Manajemen Hobi

Sumber: inet

Semakin meledaknya pengguna jejaring sosial saat ini, makin banyak orang yang terkhusus anak muda di mana mereka ‘pamer’ akan bakat mereka masing-masing yang sebagian besar berkecimpung di bidang seni rupa, musik, dan travel.

Hal ini sebenarnya menuai hal-hal yang sangat positif mengingat anak-anak bangsa banyak yang memiliki kemampuan yang hebat. Namun ada ‘tapi’nya…

Saya sengaja menulis artikel ini untuk sama-sama duduk di permasalahan yang terjadi dari balik sesuatu yang mereka agung-agungkan itu. Yang setelah saya browsing-browsing juga di internet, kemudian disatukan dengan pandangan saya sendiri, hingga jadilah hal ini sangat menarik untuk dibahas.


Yang dari manfaat itu musibah

Maafkan subjudul yang sangat kontradiktif. Saya tidak menulis ini secara main-main. Masih ingat frasa “Om telolet om” yang sempat mengebom ranah tren tanah air bahkan dunia pada saat itu?

Iya, hal itu berawal dari hobi anak-anak yang senang foto bus, dengan bonus sang pengemudi membunyikan suara klakson unik yang berbunyi “Telolet telolet” kepada anak tersebut. Bahkan beberapa anak nekat melakukan aksi berbahaya di jalan raya demi mendapatkan telolet dari sang supir bus. Mereka mungkin tidak tahu bahwa supir bus tersebut membunyikan klakson justru untuk ‘mengusir’ mereka.

Kemudian mereka dengan bangga menyebutkan hal yang berbahaya tersebut dengan istilah ‘hobi‘.

Lalu apa? Model foto yang senang selfie di tempat yang berbahaya untuk mendapatkan serbuan like dan komentar di jejaring sosial hingga nyawa mereka sudah dianggap seperti ban serep?

Hobi, itulah yang mereka pancarkan dari mulut mereka.


Makhluk sosial yang tidak bersosial

Wow, hasil foto saya mendapatkan ribuan like! Video karya musik saya mendapat hujan komentar pujian! Karya anak bangsa mas bro!

Oh, hai! Saya senang dan iri kepada popularitas kalian, semoga dapat menebarkan manfaat untuk yang lainnya juga, dan tunjukkan pada dunia bahwa Indonesia juga bisa. Namun entah kenapa saya ada rasa tidak nyaman dengan mereka, apakah karena rasa iri? I think not. Saya merasa apa yang mereka lakukan itu tepat tidak tepat. Maksudnya apa?

Kadang popularitas yang tidak termanajemen dengan baik dapat menjadi bumerang bagi dirinya masing-masing. Saya pernah membuat karya yang orang-orang luar negeri terkagum-kagum dengan saya. Namun ketika suatu mahakarya yang saya buat tiba-tiba saya cancel di tengah-tengah rasa penasaran mereka karena suatu urusan yang mendesak, saya menjadi sangat tidak tega menghancurkan harapan fans-fans saya.

Hingga ketika saya mengumumkan pembatalan karya saya, seorang dari Kanada mengirimi saya email yang kesimpulannya kira-kira seperti ini:

It’s embarrasing really, but I know you should face the real life

Jika diingat-ingat saya jadi sedih. Tapi ada satu yang menarik dari kutipan di atas. The Real Life. Tidak peduli sebanyak apapun teman atau follower yang diraihnya di media sosial, tidak ada artinya jika di dunia nyata ternyata dia kesepian. Atau karena terlena dengan popularitas jejaring sosial, mereka luput dari empati sosial dan hanya bergabung cukup dengan teman-teman sederajatnya saja.


Tenggelam dalam popularitas, tenggelam dalam waktu

Ah, dia bisa melakukan hal ini, saya juga harus bisa. Kemudian dibuatlah hal yang serupa namun tak sama hingga menimbulkan decak kagum orang-orang. Dia akhirnya menjadi terkenal karena karyanya itu.

Tetapi pada sisi lain, karena karyanya cenderung bertema sama dan tidak realistis meskipun sangat bagus, ada saat dimana orang-orang sudah mulai bosan dengannya.

Banyak karya yang cepat melejit, namun cepat sekali tumbang. Itu terjadi karena karya tersebut hanya bermodal “Bagus”, “Keren”, “Indah”, “Luar Biasa”, “Spektakular”, “Menakjubkan”, dan lain sebagainya namun maknanya sama sekali kosong. Mengapa tidak belajar dari karya seniman-seniman yang sederhana, namun tak usang digerus waktu?


Real Life

Ada kaitannya dengan postingan saya yang ini, seseorang terutama anak muda harus menyadari bahwa waktunya di dunia nyata terus mengintainya setiap saat. Saya bahkan pernah mendengar dari teman saya bahwa temannya harus menyelesaikan strata 1 dalam waktu 7 tahun di mana normalnya hanya 4 tahun disebabkan hobi naik gunungnya yang tidak terkontrol.

Ada saatnya sebuah hobi hanyalah berupa karya, namun ada saatnya pula sebuah hobi memiliki manfaat untuk keberlangsungan hidup.

Ah, aku juga dibayar atas hobiku kok.

Namun biasanya orang-orang tersebut memiliki hidup yang dalam tekanan karena tidak dapat menyeimbangkan dengan kehidupannya yang di dunia nyata. Saya juga dulu begitu, sempat dimarahi berkali-kali di kantor hanya karena saya lebih mementingkan hobi saya membuat game saya sendiri daripada jobdesk saya sebagai programmer untuk kantor.

Pada usia itu, saya masih mementingkan hobi daripada hajat hidup.


Manfaat atau mudharat?

Ada orang yang melakukan ini itu dan mempostingnya di jejaring sosial yang menurutnya untuk menebar manfaat kepada orang lain. Setelah saya lihat postingannya itu hanya berupa foto dia yang sedang pamer di atas gunung, di depan air terjun, dan lain sebagainya tanpa ada suatu kutipan yang informatif atau benar-benar memberikan sesuatu manfaat kepada audience-nya kecuali hanya menebar iri.

Bayangkan seseorang menempuh perjalanan jauh dengan kendaraan yang harganya mahal, ditambah waktu yang dia habiskan, dan dilanjutkan dengan perjuangan berat berjalan kaki beberapa kilometer, namun ketika sudah di tempat tujuan justru caption atau keterangan fotonya adalah, “Bahagia itu sederhana.

Coba ulangi? Sederhana??!

Banyak orang berlindung dibalik alasan tafakkur alam. apa maksudnya tafakkur alam di sini adalah Instagram? Mengapa tidak sekalian di foto saja bagaimana mereka membuang sampah, apakah mereka merokok di alam, atau mengukir dan mencorat-coret untuk dijadikan kenangan katanya.

Katanya lagi tafakkur alam, namun hasilnya justru shalat Shubuh masih sering dilewatkan, masih bersyukur jika memang masih kenal masjid.

Yang lain lagi, dengan bangganya difoto dengan secarik kertas bertuliskan,

“Nak, lihat, dulu papamu pernah ke sini…”

Kemudian di masa depan anaknya benar-benar melihat itu lalu meniru secara brutal apa yang telah dilakukan orang tuanya tersebut tidak peduli bagaimana kondisi keuangan mereka pada saat itu.

Jadi menurut mereka itu prestasi?


Kesimpulan

I do like travelling, I do even like doing my own hobbies. Jangan dapatkan saya salah, saya mencintai mengeksplorasi alam, mengeksplorasi hobi saya sebagai programmer, mengeksplorasi hobi saya untuk tampil eksis di jejaring sosial, dan sebagainya. Tetapi segala sesuatu memiliki manajemen, dan banyak anak muda yang tidak menyadarinya. Ditambah lagi artikel-artikel di Internet yang justru menjauhi perkara ini.

Saya juga meminta bimbingan dan pendapat dari teman-teman saya yang jauh lebih tua. Karena saya sadar, saya ‘tidak bisa betul’ dengan sendirinya.

Terakhir, saya mengutip hadits berikut,

Tidak akan bergeser kedua kaki anak Adam di hari kiamat dari sisi RabbNya, hingga dia ditanya tentang lima perkara (yaitu): tentang umurnya untuk apa ia habiskan, tentang masa mudanya untuk apa ia gunakan, tentang hartanya dari mana ia dapatkan, dan dalam hal apa (hartanya tersebut) ia belanjakan, serta apa saja yang telah ia amalkan dari ilmu yang dimilikinya.” (HR. at-Tirmidzi no. 2416, ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir jilid 10 hal 8 Hadits no. 9772 dan Hadits ini telah dihasankan oleh Syaikh Albani dalam Silsilah al-AHadits ash-Ashahihah no. 946)

—<(Wallaahu A’lam Bishshawaab)>—

Suka
Komentar
pos ke FB
pos ke X
🤗 Selesai! 🤗
Punya uneg-uneg atau saran artikel untuk Anandastoon?
Yuk isi formulir berikut. Gak sampe 5 menit kok ~

  • Sebelumnya
    Sebuah Petaka kerja : Hanya Karena Kursi

    Berikutnya
    Transport Disaster: Gagalnya Beberapa Transportasi Masal Di Indonesia


  • 0 Jejak Manis yang Ditinggalkan

    Minta Komentarnya Dong...

    Silakan tulis komentar kalian di sini, yang ada bintangnya wajib diisi ya...
    Dan jangan khawatir, email kalian tetap dirahasiakan. 😉

    Kembali
    Ke Atas