Beberapa kali saya melihat postingan di media sosial yang berisikan tentang serentetan alasan agar para muslim meninggalkan musik dan menggantinya dengan alunan alQuran.
Bahkan beberapa teman saya juga merupakan muslim, atau muslimah tepatnya, yang telah meninggalkan musik bahkan cenderung memilih pendapat yang mengharamkan musik.
Hal itu sebenarnya tidak masalah, itu adalah pilihan mereka. Mengapa kita harus mengganggu ‘keyakinan’ mereka yang memilih pendapat bahwa musik itu haram. Kita harus menghargai keteguhan mereka dan jangan berusaha untuk mendebatnya.
Mengapa sesama muslim harus mendebat sesuatu yang kita sendiri masih belum memiliki ilmu yang mantap tentang itu bahkan masih belum memiliki kelayakan untuk mengeluarkan fatwa? Mendebat sesama muslim bukanlah sesuatu yang diinginkan Rasulullah saw.
Dalam sebuah arti, biarlah khilafiah ini menjadi sebuah hal untuk melatih kebijaksanaan seseorang.
Saya pribadi bukanlah orang yang mengambil pendapat bahwa musik itu haram. Masih cukup banyak ulama yang mengatakan bahwa musik itu halal dengan syarat. Perlu diketahui, ulama yang saya maksud bukanlah ulama wannabe atau ulama yang hanya bermodal sedikit mengaji, memakai jubah putih dan sorban kemudian mendeklarasikan diri mereka sebagai ulama.
Ulama yang menjadi panutan saya di sini tentu saja mereka yang benar-benar mengambil ilmu kejuruan yang fokus membahas ilmu agama terutama fikih dan berdedikasi atasnya. Mereka paham bukan sekedar tafsir, melainkan juga asbabul-nuzul ayat-ayat Al-Quran, termasuk nasikh-mansukh, dan mereka menguasai musthalah hadits.
Bahkan ada habib yang bermarga Alaydrus (tidak saya sebutkan nama beliau di sini karena beliau memilih low profile) yang juga mengikuti hukum musik ‘boleh dengan syarat’. Padahal kitab beliau di rumahnya berrak-rak.
Lalu apa hubungannya dengan judul artikel yang saya tulis ini?
Pernah sekali di suatu hari, saat saya membahas masalah musik, saya disela dengan argumen dari seseorang seperti ini, “Mengapa lebih memilih musik daripada alQuran?”
Bahkan ia sebutkan bahwa musik dan AlQuran adalah hal yang tidak akan pernah menyatu.
Biasanya saya senang mendengarkan ‘komplain’ dari orang lain, namun sejujurnya kali ini saya merasa sangat tidak senang dengan selaan itu sehingga saya balik bertanya,
Dear, mengapa dirimu menyejajarkan AlQuran dengan musik? Bukankah menyerupakan AlQuran dengan sesuatu itu dapat menghina AlQuran?
Saya sendiri tidak pernah dapat mencerna dalih orang-orang yang menyandingkan alQuran dengan musik seperti, “daripada mendengarkan musik lebih baik mendengarkan lantunan alQuran”, dsb.
Mengapa mereka begitu bernafsu untuk menyamakan musik dengan alQuran? Padahal AlQuran adalah panduan hidup yang langsung berasal dari Allah Ta’ala untuk makhluknya yang bernama manusia, sedangkan musik adalah hasil karya manusia yang tidak berarti apa-apa selain untuk hiburan dan inspirasi di dunia.
Lalu mengapa ada beberapa muslim yang sampai hati membenturkan musik dengan alQuran?
Baiklah, saya sendiri menyetujui dengan ilmu yang saya dapat dari kajian-kajian yang saya hadiri bahwa musik itu haram, jika salah satu dari ceklis berikut memiliki jawaban “iya”.
Nyatanya, tidak ada satu pun pertanyaan di atas yang saya jawab “iya”.
Justru kebalikannya, beberapa muslim anti musik yang begitu memburu pecinta musik lalu membandingkannya dengan alQuran, adalah kebanyakan muslim yang arogan, pedantis, serta senang mengganggu orang lain.
Padahal, saya menghargai pilihan orang-orang yang menganggap musik itu haram. Karena hukum musik ini sejauh ini hanya sebatas khilafiyah, jadi saya anggap perbedaan tersebut sebagai rahmat dan latihan untuk menjadi bijak.
Saya sendiri memiliki pemilihan musik yang sangat ketat.
Sejujurnya saya bukanlah penggemar musik yang hanya sebagai pelarian saat sedang sedih semata. Saya benar-benar memilih musik yang memiliki timbal balik positif bagi kehidupan saya.
Misalnya, ada musik yang memberi saya inspirasi untuk mengambil foto dari sudut tertentu atau memberi saya inspirasi bagaimana memberikan sentuhan kepada foto-foto atau desain saya.
Bahkan dengan musik saya mendapatkan ide dan motivasi bagaimana saya memulai pekerjaan saya. Saya sejajarkan musik ini sebatas dengan kata-kata semangat yang sering dilontarkan oleh para motivator, dan bukan dengan alQuran yang mulia.
Sedangkan saya insyaAllah masih tetap rutin mengaji dan mengkaji alQuran, mendengarkan kajian bagaimana asbabun-nuzulnya, dan membaca beberapa tafsirnya lebih dari satu sumber, terkadang saat waktu luang saya membuka situs-situs untuk belajar fikih lebih dalam.
Saya berusaha mempelajari AlQuran semampu saya untuk saya amalkan, bukan untuk saya jadikan sebagai tandingan terhadap musik. Oh my dear God! Naudzubillah.
Musik adalah salah satu hasil karya manusia. Sama dengan desain, puisi, pantun, hingga animasi, video, atau bahkan artikel yang sedang kalian baca ini.
Dari situlah fakta bahwa musik bukanlah levelnya untuk dibandingkan dengan AlQuran, bahkan memang sebaiknya tidak terpikirkan untuk membanding-bandingkan musik dengan AlQuran, apalagi disejajarkan.
Justru kita seharusnya malu jika musik dituding dapat menghilangkan kesedihan seseorang.
Benar bahwa membaca alQuran dapat menenangkan hati seseorang. Namun perlu diketahui bahwa manusia adalah makhluk sosial, pada dasarnya manusia perlu berinteraksi dari orang lain untuk meluapkan emosinya.
Bukankah ada hadits yang mendorong muslim untuk menghilangkan kesedihan orang lain?
“Barangsiapa yang membantu menghilangkan satu kesedihan (kesusahan) dari sebagian banyak kesusahan orang mukmin ketika didunia maka Allah akan menghilangkan satu kesusahan (kesedihan) dari sekian banyak kesusahan dirinya pada hari kiamat kelak.
Dan barangsiapa yang memberikan kemudahan (membantu) kepada orang yang kesusahan, niscaya Allah akan membantu memudahkan urusannya didunia dan di akhirat.
Dan barangsiapa yang menutup aib orang muslim, niscaya Allah akan menutup aibnya dunia dan akhirat. Sesungguhnya Allah akan selalu menolong seorang hamba selama dia gemar menolong saudaranya.”
(HR. Muslim)
Selai itu banyak sekali pecinta musik yang berkomentar, “musik ini membantu menghilangkan kesedihan saya dan membuat saya lebih berbahagia.” Artinya memang musik tersebut bermanfaat untuk para pendengarnya.
Para pemusik membuat karya musik yang memang ditujukan untuk menghibur hati-hati manusia yang sedang sedih, mencoba untuk meredakan masalahnya, dan mereka tidak membuat musik untuk menandingi AlQuran.
Lalu apa yang telah diperbuat para pendebat “musik itu haram” tersebut dalam menghilangkan kesedihan dari manusia lainnya? Kebanyakan mereka hanya menyuruh berhenti mendengarkan musik dan menggantinya dengan mendengarkan alQuran, kemudian ‘kabur’.
Bahkan cara menyampaikannya bukanlah cara yang dibenarkan syariat, cenderung merusak mood seseorang, dan menghilangkan rasa aman dari orang tersebut.
Padahal memberikan rasa aman dan nyaman meski hanya menunjukkan wajah berseri saja sudah dapat disandingkan dengan amalan sedekah. Ini menunjukkan bahwa Islam sangat menghargai suasana hati seseorang.
Namun yang terjadi, mereka yang mengaku-aku paham sunah dan syariat, banyak melanggar hal tersebut dan cenderung menjadi arogan.
Lalu bagaimana musik dapat menghilangkan kesedihan bahkan hingga memberikan inspirasi kepada orang lain?
Simpel, karena “mengamalkan” musik tidaklah sama dengan mengamalkan AlQuran.
Saya sejujurnya mendengarkan musik bukan dari liriknya, melainkan dari melodinya. Inilah mengapa saya senang mendengarkan musik-musik game atau instrumental.
Jika yang dimaksud musik hanyalah tentang lirik, lalu apa bedanya dengan pantun, syair, dan puisi?
Ketika saya berbicara musik, maka yang saya tekankan di sini adalah melodi. Meskipun liriknya bagus namun jika melodinya buruk, maka musik tersebut tetap akan ditinggalkan.
Saya memiliki beberapa contoh sebagai alasan saya menyenangi musik.
Ada musik yang melodinya horor, membangkitkan ‘gairah’ saya untuk membuat konten horor. Ada musik yang melodinya lembut, saya dengarkan untuk memberikan sentuhan kepada foto-foto saya. Bahkan tema situs Anandastoon ini, dapat dilihat di bagian yang paling bawah dari mana saya mendapatkan inspirasi untuk mendesain situs ini.
Bahkan percaya tidak percaya, ada musik yang melodinya membuat saya berpikir tentang bagaimana buruknya kelakuan manusia pada masa kini dan seakan memaksa saya untuk memikirkan bagaimana rusaknya lingkungan yang disebabkan oleh manusia-manusia yang tidak bertanggung jawab.
Ada musik-musik yang saya sebut beberapa nadanya dengan “nada bijak” karena membuat pendengarnya untuk menjadi rendah hati dan lebih peka.
Padahal, musik adalah sekumpulan nada yang mana frekuensinya juga Allah yang ciptakan. Bisa jadi Allah tidak menciptakan frekuensi audio tertentu sehingga musik tidak dapat dinikmati manusia. Namun pernahkah kita menyadari bahwa di sinilah salah satu bukti Maha Baiknya Allah Ta’ala?
Saya sendiri menganggap musik seperti hiburan menonton standup comedy. Namun saya juga membatas konsumsi musik agar tidak berlebihan, sama seperti saya membatasi hiburan lainnya.
Kita mengetahui hati yang melulu terhibur dapat menjadi ‘keras’ seperti hadits Nabi SAW berikut:
βDan janganlah terlalu banyak tertawa. Sesungguhnya terlalu banyak tertawa dapat mematikan hati.β
(HR. Tirmidzi 2/50, Dishahihkan Syaikh Al-Albani)
Maka dari itu, saya menyeimbangkannya dengan wajib mengaji AlQuran, namun tentu saja saya memosisikan AlQuran jauh lebih di atas daripada sekedar penetralisir hati yang sudah terlalu banyak mengonsumsi hiburan.
Dear, look. Saya benar-benar paham mengapa seseorang sangat berhati-hati sehingga mereka memilih pendapat bahwa musik itu haram dan harus ditinggalkan. Namun itu seharusnya tidak membuatnya menjadi pengganggu dengan mendebat orang lain secara brutal.
Para pendebat itu adalah salah satu bukti bahwa ilmu mereka masih sangat rendah dan masih cukup jauh dari pengamalan syariah, jangankan ingin menerapkan Islam secara kaffah.
Saya sendiri menyenangi khilafiyah-khilafiyah yang terjadi di antara umat islam itu sendiri. Misalnya saat saya memperhatikan ada sekumpulan hafidz AlQuran yang serentak menutup telinga mereka saat terdengar musik, saya sangat memujinya karena bisa jadi musik tersebut membuat hati mereka lebih condong kepada nada atau lirik musik daripada menjaga hafalan AlQurannya.
Intinya, Allah Ta’ala lebih tahu siapa saja yang cinta kepadaNya. Dan tugas hambaNya hanya menyampaikan kebaikan dengan lemah lembut sebagai tahap awal, bukan langsung menuduhnya dengan yang tidak-tidak karena kita tidak diberi kuasa untuk itu.
Yang dikhawatirkan, saat seseorang sudah berani untuk menyampaikan satu ayat, yang terjadi ia justru melanggar puluhan ayat lainnya karena minimnya pengetahuannya mengenai akhlak kepada sesama.
Wallahu A’lam Bishshawaab.