunung meletus. Pernyataan si warganet memicu kemarahan jagat maya termasuk saya.

Hanya saja, saya tidak ikut menyerangnya.

Sampai akhirnya si warganet meminta maaf, tetapi itu pun masih ia sisipi alasan-alasan ‘tapi kan… tapi kan…’ setelah kalimat permintaan maafnya.

Tentu saja permintaan maaf yang seperti itu tidak dapat saya terima, seakan ia meminta maaf dengan terpaksa.

Saya juga berpikir dua kali jika ada kalimat permintaan maaf yang begitu panjang dan lebar.

Permintaan maaf yang terlalu panjang dapat berubah menjadi seperti ancaman daripada ketulusan.

Saya sendiri saat meminta maaf kepada orang lain, saya benar-benar meringkaskan kalimat. Tidak saya tambahkan sesuatu kecuali kalimat ‘saya tidak akan mengulanginya lagi’ atau ucapan terima kasih sebelumnya jika ia berkenan memaafkan saya.

Sekali pun saya menambahkan alasan, saya hanya memastikan itu adalah alasan objektif, bukan subjektif. Dan itu cukup jarang terjadi.

Misal, saat saya menghukum seseorang terlalu keras, saya meminta maaf kepadanya. Namun setelah itu saya pun menyarankannya agar lebih kooperatif supaya peristiwa hukuman tersebut dapat terhindarkan di lain kesempatan.


3. Traumatik

Saat ada seseorang yang berbuat kerusakan sehingga begitu menggoyahkan kondisi mental dan/atau fisik seseorang, bagi saya tidak cukup hanya dengan permintaan maaf.

Contoh beratnya, ada sebuah negara yang menghancurkan negara lain sehingga menyebabkan kerusakan, kematian, dan kejadian trauma. Negara yang menyebabkan kerusakan tersebut tidak cukup dengan melontarkan permintaan maaf semata, ia juga harus mengganti setiap kerusakan dan memulihkan kondisi para korban.

Jika seseorang tidak mampu bertanggung jawab atas perbuatannya yang telah menghancurkan hidup orang lain, maka enyahnya dari sang korban adalah pilihan terbaik.

Contoh lain, ada orang tua yang mendapatkan aniaya dari orang lain tanpa sebab, apalagi disaksikan langsung oleh anaknya, itu tentu akan menumbuhkan sifat trauma dari si anak.

Penganiaya pun tidak dapat sekadar melayangkan permintaan maaf semata, ia pun bertanggung jawab memulihkan kondisi psikologi sang anak. Jika ia masih tidak mampu, maka hendaknya si penganiaya pergi ke tempat jauh sehingga tidak dapat lagi terlihat oleh si anak.

Meski pun memang, saat si anak memilih untuk memberi maaf maka itu akan lebih baik baginya. Tetapi hal itu bukan sesuatu yang dapat kita paksakan kepada si anak.

Hukuman itu bertujuan mengajarkan seseorang agar lebih mempertimbangkan lagi kondisi psikis orang lain. Saya sendiri sangat berhati-hati dengan itu.


4. Sebelum tiba hukuman

Pemerintah membangun gedung sidang yang bertujuan untuk memutuskan perkara orang yang bersalah.

Saat hakim melakukan ketuk palu, hukuman sudah menjadi final dan tidak ada lagi ganggu-gugat. Pengajuan banding pun tetap tidak dapat terjadi apabila kejadian ketuk palu telah berada di tahap mahkamah akhir.

Perlu kita ketahui, seseorang yang bersalah masih sangat bisa memperbaiki diri dan menggagalkan hukuman sebelum hari di mana hakim memutuskan perkara hukum.

Baru meminta maaf dan memohon keringanan setelah diputuskannya hukuman bukan hanya tidak menghargai kesempatan, melainkan pula terlihat seperti mengejek ketentuan hukum.

Masalahnya, tidak jarang saya temukan orang-orang bersalah yang menantang agar orang lain melaporkan diri mereka dan membawa mereka ke ranah hukum. Tetapi saat hari jatuhnya hukuman, mereka justru meminta belas kasihan.

Itu benar-benar tindakan mempermainkan hukum dan tidak selayaknya mendapatkan maaf.


5. Melakukan perbandingan

Saya pernah mendengar seseorang yang sengaja mencari gara-gara kepada orang lain dan meminta maaf kepadanya dengan kalimat permintaan maaf yang mengejek.

“Maafin dong, Tuhan aja Maha Memaafkan.”

Mendengar itu saya menjadi ikut terganggu dan tidak membenarkan ucapannya.

Bukan selayaknya manusia dibandingkan dengan yang Mahakuasa. Bahkan Tuhan saja mungkin tidak menerima taubat orang yang tidak sungguh-sungguh.

Bahkan lebih parah lagi, beberapa orang yang bersalah justru melakukan playing victim sehingga merekalah yang seakan menjadi korban.

Meminta maaf dengan tambahan drama sebenarnya hanya membuat orang lain lebih tidak ingin memaafkan si bersalah.


Catatan penting

Tetapi bagaimana jika misalnya kita telah meminta maaf secara tulus namun kita belum mendapatkan maaf oleh orang itu?

Pertanyaan bagus. Yang pasti, kita harus meyakinkan diri kita tidak meminta maaf dengan cara yang telah saya sebutkan di atas. Apabila kita telah berusaha untuk memperbaiki diri dan memberikan kompensasi semampu kita tetapi masih tidak mendapatkan maaf, sebaiknya tinggalkanlah orang tersebut.

Waktu kita lebih berharga daripadanya selama ia bukanlah siapa-siapa dan tidak begitu memiliki manfaat kepada kita.

Di satu sisi, kita juga sebaiknya jujur ketika kita masih belum dapat memaafkan seseorang. Sebab jika kita masih terngiang-ngiang kesalahan orang lain dan kita masih benci dengan itu, artinya kita memang belum memaafkannya.

Jadi, tidak perlu kita bubuhi dengan istilah yang tidak penting seperti, “Saya sudah maafkan tapi hukuman tetap jalan.”

Kita perlu ingat bahwa ketika kita telah memaafkan orang lain, hukuman akan gugur dengan sendirinya.

Hukuman yang masih tetap akan berjalan adalah tanda bahwa seseorang masih belum memaafkan.

Sebaiknya kita merevisi kalimat tersebut menjadi, “Dirimu akan saya maafkan setelah mendapatkan hukuman.”

Kita hanya ingin dunia yang damai. Jangan sampai orang-orang yang senang mengganggu, mempermainkan kita lewat permintaan maaf yang tidak tulus.

Suka
Komentar
pos ke FB
pos ke X
🤗 Selesai! 🤗
Punya uneg-uneg atau saran artikel untuk Anandastoon?
Yuk isi formulir berikut. Gak sampe 5 menit kok ~

  • Sebelumnya
    Tips Lebih Bahagia 33: Siap Dibenci

    Berikutnya
    Apakah Gila Kerja Itu Baik Atau Buruk?


  • 0 Jejak Manis yang Ditinggalkan

    Minta Komentarnya Dong...

    Silakan tulis komentar kalian di sini, yang ada bintangnya wajib diisi ya...
    Dan jangan khawatir, email kalian tetap dirahasiakan. 😉

    Kembali
    Ke Atas