eSports

Saya sejak pertama kali asing mendengar kata “eSports” saat baru-baru digaungkan, hingga kini sudah sangat familiar dengan istilah tersebut. eSports itu sendiri sudah sangat meledak di kalangan anak-anak muda zaman sekarang, mulai dari tetangga, teman-teman alumnus, hingga karyawan-karyawan saya.

Saya melihat fenomena seperti ini antara nyaman tidak nyaman sebenarnya. Apalagi ini bukan bahasan yang terkhusus untuk negeri ini saja, melainkan ini terjadi di seluruh dunia. Artikel-artikel yang membahas pro dan kontra mengenai eSports sudah sangat banyak dari seluruh dunia, membuat saya menjadi campur aduk.

Oh, mengapa saya tidak membuat sedikit sumbangsih dengan menuangkan pandangan saya lewat artikel ini?


Semua tentang strategi

Kebanyakan yang lihat tentang esports adalah permainan yang berkaitan dengan strategi dan gontok-gontokan. Semua yang saya dengar dari orang-orang yang terjun ke dalam permainan yang masuk dalam kategori esports, semuanya bekerja-sama dengan tim mereka masing-masing untuk menghancurkan tim lawan. Semuanya pun heboh dengan strateginya masing-masing.

“Awas bro dia di sana, dibalik pohon!”

“Bro, ke sini bro! Aduh jangan ke sana dong banyak musuh!”

Kira-kira kesimpulan mengenai esports kurang lebih seperti itu. Mereka menyebut itu semua adalah strategi sehingga bagaimana pun, hal itu menjadi alasan untuk menyenangkan mereka meskipun mungkin tidak semuanya bercita-cita menjadi atlet esports.

Jauh di sana, perusahaan-perusahaan game pun kembali meraup keuntungan banyak dari ‘donasi’ dan ‘payment’ yang dilakukan oleh para peserta esports. Berapa keuntungan yang sehari di dapat oleh perusahaan game yang tergabung dalam esports? Pernahkah kita menelisik hal itu?

Bahkan perusahaan-perusahaan game esports tersebut merasa ‘terselamatkan’ dari pesaing-pesaing game serupa dengan sebab ‘strategi’ mereka untuk membesar-besarkan istilah esports demi meraup keuntungan yang banyak dengan gameplay yang sangat statis. Apa yang menyenangkan para pemainnya hari ini mungkin adalah tersedianya beberapa pilihanΒ hero yang dapat dicustom atau memiliki behavior khusus atauΒ skin yang menarik.

Sekarang jika tidak ada esports, apakah perusahaan-perusahaan game tersebut akan sepopuler hari ini? Saya tidak tahu.


Pertarungan dan pertaruhan generasi muda

Dalam sejumlah statistik yang saya pantau online, kebanyakan peserta esports adalah mereka yang berusia di bawah 30, atau mungkin hanya belasan tahun. Mereka tergabung dalam turnamen-turnamen digital di mana mereka sudah berlatih siang dan malam berjam-jam, di depan layar komputer.

Latihan fisik mungkin juga dijalankan, namun bukan sebagaimana altet-atlet biasanya, melainkan untuk menjaga stamina mereka karena mereka akan menatap layar terus-menerus dan ‘dipaksa’ fokus untuk mendalami strategi-strategi tertentu.

Yang bukan atlet esports? Mereka hanya beralasan mengisi waktu mereka di depan layar gadget mereka, tergabung dengan sekelompok orang yang sudah membuat janji sebelumnya dan mulai untuk bermain selama berjam-jam. Bahkan saya pribadi tidak jarang menemukan orang-orang yang berdiam di basement gedung, atau di tempat yang tidak terkena CCTV, di luar atau pada jam kerja, asyik menyapu-nyapu layar smartphonenya menjalankan playernya kesana-kemari.

Tetangga-tetangga saya pun demikian, siang dan malam, setelah pulang kerja, setelah bangun tidur, atau pada waktu yang acak saya dengar mereka dari bilik kamar saya sedang berteriak-teriak dengan lawannya demi menyelamatkan timnya dari kepungan lawan.

Teman saya bahkan ada yang melaporkan, tidak sedikit teman-temannya yang menunda-nunda pekerjaan bahkan hingga ‘memaki’ kedua orang tuanya hanya karena peritah orang tuanya selalu ditunda terkendala oleh esports tersebut. Belum lagi, belasan anak di bawah umur di warung internet yang melancarkan kata-kata kotornya hingga bahkan saya mendapatkan laporan bahwa mereka memiliki kamus kata-kata kotornya sendiri saat bermain game esports.

Lebih menyedihkan lagi, ketika saya keluar untuk shalat shubuh berjamaah di masjid yang melewati warnet-warnet, saya melihat riuhnya anak-anak muda yang masih bergerumul hingga sepagi itu, mengabaikan panggilan ilahi untuk memenuhi kewajiban mereka. Padahal posisi saya pada saat itu sedang tidak di kota-kota besar, melainkan daerah perkampungan yang udara paginya masih segar tercium karena langsung berasal dari pegunungan.

Orang-orang yang masih lugu seringkali berkata bahwa esports ini adalah awal mula kebangkitan dunia permainan yang selama ini dipandang sebelah mata. Para gamers kembali mendapatkan kesempatan untuk mencuri perhatian publik dengan skill yang mereka miliki, ditambah lagi dengan raupan penghasilan yang mereka dapat raih dari channel-channel jejaring sosial.

Saya tidak tahu, hanya saya tidak nyaman dengan keadaan yang seperti ini. Menurut kalian apakah dengan esports ini dapat membawa negeri ini menjadi lebih maju dan berkembang pesat? Saya tidak dapat menjawabnya, saya hanya menunggu waktu saja membeberkan seluruh rahasia-rahasia alamnya.


Gelembung Tumbal yang Akan Pecah

Esports semakin dipuja-puja di seluruh dunia, bahkan atlet-atletnya memiliki peluang besar untuk menjadi terkenal dan kaya-raya. Seluruh uang ‘donasi’ yang dikumpulkan seluruh pemain game esports dari setiap penjuru dunia yang menjadi pemasukan utama perusahaan-perusahaan esports tersebut rupanya masih menjadi bagian bidikan marketing untuk para pemain esports.

Bidikan yang bagaimana itu? Tentu saja, mereka membuat strategi lain untuk menjaring banyak pemain dari seluruh dunia dengan cara membayar para pemainnya yang berprestasi dengan bayaran yang sungguh luar biasa. Bayangkan, hanya dengan bermain game saja, ya, saya tambahkan kata ‘saja’ di sini, seseorang dapat membeli rumah mewah di tengah kota besar berikut dengan kolam renangnya.

Sedap namun mengerikan.

Tapi meski main cuma game kan itu butuh strategi yang luar biasa?

Ya memang. Cuma siapa yang tidak butuh strategi dalam setiap pekerjaannya? Di belakang layar, banyak programmer yang bekerja siang dan malam untuk menyenangkan mata kita di belakang layar kita, mendengarkan seluruh komplain kita ketika terjadi gangguan dalam aplikasi kita, dan banyak dari mereka yang bahkan tidak dibayar layak. Para programmer tersebut acapkali tidak memiliki waktu untuk bermain game dan membuat strategi, menjadi youtuber, atau bahkan sekedar piknik.

Para programmer tersebut pun juga membutuhkan strategi untuk menyusun algoritma yang tepat dan memilih formula matematika yang mantap untuk menghasilkan sebuah hero dengan abilitas luar biasa di mana para pemain esports bisa memilihnya untuk dimainkan.

Lebih dari itu, media-media pun semakin memiliki santapan menyenangkan untuk mengisi website mereka dengan artikel-artikel berita yang hiperbolik dan menggiurkan. Berapa kali saya menemukan berita dengan judul:

Inilah pemain esports yang berpenghasilan tertinggi hingga 100 miliar!

Reaksi beberapa kita mungkin akan sangat bermacam-macam. Reaksi positif dapat membuat mereka berpikir untuk mengikuti jejak-jejak pemain esports itu daripada repot-repot menekuni pekerjaan mereka yang beresiko dan tidak memiliki bayaran yang menyenangkan. Bayangkan, sudah nikmat bermain game, dibayar pula, terkenal pula?

Tapi kan tidak semudah itu untuk menjadi pemain esports…

Ya, sekali lagi ya, memang. Tapi apakah mereka peduli? Ingat berapa banyak orang ingin menjadi ojeg online karena bayaran menggiurkan pada awal-awal? Ingat berapa banyak orang ingin menjadi Youtuber karena beberapa influencer dan media-media yang menyeret mereka ke dalam lubang hitam?

Benar, ini kembali terjadi pada esports. Kebanyakan kita hanya acuh dan terlalu memberikan toleransi yang berlebihan kepada orang-orang tersebut. Namun saya sudah memutuskan untuk tidak peduli kepada orang-orang itu jika sudah sampai ke titik ini.


Antisipasi

Saya pun bermain game juga, baik game jadul maupun game yang sekarang sedang populer. Tetapi berhubung hari ini, tepat tanggal dituliskan artikel ini sudah menunjukkan akhir tahun, saya benar-benar harus berfokus kepada target-target kehidupan nyata saya yang saya menyadari sudah semakin jauh dari harapan.

Saya tetap bermain game, dengan manajemen waktu yang sudah harus lebih serius dan lebih mementingkan prioritas. Hari ini harga rumah sudah semakin mahal, mendapatkan pekerjaan dengan bayaran layak sudah sangat sulit, barang-barang sekunder sudah semakin sulit didapatkan kecuali dari jalur kredit yang penuh bunga/riba dan mencekik.

Berapa banyak teman-teman kita yang tidak mendapatkan kemajuan dalam kehidupannya bahkan setelah mereka menikah?

Saya selalu membriefing karyawan-karyawan saya untuk tetap menjadi diri mereka sendiri dan mulai mengejar apa yang menjadi target hidupnya mengingat hari ini persaingan sudah semakin mengerikan. Mereka tetap boleh main game esports, tentu saja. Tetapi yang digarisbawahi adalah, jangan sampai permainan tersebut mengacaukan hidup mereka.

Ingat, para pemain esports yang sudah sangat mapan sekali pun tidak akan peduli kehidupan pemain lain yang kondisinya di bawah rata-rata, perusahaan-perusahaan game esports pun lebih mementingkan pendapatan perusahaannya. Media-media? Akan berbalik menjadi cemoohan bagi hidup mereka.

Jadilah bagian yang terasing dan tidak terlalu mengikuti tren dan jadilah bijak. Dunia sudah mulai berubah menjadi begitu menakutkan, tidak sedamai 20 tahun yang lalu.

Saya sebenarnya ingin menjadi atlet esports, namun selalu ada sesuatu yang menghalangi saya. Saya tidak tahu apa itu. Sesuatu tersebut justru menunjukkan kepada saya bagaimana perkiraan masa depan yang akan terjadi dan ‘menyuruh’ saya untuk menulis artikel ini. Yasudahdeh.

Suka
Komentar
pos ke FB
pos ke X
πŸ€— Selesai! πŸ€—
Punya uneg-uneg atau saran artikel untuk Anandastoon?
Yuk isi formulir berikut. Gak sampe 5 menit kok ~

  • Sebelumnya
    Negara Tak Bertuan Itu Bernama Internet

    Berikutnya
    Bosan Di Internet? 10 Hal Ini Mungkin Membantu


  • 0 Jejak Manis yang Ditinggalkan

    Minta Komentarnya Dong...

    Silakan tulis komentar kalian di sini, yang ada bintangnya wajib diisi ya...
    Dan jangan khawatir, email kalian tetap dirahasiakan. πŸ˜‰

    Kembali
    Ke Atas