Seringkali kita mendengar, atau mungkin kita sendiri yang bertanya-tanya, “apakah saya sudah terlambat jika ingin belajar atau memulai hal baru?”
Dan sering kita dengar pula bahwa tidak pernah ada kata terlambat untuk memulai sesuatu selagi kita hidup di dunia. Pernyataan tersebut setidaknya membuat kita sedikit lega dan memantik motivasi kita untuk mencoba hal yang kita ingin dalami tersebut.
Namun… Apakah benar bahwa tidak pernah ada kata terlambat untuk memulai? Kali ini saya akan menjawab “tergantung”.
Jika seseorang benar-benar tumbuh dalam komitmen dan senantiasa ingin berbenah lagi memperbaiki diri, maka benar, tidak ada kata terlambat bagi dia bahkan itu sebenarnya adalah waktu terbaik untuknya.
Namun untuk orang yang sedari awal tidak memiliki kepedulian bahkan kepada dirinya sendiri, maka kata terlambat itu adalah nyata baginya.
Waktu adalah sebuah wujud abstrak, yang mana tidak bisa kita lihat, dengar, dan rasakan, tetapi memiliki efek yang begitu dahsyat dalam kehidupan kita, yang efeknya seringkali baru kita sadari di masa-masa kemudian.
Bagaimana waktu bisa begitu kejam? Apa yang membuat waktu mendapatkan tuduhan sebagai perkara yang kejam?
Kita memiliki jatah beristirahat dalam kehidupan ini, tetapi sayangnya waktu tidak mengenal istilah itu dan tetap berjalan tanpa henti.
Semakin kita menjeda aktivitas dalam kehidupan kita, semakin jauh kita tertinggal oleh waktu.
Apalagi waktu tidak memiliki istilah memutar balik dalam kamusnya, ia hanya berjalan lurus tanpa kenal jalan kembali.
Bayangkan saat itu kita baru berkenalan dengan teman sekolah kita pertama kali, tiba-tiba “BAM” kita sudah lulus kuliah.
Dan tiba-tiba “DUAR” kita sudah berusia 30.
Padahal kemarin baru saja memasuki usia 18 tahun.
Apakah bisa kita merasakan kembali masa-masa itu? Inginnya. Namun sayang jatah keberlangsungan tubuh ini mungkin tidak lagi menyanggupi itu. Energi yang sudah semakin berkurang, fungsionalitas organ yang perlahan mulai rapuh, dan sebagainya.
Kita semakin sering mengalami masalah otot dan tulang. Tak terasa sendi-sendi kita mulai bergemeletuk setiap kita ingin berdiri atau berjalan.
Di Quora pernah terlintas pertanyaan yang bersifat keluhan, di mana si penanya mengungkapkan kekhawatirannya di usia 39 yang tidak memiliki pendidikan, pekerjaan, bahkan kemampuan apa pun.
Biasanya kebanyakan jawaban yang saya temukan adalah menenangkan dan menyemangati si penanya.
Tetapi dalam kasus ini, sebuah jawaban terlontar,
“Ya sudah, lakukan saja apa yang kamu mau lakukan beberapa tahun lalu. Sumpah, selama 39 tahun ngapain aja? Kamu sudah cukup dewasa untuk mengetahui apa yang terbaik bagi dirimu. Tidak ada simpati dari saya.”
Wow, jawaban yang terlihat sadis tetapi memang demikianlah adanya.
Ada lagi cerita dari seorang pendaki gunung yang saya kenal. Sekitar tahun 2017 atau 2018 lalu, ia bilang bahwa suatu ketika ia mendaki, ia berbincang dengan seorang warga lokal di puncak gunung. Beliau sudah memasuki usia senja, dalam hal ini beliau adalah seorang kakek.
Saat berhasil melihat pemandangan di puncak, beliau menyesal mempertanyakan masa mudanya yang tidak mencoba naik gunung meskipun banyak gunung yang dekat di daerahnya. Hari ini beliau sudah tua, yang mungkin pada kesempatan berikutnya tidak akan kuat lagi melakukan pendakian.
Garis bawahnya, saat beliau sudah menyadari ini, beliau sudah nyaris terlambat.
Bukankah kita sering mendengar orang-orang yang terkena penyakit yang hampir mustahil disembuhkan akibat sebelumnya mereka begitu malas bergerak, atau mereka seorang perokok berat, atau hobi berlebih-lebihan dalam mengonsumsi makanan?
Maka iya, kata terlambat itu benar adanya.
Bagaimana pun setiap dari kita akan berpisah dari satu masa dan masuk ke masa berikutnya, yang mana itu membuat masa sebelumnya hanyalah tinggal kenangan karena kita mustahil mengulanginya lagi.
Kita sudah mengetahui bahwa pengalaman adalah guru terbaik yang menentukan derajat atau level seseorang.
Bagaimana sebuah “pengalaman” bisa memberikan dampak sebegitu dahsyatnya kepada seseorang hingga mendapatkan predikat sebagai “guru terbaik”?
Dengan pengalaman yang cukup, kita bisa mengerjakan sesuatu dengan lebih cepat dan lebih efisien, yang secara tidak langsung turut meningkatkan gengsi hidup kita.
Mereka yang telah ahli atau piawai, sudah memiliki jam terbang yang begitu tinggi, di mana seolah mereka tidak memiliki hambatan dalam menyelesaikan tugas mereka.
Ibaratnya, setiap pekerjaan yang memberatkan punggung mereka, bisa langsung lenyap hanya dalam sekali jentik, yang mana kita sendiri masih harus memakan waktu berhari-hari hingga berminggu-minggu dalam menyelesaikan itu.
Benar, pengalaman orang-orang yang sudah ahli tersebut memegang kendali yang membuat hidup mereka menjadi terlihat begitu mudah.
Tetapi bagaimana jika saya katakan, bahwa pengalaman itu ibarat seperti pohon, yang mana buahnya dapat kita petik kapan pun yang kita mau?
Hanya saja, menanam pohon yang bernama pengalaman perlu waktu yang tidak sebentar dan tenaga yang tidak sedikit.
Diperparah lagi, kebanyakan orang tidak ingin tahu-menahu tentang proses menanam pohon ini. Padahal pohonnya bisa sangat berguna nanti saat kita sudah berusia senja untuk mengurangi beban hidup dan bahkan menjadi “mesin uang” otomatis.
Dan padahal, menanam pohon pengalaman ini memakan waktu yang sangat, sangat tidak sebentar, juga memakan banyak tenaga dari masa-masa muda kita.
Sebagai contoh, bukankah menyedihkan jika ada seorang gamer yang masih berkutat di level satu meskipun dia telah bermain selama bertahun-tahun? Gamer tersebut terlalu nyaman di levelnya hingga enggan meningkatkan skill, weapon, atau armornya.
Akibatnya, saat gamer tersebut sudah terlalu lelah bermain dan memutuskan untuk berhenti, ia baru menyadari bahwa orang-orang di sekitarnya sudah menyentuh level 10 hingga 100, dan ia baru melihat kejutan yang wah di level-level tersebut.
Tetapi sayang, dia sudah tidak memiliki waktu dan tenaga yang cukup untuk melanjutkan permainan dan merasakan kejutan-kejutan wah itu semua hingga ia menyesal seumur hidupnya.
Seseram itu.
Saya memahami bahwa ada di antara kita yang takut atau tidak siap dalam menerima fakta seperti ini, termasuk diri saya pribadi.
Tetapi sebenarnya, setiap manusia memiliki tanda-tanda atau sinyal masalah waktu di sini, apa yang harus kita lakukan atau bagaimana menyikapinya.
Mungkin kita sudah pernah mendengar bahwa tanda-tandanya adalah usia tidak lagi muda, kulit yang mulai keriput, tubuh yang semakin melemah, warna putih rambut sudah muncul helai demi helai, dan sebagainya.
Itu semua benar. Hanya saja, masih terlalu jauh dan sangat tidak relevan dengan masa kita sekarang jika kita masih dalam usia pertengahan (20-40an tahun).
Sebuah tanda yang seringkali kita abaikan, termasuk saya pribadi, adalah terlalu cepat berjalannya waktu terkhusus di masa-masa sekarang ini.
Tiba-tiba sudah malam, tiba-tiba sudah akhir pekan, tiba-tiba sudah tahun baru, tiba-tiba sudah satu dekade…
Mental kita sebenarnya memberikan sinyal setiap harinya apabila kita belum menyelesaikan cukup tugas kita pada hari itu.
Banyak orang yang lelah setiap harinya, namun mereka begitu kosong. Mereka tidak tahu apalagi yang harus mereka perbuat dalam hidup mereka, tidak pernah sedikit pun sebuah kegiatan yang bisa meredakan ancaman waktu kepada mereka.
Hal itu mereka buat semakin parah saat mereka terlarut dalam drama di media sosial, yang menyebabkan waktu mereka semakin terbuang dan mental mereka yang semakin tidak siap bertarung dengan waktu.
Tanda-tanda ringan berupa alarm dari dalam diri kita sayangnya kita kerap abaikan hingga tanda-tanda akbarnya mulai bermunculan yang tidak dapat lagi kita perbaiki.
Jika ada sebuah kesimpulan yang dapat saya sampaikan di artikel horor yang tidak masuk ke dalam kategori Seram ini, sebenarnya hanyalah sebuah kalimat yang kita sudah sama-sama mengetahuinya.
Sesederhana, “memanfaatkan waktu yang tersedia”.
Tetapi apakah titiknya hanya sampai sana? Saya mengangguk.
Maksudnya, masa muda adalah aset, karena investasinya ada di tenaga. Tenaga itulah yang jangan sampai kita sia-siakan.
Jangan sampai karena terlalu larutnya kita dalam drama sosial yang tidak ada habis-habisnya, kita baru menyadari harta karun kita di masa kita tidak lagi bersemangat untuk menggalinya.
Kita terkadang mempertanyakan apa bakat yang terpendam dalam diri kita, namun kita sendiri justru melakukan hal lain selain mencari bakat tersebut.
Banyak orang bilang bahwa usia 40 adalah usia puncak, tetapi banyak yang menyalahartikan bahwa di sana masa keemasan kita terbit.
Walaupun saya setuju dengan pernyataan itu, namun dengan terang-terangan saya justru membantah asumsi yang mengiringinya.
Benar bahwa usia 40 adalah usia puncak. Tetapi bukan berarti kita mendapatkan segala sesuatunya di usia 40. Justru ada hal mengerikan bersembunyi di dalamnya.
Perlu kita ketahui, layaknya sebuah gunung, maka setelah puncak yang ada hanyalah jalan menurun.
Benar, usia 40 adalah usia ‘terakhir’ kita merasakan kejayaan usia muda karena seluruh fungsionalitas tubuh kita mulai menurun setelahnya. Kecuali, mereka yang bisa meminimalisirnya.
Jangankan usia 40, saya saja sudah banyak melihat “anak-anak muda” di usia 30-an mereka yang mengalami penurunan fungsionalitas tubuh mereka. Wajah-wajah mereka sudah terlihat lebih tua dari usia mereka sesungguhnya.
Setelah saya telusuri, mereka tidak memelihara diri mereka sendiri. Itu sebenarnya sudah menjadi tanda bahwa mereka mungkin menyia-nyiakan masa muda mereka dengan hal yang kurang begitu bermanfaat.
Usia 40 adalah penentuan setiap umat manusia di masa-masa berikutnya. Mereka yang sedari mudanya sudah konsisten melakukan perbaikan dan peningkatan level, maka tidak terlalu ada kekhawatiran mereka memasuki usia “turun gunung” setelah 40. Berlaku sebaliknya.
Betul bahwa tidak ada kata terlambat untuk memperbaiki diri sebelum ajal menjemput. Tetapi hati-hati, batas waktu akan selalu ada di mana kita tidak akan pernah bisa kembali lagi.
Jadi hari ini, apa yang sudah kita lakukan untuk menyayangi diri kita sendiri?
Bahkan lebih ekstrem, apa yang sudah kita lakukan yang mana di masa depan nanti kita akan berterima kasih kepada kita yang sekarang?