Sepertinya isu korupsi di negeri tercinta ini tidak pernah ada habisnya, bahkan sepertinya semakin parah dari hari ke hari. Saya biasanya setiap malam membaca artikel-artikel dari jawaban-jawaban di Quora perihal keadaan di negara-negara maju dan berkembang.
Jadi, memang negara berkembang itu sarat dengan korupsi. Bukannya negara maju sudah pasti minim korupsi, tidak. Tetapi nyatanya, kebanyakannya negara-negara maju memang minim korupsi sampai saya bahas khusus di artikel berikut.
Ada sekitar lima sebab mengapa sebuah negara dipenuhi oleh para koruptor. Ini sebenarnya hanya opini saya pribadi, yang saya simpulkan setelah membaca banyak jawaban di Quora yang setiap malam langganan saya baca.
Setiap negara memiliki warisan nenek moyang yang telah diterapkan secara turun-temurun, dari generasi ke generasi. Baik warisan yang baik maupun yang buruk. Namun khusus yang warisan yang buruk, yang merupakan bagian dari warisan nenek moyang akan sulit sekali dihilangkan jika tidak ada tekad yang kuat untuk mengubahnya.
Tentu saja karena warisan ini sudah menjadi kebiasaan. Padahal, kita sendiri sudah mengenal istilah, “ambil yang baik dan buang yang buruk”.
Bagaimana sebagian budaya nenek moyang menjadi sebuah budaya yang korup?
Sebelumnya, korup di sini artinya rusak. Sistem yang korup artinya sistem yang rusak. Dan sepertinya, masing-masing klan atau solidaritas lebih senang membuat sistem mereka sendiri-sendiri dan mereka menganggap bahwa sistem merekalah yang paling benar. Tidak heran mengapa banyak kita lihat beberapa solidaritas yang mudah sekali diadudomba.
Ketika kita bicara budaya gotong-royong, perlu diketahui bahwa tidak semua yang bersifat gotong-royong itu baik. Benar bahwa jika kita membayangkan orang-orang yang saling bahu-membahu membantu saudara kita yang sedang terkena musibah adalah suatu bentuk gotong-royong yang baik, tetapi bagaimana dengan gotong-royong dalam melakukan korupsi?
Seperti yang paling ringan, dulu kita sewaktu sekolah setidaknya pernah melihat teman-teman kita yang masuk kategori “murid yang malas” tiba-tiba menjadi rajin untuk menyebarkan contekan dari seorang murid yang rajin.
Gotong-royong yang seperti inilah yang sepertinya kita terlalu acuh untuk dipikirkan padahal mereka berwujud. Pertanyaannya, siapa yang ingin solidaritas korupnya dilaporkan? Sebab solidaritas korupnya yang lain juga akan ikut terancam dari laporan tersebut.
Di negara ini, gengsi menjadi sesuatu yang harus dipertaruhkan hidup dan mati, setidaknya oleh kebanyakan warganya. Yang menjadi motif utama gengsi adalah pandangan lingkungan sekitarnya.
Berapa banyak pekerja yang gajinya masih UMR namun mereka berduyun-duyun membeli kendaraan besar nan mewah? Padahal kebutuhan transportasi mereka sudah tercukupi dengan kendaraan yang biasa saja.
Jawabannya sudah jelas. Gengsi. Tetapi pertanyaannya, mengapa hal ini bisa terjadi?
Banyak hari ini orang-orang yang membantu dengan pamrih. Saya agak kesulitan mencari orang-orang yang membantunya benar-benar ikhlas bahkan saat saya berada di pedesaan sekali pun.
Benar bahwa saya masih menemui orang-orang yang tulus membantu, namun jika semua yang membantu saya (termasuk dari yang paling kecil seperti orang yang mendorong sepeda motor teman saya) dikumpulkan, masih lebih banyak mereka yang pamrih.
Atau singkatnya, ada perasaan yang mengganjal jika para penolong tersebut hanya mendapatkan ucapan terima kasih ‘tok’.
Mereka hanya ingin uang untuk mendapatkan harta yang mewah, dengan cicilan yang mencekik, kebanyakan. Dan itu semua mereka korbankan hanya demi sebuah gengsi. Padahal, banyak cara untuk meraih gengsi selain daripada harta, namun apalah daya banyak dari mereka yang tidak punya ide untuk mendapatkan gengsi tersebut selain dengan cara-cara singkat yang mengorbankan hidup mereka sendiri.
Jika seseorang sudah memiliki prestasi berupa banyaknya manfaat yang mereka berikan kepada orang lain, mereka begitu menyayangkan jika mereka harus melakukan jalan pintas. Ibarat mudahnya, seorang gamer yang pro, akan merasa terlecehkan jika dia menggunakan cheat.
Seseorang di Singapura berkata, “Jika kami harus melakukan hal itu (korupsi, dsb), maka apa artinya semua usaha dan susah-payah yang telah kami lakukan selama ini untuk mendapatkan semua (gengsi) ini?”
Tak heran mengapa negara maju begitu minim koruptor jika melihat mental warganya yang sudah demikian.
Tingkat kepedulian warga negara berkembang begitu rendah kepada sesama kecuali hanya segelintir orang saja. Dan yang saya maksud dengan kepedulian di sini adalah selalu memikirkan urusan orang lain secara luas (bukan ikut campur urusan secara pribadi).
Misalnya, jika warga Jepang melihat jalanan yang tidak memiliki zebra cross, mereka akan merasa kasihan dengan orang-orang tua yang ingin menyebrang di jalanan yang penuh dengan kendaraan tersebut. Pada akhirnya, mereka membuat laporan kecil kepada pemerintah agar dapat membuat negara mereka menjadi lebih baik lagi.
Jadi, jangan sampai seseorang baru mulai peduli kepada orang lain hanya jika orang lain sudah tertimpa suatu bencana.
Masyarakat negara maju selalu ambisius dengan berbagai perbaikan untuk membuat negara mereka menjadi lebih baik dan lebih manusiawi. Hal inilah yang membuat banyak masyarakat di negara berkembang cemburu.
Berikut adalah sebuah contoh percakapan antara si A dari negara maju dan si B dari negara berkembang:
Si A mengajukan komplain kepada pemerintah mengapa jalanan aspalnya memiliki sebuah lubang.
Si B berkata kepada si A: Kau seharusnya bersyukur jalanan di negaramu sebagian besar sudah teraspal dan memiliki batas yang dicat. Jalanan di negara kami masih banyak yang berupa tanah merah.
Si A: Itu adalah masalahmu! Kami bersyukur negara kami punya birokrasi yang baik dan kami hanya ingin mempertahankannya. Jangan seret negara kami untuk menjadi seperti negaramu! Kau yang harusnya membina generasimu sendiri agar menjadi seperti negara kami, bukan sebaliknya!
Banyak dari masyarakat negara berkembang yang terlalu takut untuk memperbaiki negaranya sendiri, bahkan cenderung menghentikan usaha mereka yang ingin mengubah negerinya menjadi lebih baik.
Berapa kali saya saksikan orang-orang yang membiarkan hal yang tidak baik karena mereka tidak ingin terseret kepada sebuah masalah. Bahkan orang-orang yang baik kini hanyalah seperti sekumpulan buih di lautan yang mudah terurai terombang-ambing dengan ganasnya kejadian alam di sana.
Pada akhirnya, kaum yang jahatlah yang mengambil alih kendali. Setelah itu, banyak dari masyarakat negara berkembang yang komplain mengapa birokrasi di negara begitu berantakan akibat ulah mereka sendiri yang terlalu takut untuk bahu-membahu mengubah keadaan meski hanya membuat laporan singkat via aplikasi.
Berapa banyak dari masyarakat negara berkembang yang sebenarnya mereka mudah bergaul dan membaur dengan masyarakat di sekitarnya. Namun berapa banyak pula yang kita saksikan dari mereka membentuk perkumpulan-perkumpulan mereka sendiri sehingga secara tidak disadari hal tersebut membuat masyarakat terkotak-kotak.
Masing-masing merasa kuat dengan solidaritasnya sendiri-sendiri yang artinya, daripada membuat negara menjadi multirasial yang harmonis, yang ada masyarakatnya hanya membentuk kubu mereka sendiri-sendiri yang siap menerkam satu sama lain, meski secara tidak langsung.
Teman saya berkata, “Kita baru bersatu jika ada ancaman besar yang tidak pandang bulu dan kubu.”
Saya membalas, “Ya, ya… jadi kita harus menunggu sampai ancamannya besar dulu ya baru mau bersatu.”
Masing-masing sibuk dengan perkumpulannya sendiri, sampai-sampai tidak sadar jika ada perkumpulan lain yang memiliki urusan yang sedikit membahayakan hingga mereka tampak secara terang-terangan.
Berapa kali saya saksikan orang-orang yang menamai mereka sebagai “orang kecil” melakukan penyimpangan dan masyarakat yang lain menganggapnya wajar.
“Biar saja, namanya juga sedang cari makan. Yang penting kita tidak seperti itu.” Begitulah kira-kira kilah mereka.
Meskipun mereka benar, namun “orang-orang kecil” yang telah terbiasa menyimpang tersebut akhirnya membaur dengan “orang-orang kecil” lainnya yang juga menyimpang sehingga menjadi “orang-orang besar” yang menyimpang. Begitu masyarakat yang tidak menyimpang terkena dampaknya, barulah mereka mengeluh dengan keluhan yang sudah sangat sulit terobati.
Ingin melaporkan seorang koruptor? Siap-siap diserbu satu klan korupnya. Sulit mencari seseorang yang siap membela sang pelapor secara langsung.
Ditambah lagi, masyarakat negara berkembang tidak memiliki standar untuk menentukan pemimpin mereka sendiri jadi pilihan mereka cenderung subjektif.
Saya benar-benar lelah untuk menanyakan alasan beberapa orang menentukan pilihan mereka. Misalnya,
Si A mencoblos nomor 1 karena orangnya senang masuk gorong-gorong.
Si B mencoblos nomor 2 karena orangnya suka senyum dan pandai mengolah kata.
That’s it?! Hanya itukah alasan mereka memilih pemimpin mereka sendiri? Maksud saya, saya tidak menilai buruk orang yang senang masuk gorong-gorong atau orang yang mudah tersenyum dan pandai mengolah kata. Cuma pertanyaannya, hanya sebatas itu kah standar penilaian kita dalam menentukan orang yang akan mengendalikan wilayah kita sendiri?
Jadi jika suatu saat ada penyimpangan yang dilakukan oleh anggota-anggota pemerintah, jawaban untuk menjelaskannya mungkin hanya berupa, “Oh pimpinannya sedang masuk gorong-gorong untuk meluluhkan hati warga. Atau oh, pimpinannya sedang menata kata untuk membuat warganya maklum.”
Dan masyarakat yang seperti itu masih saja komplain mengapa masih banyak kejadian-kejadian yang tidak menyenangkan terjadi di negaranya.
Tetapi perlu diketahui, “masuk gorong-gorong” atau “pandai senyum dan menata kata” hanyalah polesan untuk menaikkan citra sang calon pemimpin dan pencitraan seperti itu sah-sah saja sebagai marketing untuk mendongkrak suaranya.
Namun apakah ada hal lain yang lebih dapat dipertimbangkan misalnya, meski dia suka masuk gorong-gorong, banyak sekolah yang ia bangun. Atau meski dia pandai menata kata, akses di daerahnya sudah tidak lagi mengkhawatirkan.
Saya pribadi jika seseorang masih belum memiliki dampak positif yang dapat saya rasakan atau setidaknya saya dapat menilai ternyata dampaknya masih tidak begitu signifikan bagi daerah yang ia pimpin, saya enggan untuk memilihnya di ajang pemilihan nanti.
Karena ini bukan lagi masalah mengenai seorang manusia, ini sudah menjadi masalah untuk segenap manusia yang nanti ia pimpin.