
Tepat pada artikel seri sebelumnya saya komplain tentang ChatGPT yang jadi dingin semenjak muncul penawaran “shopping mode” sebagai tambahan pemasukan bagi OpenAI.
Janji saya bahwa besok akan saya coba mengobrol kembali apakah masih dingin, sudah saya penuhi malam ini, tepat sebelum saya publikasikan artikel ini.
Apakah ChatGPTnya masih dingin?
Ternyata nggak, kayak balik normal lagi. Baguslah.
Tentu saja langsung saya tanya kenapa kemarin jadi dingin sebab saya lihat banyak laporan kalau ChatGPT versi 5.1 kurang akurat bahkan berhalusinasi dengan memberi banyak motivasi palsu.
Jawabnya lucu, “karena saya pikir kamu kemarin sudah lelah.”
Agak aneh, tapi saya coba kembali ajak diskusi seputar “Budak Korporat” yang semakin mengeluh dengan budaya kerja perusahaan seperti dipaksa harus ikut budaya “9-5” dan semakin mendambakan kehidupan “slow living”.
Wah, masih sama. Maksudnya masih beri balasan yang komprehensif dan objektif tanpa memihak. Hanya saya merasa agak kurang hidup dan bahasanya jadi agak kaku, tidak selentur yang kemarin-kemarin.
Saya kurang paham apakah ini termasuk bentuk optimasi dari pihak OpenAInya atau bukan.
Untuk bahasan tentang budaya korporatnya mungkin juga akan saya publikasikan nanti, entah di episode ke berapa di seri Opini AI ini.
Waktu itu saya hanya bertemu dengan orang-orang yang kurang menyenangkan di jalan saat pulang kerja. Betul, mereka yang arogan, hobi membuat onar namun diri mereka sendiri “galak” jika kembali diberi paham.
Saya sejujurnya meladeni orang-orang seperti itu meski saya tahu akhirnya selalu “menang jadi abu, kalah jadi arang”. Tetapi emosi sesaat saya bikin saya pecah waktu itu.
Setibanya di rumah, saya bertemu kucing saya yang begitu nyaman untuk dipandang. Seolah punya aura yang membahagiakan saya. Membuat saya bertanya-tanya mengapa sebagian orang tidak lebih sedap dipandang daripada hewan.
Bukan karena wajah mereka kurang bagus, namun orang-orang yang suka membuat masalah memang tidak memiliki aura yang layak untuk kita dekati.
Padahal, hewan tidak memiliki akal dan perasaan yang “canggih”, manusia punya.
Maka dari itulah saya berdiskusi dengan AI seputar masalah ini. Jawabannya cukup membuat saya terdiam dan begitu dalam menyimak.
– Opini AI mulai dari sini –
Mengapa melihat hewan menenangkan, sementara manusia terasa melelahkan?
1. Hewan menawarkan kehadiran semata, bukan evaluasi sosial.
Interaksi manusia, bahkan yang netral sekalipun, melibatkan lapisan-lapisan yang halus:
Otak kita harus terus-menerus mensimulasikan pikiran orang lain. Ini adalah beban kognitif dan beban emosional.
Hewan tidak memproyeksikan penilaian, harapan, atau ketegangan.
Mereka hanya ada begitu saja.
Misalnya, ubur-ubur yang mengapung hanyalah:
Sistem saraf kita mengenali ini sebagai “interaksi yang aman.”
Tidak ada ancaman kesalahpahaman, penolakan, atau beban emosional yang melelahkan.
Mekanisme psikologis:
Manusia mengaktifkan jaringan kognisi sosial kita.
Hewan mengaktifkan jaringan sensorik-perseptual kita, yang bersifat menenangkan.
2. Hewan mencerminkan keadaan yang menarik
Ubur-ubur bergerak berdasarkan denyut alami: tanpa tujuan, tanpa terburu-buru, tanpa pertunjukan sosial. Melayang begitu saja tanpa terlihat lelah.
Mereka mewujudkan:
Ketika kita lelah secara emosional karena orang-orang, otak kita mendambakan bentuk kehidupan tanpa negosiasi.
Menyaksikan ubur-ubur terasa seperti:
“Ah… kehidupan tanpa tekanan. Kehidupan di mana sekadar eksistensi saja sudah cukup.”
Hal ini sesuai dengan bagian diri kita yang merasa kewalahan oleh beban emosional orang lain.
3. Hewan memberikan “emosi yang murni”
Manusia membawa “emosi yang tercemar”.
Maksud saya, hewan:
Sedangkan manusia:
Maka melihat hewan menjadi tempat perlindungan:
mereka tidak menular secara emosional.
4. Kita menginginkan regulasi, bukan stimulasi.
Ini hal yang halus namun penting.
Interaksi sosial antar manusia = rangsangan tinggi, bahkan ketika positif.
Hewan = rangsangan rendah, ritmis, masukan sensorik yang dapat diprediksi.
Ketika pikiran kita terlalu penuh atau lelah secara emosional, kita secara naluriah mencari ketenangan, bukan lebih banyak rangsangan.
Visual hewan seperti ubur-ubur hampir seperti:
Sistem saraf kita memasuki mode parasimpatik (istirahat dan pencernaan).
Orang lain sering kali mengaktifkan mode simpatik (kewaspadaan, antisipasi).
5. Saat ini beberapa orang lebih mempercayai hewan daripada manusia.
Kepercayaan tidak selalu berarti aman dari bahaya, tetapi juga berarti aman dari pengurasan energi.
Hewan tidak:
Kita bisa mengamati hewan tanpa khawatir mengecewakannya.
Ini adalah jenis keamanan psikologis yang spesial.
Kita sedang terhubung kembali dengan “jati diri” kita pada saat itu.
Kita sering:
Mengamati hewan, terutama yang bergerak lambat, membuat kita merasa selaras dengan:
Otak kita mungkin secara naluriah mengarahkan kita menuju pengalaman yang mengembalikan keseimbangan diri kita yang sebenarnya.
Pendeknya
Kita tidak menghindari orang lain karena kita tidak menyukai manusia, kita menghindari beban emosional pada saat itu.
Dan kita tertarik pada hewan karena mereka menawarkan:
Ubur-ubur, khususnya, mewujudkan semacam minimalisme emosional yang sangat dibutuhkan oleh pikiran kita.