Saya berulang kali, atau bahkan kalian pernah membaca atau bahkan mengalami peristiwa, di mana kita melapor akan suatu ketidaknyamanan, namun justru kita diancam atau diintimidasi oleh orang yang dilaporkan? Ada aparat pejabat tinggi yang korupsi, kemudian kita laporkan hal tersebut kepada atasannya, tetapi kita yang justru mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan dari aparat yang dilaporkan tersebut beserta teman-temannya.
Apakah hal ini wajar? Apakah hal ini juga menimbulkan dilema? Jika kita menegur oknum-oknum yang melanggar secara langsung, maka kita akan justru dimarahi balik oleh oknum tersebut. Tetapi jika kita melapor para oknum tersebut ke pihak yang berwenang, kita justru mendapat ancaman teror dari mereka. Jadi, bagaimana cara terbaik untuk menegur para pelanggar seperti itu?
Dari awal mungkin kebanyakan kita sudah dibesarkan dengan dua keadaan, yaitu,
Keadaan yang begitu dimanja, yang mana orang tua kita mungkin selalu memenuhi keinginan kita dan selalu menjadi tameng kita dari kecil apapun yang kita inginkan atau perbuat. Bahkan, perlakuan manja terus terbawa hingga kita hidup mandiri. Tak heran, sifat manja tersebut kini dilepaskan kepada teman-temannya yang menurut kita adalah sahabat-sahabat terbaik yang kita miliki, melawan segala bentuk kritik dari luar dan menganggap bahwa komunitas kitalah yang paling benar.
Kemudian keadaan yang kebalikan dari yang pertama, yakni beberapa dari kita yang sedari kecil menerima banyak tekanan dan/atau dikucilkan oleh orang-orang sekitar. Perlakuan-perlakuan tak menyenangkan yang diterima oleh kita bahkan hingga dewasa membuat kita trauma untuk menerima timbal balik dari orang-orang sekitar. Kita juga mencari perkumpulan yang senasib untuk sama-sama menjadi tameng dari apa yang telah diperbuat oleh masing-masing individu.
Seperti yang saya jelaskan di dua artikel sebelumnya mengenai permasalahan sulitnya meminta maaf dan sulitnya mendengarkan orang lain, hal ini benar-benar terjadi di masyarakat kita dan bahkan termasuk kita sendiri. Banyak orang yang ketika berbuat salah, maka ia akan marah kepada yang lebih lemah darinya untuk menjaga rahasia kesalahannya dan membuat banyak alasan kepada yang lebih berkuasa darinya untuk semata-mata membela dirinya. Semua itu terjadi jika “meminta maaf dan mengakui kesalahan” sudah hilang dari kamusnya dikarenakan tidak adanya pendidikan akan hal ini sedari ia kecil.
Kita sendiri mengakui bahwa sebuah hal yang sangat lucu melihat seorang pejabat yang gagah namun ketika tertangkap karena melakukan hal semisal korupsi, misalnya, maka yang kemudian kita lihat adalah sebuah orang yang kini tidak lebih dari anak SD yang terlambat masuk sekolah. Menyelimuti dirinya dengan berbagai alasan klasik, menyewa pengacara dengan dalih yang dibuat-buat, serta mengundur-undur diri dalam menghadiri persidangan.
Yup, mengapa heran? Itu semua adalah sifat sebagian besar kita juga, kok. Mereka yang menjabat di ranah pemerintahan pun awalnya adalah kita sebelum dilakukan pemilihan umum.
Kita mendapatkan tantangan apapun laporannya, baik melaporkan kejahatan yang dilakukan oleh rakyat biasa, maupun yang sudah menjadi aparat yang memiliki wewenang.
Banyak orang yang memiliki jabatan yang lebih tinggi diharapkan juga memiliki tingkat kedewasaan yang lebih baik. Namun nyatanya tidak. Mengapa? Karena watak tidak ada kaitannya dengan parameter apapun. Watak tetaplah watak, jika memang seseorang sedari belum memiliki jabatan sudah memiliki mental pencuri, entah itu dengan melanggar hal-hal yang kecil, bukan sebuah hal yang dapat disangkal jika setelah ia memiliki kuasa lebih, maka ia akan melakukan tindakan korupsi.
Lebih parah dari itu? Sebagian besar kita sepertinya memiliki watak ‘benci jika ketahuan’.
Siapa di sini yang sewaktu sekolah paling tidak senang diadukan ketika ia ketahuan mencontek? Sama, saya juga.
Siapa di sini yang setelah bekerja paling tidak senang dilaporkan ketika ia ketahuan melanggar ketentuan kerja? Alhamdulillah, saya sudah selamat dari yang ini. Tetapi teman-teman saya masih banyak, atau bahkan kalian, atau bahkan hampir setiap orang.
Apa yang kita lakukan jika ketika kita berbuat salah sewaktu di sekolah atau bekerja kemudian dilaporkan oleh seseorang? Benar, kemungkinan besar mencari tahu siapa pelapornya, dan jika telah ketahuan siapa yang melaporkan kita, maka kita akan meneror sang pelapor serta kita provokasi rekan-rekan kita agar ikut mengintimidasi sang pelapor.
Jadi, mengapa masih heran jika kita sangat sulit melaporkan orang yang melakukan tindak pelanggaran, terlebih orang yang sudah memiliki titel?
Bayangkan jika kalian mendapatkan pelayanan yang tidak menyenangkan oleh seorang oknum petugas atau karyawan ketika sedang menggunakan sebuah perusahaan jasa, dan kejadian itu berulang kali. Setegar apapun kalian, pasti akan dongkol jua. Namun bagaimana perasaan kalian jika ada orang yang melaporkan kelakuan oknum tersebut dan manajemen menindaknya dan memperbaiki pelayanannya? Kalian sendiri yang ikut menikmati hasilnya bukan?
Pelapor, pahlawan kita.
Kita senang jika ada jalan rusak, kemudian dilaporkan sehingga dibetulkan.
Pelapor, pahlawan kita.
Kita aman jika ada preman di wilayah kita, kemudian dilaporkan sehingga diamankan para preman tersebut.
Pelapor, pahlawan kita.
Kita bahagia jika ada jasa transportasi yang kurang layak, kemudian dilaporkan sehingga armadanya diperbarui.
Pelapor, pahlawan kita.
Mengapa kalian tidak ikut melapor? Karena yang perlu diingat adalah, seseorang jarang menjadi benar dengan sendirinya. Bahkan yang sudah profesional pun kadang terlewat akan sebuah detail penting. Maka melapor adalah suatu bentuk kepedulian serta kontribusi kita untuk menjadikan segala sesuatunya lebih baik lagi.
Jadilah bagian dari para pahlawan tersebut. Doa terbaik saya untuk para pelapor yang telah berani untuk beraksi. Semoga kerasnya pertarungan para pelapor dengan orang yang dilaporkan dapat dihitung sebagai salah satu bentuk ‘jihad’.
Apakah tantangan berat pelapor adalah orang yang dilaporkan? Secara kasar, iya. Tetapi ada yang jauh lebih berbahaya lagi. Siapa mereka? Yaitu orang-orang yang membela para oknum. Alasannya, “Jangan dilaporkan, kasihan!”, atau “Ngapain sih lapor-lapor? Tinggal nikmatin aja ribet!”
Perlu diketahui, saya pun memberikan banyak toleransi sebelum benar-benar melaporkan seseorang. Jika saya menemukan pegawai pelayanan yang tidak tersenyum (selagi tidak ‘jutek’), hal tersebut masih saya beri toleransi mengingat tingkat keprofesionalan setiap orang berbeda-beda. Atau apapun yang sekiranya masih dapat dimaafkan dengan catatan tidak merugikan orang lain, apalagi pelanggan/customer sendiri. Saya bahkan menegur teman saya yang terlalu memberi standar tinggi kepada orang-orang agar selalu mempermudah kinerja orang lain.
Tetapi, seringkali saya bertemu orang yang seakan ingin menjadi pahlawan tanpa tahu sebab akibatnya, sehingga mereka tidak sadar hampir masuk ke ranah ‘munafik’. Mengapa bisa demikian? Bagaimana tidak, ketika kita berjuang untuk berkontribusi kepada pelayanan yang lebih baik lagi, mereka justru menghalang-halangi dengan pernyataan di atas.
“Gak usah lapor-lapor!”
“Ngapain lapor! Masih untung ada!”
Atau yang paling halus, “Jangan dilaporkan, biarin aja, kasihan.”
Namun ketika pelayanan menjadi jauh lebih baik lagi karena jasa si pelapor, dia juga ikut merasakannya.
Yang lucu, ada orang demikian yang pernah melarang saya melakukan tindak pengaduan, tetapi justru dia sendiri ketika merasakan ketidaknyamanan, dia komplain, namun menyebutkan, “Itu sih bukan komplain ya?” Mengapa berbohong kepada diri sendiri? Padahal usia orang-orang yang seperti itu sudah jauh di atas matang.
Saya pun kerap mendapatkan komplain dari customer dan pelanggan saya, dan saya masih tetap melayani mereka dengan selembut dan seprofesional yang saya bisa. Bahkan jika saya gratiskan pelayanan saya pun, saya masih akan tetap menerima komplain dari pelanggan saya.
Kita bersaing dengan para pengusaha yang senang berbenah dengan menerima banyak komplain. Sedangkan banyak usaha orang-orang kecil yang semakin terpuruk hanya karena mereka merasa bisnis mereka sudah mencukupi dan tidak segan ‘mengusir’ pelanggan yang komplain. Kini kita sudah tahu sebabnya kenapa.
Ayo, jadi bagian dari pahlawan negeri ini dengan berkontribusi menjadi pelapor. Karena pelapor, adalah pahlawan kita.
Bantu setiap orang yang melapor, jangan dihalang-halangi seakan kita merasa yang paling benar. Saya mencintai setiap orang yang melapor, dan saya juga mencintai setiap customer service yang mendengarkan setiap laporan pelanggannya dengan sabar. Teruslah ubah budaya orang-orang yang tidak ingin dilaporkan dengan kontribusi laporan kalian, insyaAllah mereka akan mulai berbenah menjadi profesional dengan sendirinya.
Jika memang sudah keterlaluan, saya bahkan melaporkan oknum pegawai meskipun dia punya tanggungan dan anak istri. Karena jika dia merasa punya tanggungan dan anak istri, seharusnya dia bekerja lebih baik lagi. Lagipula, laporan kita tidak semerta-merta membuat orang tersebut langsung dipecat perusahaan selama belum fatal. Kita justru memberitahunya bahwa yang ia lakukan itu salah dan membuat dia tidak meremehkan kekuatan seorang customer.
Makanya, jika ada orang yang bertanya, “Mengapa hari ini melaporkan pejabat yang korupsi dan melakukan penyelewengan itu sangat sulit?”
Saya jawab, “Itu semua karena kita yang diam dan mendiamkan orang lain ketika pejabat tersebut masih berstatus sebagai ‘pegawai kecil’.”