Disabilitas, atau keterbatasan (cacat), entah itu cacat fisik atau mental, semuanya masuk ke dalam kategori disabilitas. Pada tahun 2012 WHO menyatakan bahwa 650 juta penduduk dunia adalah kaum disabel. Bagaimana dengan Indonesia? Setidaknya 10 juta orang Indonesia termasuk kategori penyandang disabilitas.
Disabilitas memiliki logo tersendiri, yakni orang menggunakan kursi roda. Meskipun tidak semua orang disabel menggunakan kursi roda, hanya sebagai gambaran bagaimana para disabel mengalami keterbatasan fisik.
Mengapa saya mengangkat tema mengenai disabilitas di sini? Sejujurnya saya akhir-akhir ini mengagumi orang-orang yang begitu besar rasa kepedulian mereka kepada orang-orang yang memiliki keterbatasan fisik. Bahkan saya sebagai programmer seringkali melihat artikel-artikel yang menaruh perhatian khusus dalam menyediakan aplikasi ramah disabilitas.
Namun sebenarnya yang paling saya kagumi adalah kenyataan bahwa orang yang memiliki kepedulian tersebut justru bukan hanya dari orang disabel itu sendiri, melainkan kebanyakan dari orang-orang yang normal lagi sempurna.
Ini menarik untuk saya jadikan tema artikel sekarang.
Jika saya memakai atau menyenangi suatu barang dan jasa, biasanya saya selalu menunggu fitur baru dari layanan penyedianya. Misalnya, saya terkadang mengisi waktu luang saya dengan bermain Candy Crush Saga. Jujur saja, per ditulisnya artikel ini, saya sudah mencapai level lebih dari 9000.
Seperti yang telah disebutkan, saya selalu mengunjungi forum diskusi permainan tersebut dan memantau (menjadi silent reader) apakah ada fitur baru yang dapat saya coba di permainan tersebut. Bermula dari sana, saya menemukan salah satu trit khusus yang membicarakan khusus aksesibilitas untuk para disabel.
Kepedulian mereka sebagian besar tertumpu kepada keterbatasan visual para pemain. Dari sana saya mengetahui bahwa ada sebagian pemain yang mengeluh tidak dapat membedakan beberapa warna objek di saat mereka dalam bentuk yang sama, ada juga pemain epilepsi yang menghindari kilatan cahaya atau efek suara yang terjadi tiba-tiba.
Trit tersebut dapat kalian lihat dengan mengklik tulisan ini.
Bahkan ketika saya mengunjungi situs Draft W3 dot org dimana di sana banyak sekali proposal mengenai fitur-fitur baru yang dapat diterapkan pada situs-situs web. Di antaranya tentu saja ada fitur aksesibilitas yang sangat membantu para penyandang disabilitas terutama mereka yang memiliki keterbatasan penglihatan dan pendengaran.
Saya selaku programmer pun tidak luput dituntut agar selalu memperhatikan para penyandang disabilitas. Secara kasar, kadang kita tidak mengerti mengapa programmer atau seseorang yang bekerja ngoding di balik layar komputer juga disarankan agar peduli kepada para disabel? Ditambah lagi memang berapa sih para penyandang disabilitas yang menggunakan gadget?
Di sinilah mengapa saya katakan mengapa orang “normal” yang peduli disabel memiliki budi yang luhur karena jika mereka yang normal saja peduli dengan orang yang berkebutuhan khusus, apalagi dengan orang yang tidak memiliki masalah sama sekali?
Saya memiliki seorang karyawan yang saya baru tahu jika dia menderita deuteranopia. Awalnya rekan kerja saya menugaskannya untuk mempercantik tampilan notifikasi sistem, tetapi kemudian barulah satu kantor tahu dia tidak dapat melihat warna hijau saat dia tidak dapat membedakan warna notifikasi yang belum dibaca dengan yang sudah.
Itu adalah kasus aksesibilitas pertama yang saya dapatkan dalam pengembangan aplikasi.
Maka dari itu, saya pernah memiliki rencana untuk melakukan survey mengenai bagaimana kemudahan pengguna dalam mengoperasikan aplikasi yang saya buat dan saya kembangkan. Saya bahkan menyuruh karyawan saya itu agar menyisir aplikasi dan melaporkan kepada saya jika ia menemukan kejadian serupa untuk saya perbaiki.
Di negara maju yang mana akhlak dan pendidikan warganya juga sudah maju, seringkali saya temukan mereka yang mengembangkan produk ramah disabilitas. Seperti yang banyak saya temukan sewaktu saya berkunjung ke Singapura, hampir semua tempat sudah dipenuhi bidang miring (ramp), eskalator, mau pun elevator. Sampai-sampai saya yakin para pengguna kursi roda di negara tersebut tidak perlu ada rasa khawatir lagi dalam mengeksplorasi kota.
Mungkin banyak dari kita yang menganggap bahwa fitur peduli disabilitas adalah fitur tambahan karena mereka yang disabel bisa saja meminta bantuan orang lain untuk menolongnya. Namun pertanyaannya, bagaimana jika sedang tidak ada orang lain yang dapat dimintai tolong?
Kita seringkali melihat ubin-ubin kuning dipasang lurus di tempat-tempat publik. Beberapa kita sudah mengetahui bahwa itu adalah blind tile sebagai petunjuk jalan bagi orang-orang tunanetra.
Namun sayangnya, banyak pula dari kita yang ternyata masih tidak memahami apa itu blind tile, mereka yang tidak paham menganggap bahwa itu mungkin hanya sebatas hiasan semata. Kita yang mengerti seakan gatal sendiri saat melihat banyak blind tile yang pada akhirnya terhalang pot bunga, tempat sampah, tiang listrik, bahkan hingga lubang.
Karena tadi, jangankan untuk memiliki kepedulian dengan kaum disabilitas yang mungkin jarang ditemui, kepedulian dengan orang-orang normal di sekitar saja masih cukup rendah. Banyak dari kita yang cenderung menggampangkan, tanpa ada usaha yang benar-benar tuntas.
Maka dari itulah saya mengagumi orang yang etikanya sudah sampai kepada tahap peduli disabilitas.
Tetapi alangkah baiknya, kita jangan terburu-buru untuk mengembangkan fitur yang ramah bagi penyandang disabilitas. Saya sendiri ingin memastikan fitur utama berfungsi baik bagi para pengguna normal terlebih dahulu.
Ibaratnya, mengapa ingin memasang lampu lalu lintas yang ramah penyandang buta warna padahal lampu lalu lintas yang biasa saja masih sering ditemukan gangguan?
Peduli disabilitas adalah hal paling ekstra dalam kehidupan sosial kita. Namun bukan berarti kita lebih memilih untuk mengabaikan hal ini. Karena tentu saja, jika mereka sudah sampai kepada tahap peduli disabilitas, dapat dipastikan mereka sudah menyelesaikan tugas-tugas yang lebih penting sebelumnya.
Kira-kira kapan usaha kita dapat sampai ke ranah peduli disabilitas?