Kita sudah menempuh jenjang pendidikan selama 9 tahun, bahkan ditambah beberapa tahun dengan adanya tahapan Taman Kanak-Kanak (TK), Sekolah Menengah Atas (SMA) dan sederajat, hingga diploma hingga strata tiga.
Kita juga menemui berbagai macam karakter teman-teman baik satu kelas maupun beda kelas, satu angkatan maupun di luar itu, hingga bagaimana kehidupan para alumnusnya setelah mereka lulus.
Lalu apa alasan saya membuat artikel semacam ini? Apakah saya ingin menyuruh setiap siswa agar mendapatkan nilai sempurna setiap mata pelajaran? Tentu saja bukan dong say.
Kita sebagian besar pastinya sudah tahu kalau di negara maju seperti Jepang, Finlandia, dan sebagainya mereka mengutamakan pendidikan etika dan moral sebelum mereka belajar materi eksak.
Hasilnya? Banyak negara-negara maju yang negerinya begitu tertata dan masyarakatnya memiliki etika yang tinggi, bahkan lebih tinggi dari negara-negara yang mengklaim bahwa negara mereka memiliki masyarakat yang ramah.
Lihatlah Jepang yang daerahnya begitu bersih, lihatlah Swedia yang negaranya begitu sedikit kriminal, atau lihatlah Singapura yang negaranya benar-benar menjunjung tinggi semuanya.
Saya tidak sedang membahas matematika, fisika, kimia, atau ekonomi. Saya sedang membahas akhlak dan etika negara maju. Seharusnya negara kita yang dikenal penduduknya ramah dapat memiliki akhlak yang lebih luhur dibandingkan mereka bukan? Namun bagaimana kenyataannya di lapangan?
Terkadang kita tidak dapat mengelak bahwa kejadian-kejadian tidak bermoral masih sering terjadi di antara kita, di negara yang katanya gemah ripah repeh rapih ini. Baiklah kita tidak akan membahas banyaknya masyarakat yang berbuat kejahatan hingga merugikan banyak pihak, kita coba mulai fokus membahas dari yang paling kecil terlebih dahulu.
Contohnya, pernahkah kita keluar rumah, mencoba berkeliling kota atau desa, dan membuat survey, bagaimana keadaan masyarakatnya di sana?
Apakah mereka benar-benar berakhlak secara maksimal? Apakah mereka tidak buang sampah sembarangan? Apakah mereka tidak berisik? Apakah mereka peduli dengan orang lain tidak hanya saat orang-orang terkena bencana saja? Atau apakah mereka menaati peraturan di jalanan?
Nyatanya, pendidikan akhlak di negara kita tidak memiliki konsep dan standar, sehingga setiap orang bergantung kepada standar mereka masing-masing. Maka dari itu banyak orang-orang baik yang dirasa belum benar-benar berbuat baik secara maksimal. Apalagi jika perbuatan baik mereka dibubuhi frasa, ‘Masih mending’ atau ‘Yang penting kan…’.
Tidak jarang saya bertanya, bagaimana mereka diajar sewaktu mereka masih duduk di bangku sekolah? Mereka pernah belajar pendidikan moral dan pancasila, mereka pernah belajar akidah dan akhlak, mereka pernah belajar pendidikan agama, dan lain sebagainya, bagaimana hasilnya? Apa yang telah mereka dapatkan selama sembilan tahun lebih mereka menghabiskan uang orang tuanya untuk mengenyam sesuatu yang dijuluki sebagai “pendidikan”?
Kita seringkali mendengar seseorang yang menganjurkan siswa di sekolah harus menjadi siswa yang pintar. Tentu saja ini penting jika ingin dibahas lebih jauh.
Saya paham bahwa sangat jarang siswa yang dapat menguasai seluruh mata pelajaran, termasuk diri saya sendiri. Namun coba pikirkan kembali, apakah hasil kita menempuh pendidikan selama hampir sedekade bahkan lebih? Apakah hanya ijazah yang kita inginkan?
Di sekolah ada murid-murid yang berprestasi dan menyabet juara kelas, atau jika tidak, ada murid-murid yang menonjol dalam sebuah mata pelajaran, setidaknya meski hanya satu atau dua mata pelajaran.
Itulah makna sekolah yang sesungguhnya, di mana uang yang telah habis untuk biaya pendidikan benar-benar tidak sia-sia. Namun yang jadi pertanyaan di sini, berapa banyak murid yang tidak berprestasi dan tidak menonjol sama sekali? Berapa perbandingannya?
Guru matematika saya pernah berkata, “Ibu senang jika setidaknya 20 persen dari kalian mengerti apa yang ibu sampaikan.”
Dua puluh persen saja sudah membuat beliau bahagia, berarti memang kualitas semangat berpendidikan anak-anak kita masih jauh di bawah 50 persen.
Jadi tidak perlu mempertanyakan mengapa banyak orang-orang di negara ini yang sudah tidak pintar, tidak berakhlak pula. Bahkan tidak perlu heran dengan pernyataan bahwa negeri ini kekurangan orang-orang pintar yang ilmunya bisa bermanfaat untuk orang banyak, bukan sekedar pintar berteori dan hanya menimbulkan decak kagum orang-orang, setelah itu hilang.
Lihatlah teman-teman kita yang dulunya sering bolos, tidak pernah menyimak guru dengan baik, dan lebih senang bermain. Bagaimana mereka sekarang?
Jangan pernah sekali-kali terkecoh dengan judi profesi. Kita bisa saja mengelak bahwa beberapa orang tidak pintar di sekolahnya justru menjadi kaya-raya, entah menjadi artis, atau publik figur.
Coba sesekali kita nanti katakan kepada anak-anak kita atau keponakan kita hal yang seperti itu, apakah kita mau? Sekarang berapa persen dari mereka yang dulunya malas-malasan di sekolah sekarang bisa sukses?
Perhatikan gambar berikut:
Steve Jobs, Bill Gates, Mark Zuckerberg, mereka meninggalkan sekolah kemudian menjadi miliarder. Kalau kita meninggalkan sekolah jadi apa? Jadi gila kah?
Perlu dicatat bahwa Steve Jobs, Bill Gates, dan Mark Zuckerberg, mereka bukanlah siswa abal-abal sewaktu mereka menempuh jalur pendidikan mereka.
Mereka hanya sampai di suatu titik di mana mereka sudah jenuh dengan kurikulum pendidikan setempat karena mereka sudah menganggap dan membuktikan sendiri bahwa mereka sudah dapat menjadi manusia unggulan jadi mereka tidak memerlukan jenjang pendidikan yang lebih tinggi lagi. Mereka bahkan sudah punya karya sedari mereka masih mengenyam bangku sekolah atau kuliah. Bagaimana dengan kita?
Beberapa dari murid yang menyia-nyiakan masa sekolah mereka pada akhirnya depresi dan begitu putus asa mencari pekerjaan yang sesuai dengan ekspektasi mereka.
Bahkan di antaranya, mereka memainkan rolet judi profesi, mencoba peruntungan membuat konten viral mencari perhatian dari masyarakat sehingga berakhirlah mereka ada yang menjadi menang dan terkenal dan ada yang kalah telak menangis pilu.
Saya katakan ini adalah judi profesi, karena kita tidak dapat menebak yang bagaimana yang lebih diminati masyarakat, tidak ada standar di sini. Atau yang memenangkan rolet judi profesi tersebut bisa jadi esoknya tidak lagi mendapatkan keuntungan serupa.
Hari ini dia berhasil viral dan mendapatkan banyak uang, besok mungkin posisi dia akan digeser oleh seseorang. Setelah itu tidak jarang beberapa orang akhirnya menutupi keadaan sebenarnya dengan mempertahankan postingan ‘glamor’nya di jagat maya, demi menjaga gengsi. Kehidupan yang seperti itukah yang kita inginkan?
Pada akhirnya kita sendiri dapat menilai, apakah negara kita dapat maju jika masyarakat kita seperti ini?
Saya paham bahwa banyak mata pelajaran yang bahkan guru kita kebingungan digunakan untuk apa nantinya beberapa mata pelajaran yang dipelajari sewaktu sekolah. Integral, diferensial, momentum, gaya gesek, dan sebagainya.
Namun saya, sebagai direktur utama IT sekaligus programer, baru merasakan bahwa saya banyak menggunakan trigonometri dan rumus fisika lainnya dalam kegiatan programing saya karena program saya dituntut untuk menyelesaikan masalah-masalah kompleks yang manfaatnya begitu terasa bagi orang banyak.
Setidaknya mulai dari sekarang kita dapat mulai bertanya kepada diri kita sendiri, selama lebih dari sedekade menempuh jenjang pendidikan, apakah uang yang orang tua kita keluarkan untuk membuat kita merasakan nikmatnya bangku sekolah, akan memiliki timbal balik (atau balik modal, ROI) ke dalam kehidupan kita sehari-hari? Apakah semua uang pendidikan tersebut hanya akan hangus tak tersisa?
Apakah setidaknya kita dapat menerapkan apa yang kita telah pelajari, tidak perlu dari segi eksak, setidaknya dari segi akhlak. Dari sekolah dasar kita telah belajar bahwa membuang sampah harus di tempat yang telah disediakan, jika lampu lalu lintas berwarna merah kita harus berhenti, jika ada yang kesusahan kita harus membantu, apakah semuanya itu setidaknya dapat diterapkan untuk menghormati uang yang telah menguap?
Tidak mengapa jika pada akhirnya kita ditakdirkan menjadi petugas, atau pegawai, atau staf kelas bawah. Setidaknya jika kita memang menghargai masa sekolah kita, kita akan menjadi pegawai yang disiplin, bekerja keras, rajin, cerdas, dan berbudi baik. Apakah hal itu masih sulit dilakukan?
Jika kita telah menerapkan semua itu, selamat! Namun bagaimana dengan saudara-saudara kita yang lain? Di lingkungan kita? Di luar solidaritas kita? Di luar daerah kita? Bukankah kita juga pernah diajarkan untuk menjadi peduli, setidaknya ‘sadar’ akan fenomena di sekeliling kita?
Hormatilah uang pendidikan kita, karena kita tidak ingin dunia menjadi kejam akibat kita menyia-nyiakan masa sekolah kita.