Sebagai orang yang bertempat tinggal di ibukota yang telah dikenal baik sebagai jawara kemacetan, tidak sedikit orang yang tertinggal shalat karena alasan tersebut. Mengapa? Terjebak macet bisa sampai berjam-jam, ditambah lagi waktu maghrib yang hanya sekitar 1 jam itu bertepatan dengan jam sibuk orang yang pulang kerja.
Jika menggunakan kendaraan pribadi dan naik umum yang berhenti di pinggir jalan, mungkin dapat menepi sebentar untuk melaksanakan kewajiban. Karena sejatinya tidak ada alasan untuk meninggalkan shalat hanya karena macet selama masih sangat memungkinkan untuk menepi.
Lalu bagaimana dengan orang yang memang terjebak macet di tempat yang sangat tidak memungkinkan untuk mencari masjid? Bagi yang membawa kendaraan pribadi, terjebak macet di tol misalnya, atau bagi yang naik kendaraan umum seperti BRT/Bus Rapid Transit (dalam hal ini Transjakarta), terjebak macet di busway yang memang sangat tidak steril. Dan juga, untuk para penumpang yang menggunakan jasa BRT tidak diperbolehkan turun sembarangan seperti kendaraan umum lainnya, melainkan harus di tempat-tempat pemberhentian khusus yang biasanya terdapat di pinggir jalan dengan jarak tertentu.
(Disadur dari AQL Islamic Center) Apabila telah masuk waktu sholat maka hendaknya kita melaksanakannya sebelum melakukan perjalanan. Janganlah kita melakukan perjalanan setelah masuk waktu, padahal kita tidak yakin akan sampai sebelum waktu sholat itu habis.
Tetapi, jika memang seseorang melakukan perjalanan atau menaiki kendaraan sebelum masuk waktu sholat, dan dia memang tidak bisa berhenti untuk melaksanakan sholat yang telah masuk waktunya, serta menurut perkiraannya bahwa ia tidak mungkin sampai pada waktunya, maka jika sholat itu adalah sholat yang bisa dijamak seperti sholat Zuhur dengan Ashar atau Maghrib dan Isya maka ia boleh mengakhirkan sholat itu dan menjamaknya, seperti halnya menjamak Maghrib dan Isya.
Jadi bukan mengqadha tapi menjamak antara Maghrib dan Isya dan dilakukan pada waktu Isya yang disebut jamaโ taโkhir. Dan dalam jamaโ taโkhir, maka diperbolehkan untuk mendahulukan sholat Isya dulu baru kemudian melaksanakan sholat Maghrib, tapi yang lebih baiknya adalah melakukannya sesuai urutan sholat tersebut, yaitu melakukan sholat Maghrib dulu baru kemudian sholat Isya.
Rasulullah SAW. mengajarkan bahwa jika memang keadaan mendesak, meskipun perjalanan kita tidak sampai jarak yang dibolehkan untuk mengqashar sholat, kita dibolehkan untuk menjamaโ karena Islam tidak menghendaki kesulitan bagi umatnya. Hal itu berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas:
ุนููู ุงุจููู ุนูุจููุงุณู ููุงูู ุตููููู ุฑูุณูููู ุงูููู ุตููููู ุงูููู ุนููููููู ููุณููููู ู ุงูุธููููุฑู ููุงููุนูุตูุฑู ุฌูู ููุนูุง ุจูุงููู ูุฏููููุฉู ููู ุบูููุฑู ุฎููููู ูููุงู ุณูููุฑู ููุงูู ุฃูุจูู ุงูุฒููุจูููุฑู ููุณูุฃูููุชู ุณูุนููุฏูุง ููู ู ููุนููู ุฐููููู ููููุงูู ุณูุฃูููุชู ุงุจููู ุนูุจููุงุณู ููู ูุง ุณูุฃูููุชูููู ููููุงูู ุฃูุฑูุงุฏู ุฃููู ูุงู ููุญูุฑูุฌู ุฃูุญูุฏูุง ู ููู ุฃูู ููุชููู.
Diriwayatkan dari Ibnu โAbbas, ia berkata: Rasulullah SAW. shalat dhuhur dan โashar di Madinah secara jamaโ, bukan karena takut dan juga bukan dalam perjalanan. Berkata Abu Zubair: saya bertanya kepada Saโid; Mengapa beliau berbuat demikian? Kemudian ia berkata; Saya bertanya kepada Ibnuโ Abbas sebagaimana engkau bertanya kepadaku: Kemudian Ibnu โAbbas berkata: Beliau menghendaki agar tidak mernyulitkan seorangpun dari umatnya.โ [HR. Muslim].
Sedangkan jika sholat itu sholat yang tidak bisa dijamaโ dengan yang setelahnya seperti Ashar dengan Maghrib, maka ia harus melaksanakan sholat itu sebelum keluar waktunya semampunya, dimana hendaklah sebisa mungkin ia menghadap kiblat ketika takbiratul ihram, dan jika ia tidak bisa rukuโ dan sujud maka cukup dengan isyarat saja. Jika ia tidak dalam keadaan berwudhu maka hendaklah ia bertayammum. Dalam hal ini, ia tidak boleh menunda sholatnya sampai habis waktu sholat itu. Dan untuk kehati-hatian maka hendaklah ia mengulangi sholat itu ketika sudah sampai di tujuan atau pada kondisi sudah bisa melaksanakan sholat dengan benar, sebagaimana pendapat mazhab Syafiโi dan Maliki.
Saya sudah dua kali pengalaman tertinggal shalat maghrib di Transjakarta. Jarak halte yang berjauhan dan jalur yang sangat tidak steril menjadi penyebab utamanya. Biasanya yang saya lakukan adalah shalat Isya dahulu kemudian shalat Maghrib dengan niat Qadha, lalu dilanjutkan dengan shalat taubat agar lebih hati-hati dalam menjadwalkan perjalanan kedepannya, khususnya di waktu maghrib.
Ada beberapa hal menarik yang perlu diperhatikan di sini :
Saya memiliki tips yang insyaAllah bermanfaat untuk para pembaca yang merupakan pelanggan setia Transjakarta di mana mobilitasnya yang sangat padat ketika di sore hari terutama saat pulang kerja.
Untuk mencari masjid ketika keluar halte, tidak ada salahnya masuk sembarangan ke gedung apapun dan bertanya kepada pihak keamanan mengenai letak masjid/mushalla. Saya sangat sering melakukan hal ini. Biasanya jika tidak diperbolehkan masuk, dapat bertanya mengenai lokasi alternatif lainnya. Cukup beruntung apabila ada pusat perbelanjaan di dekat halte, dapat langsung masuk dan bertanya kepada pihak keamanan atau orang sekitar mengenai letak mushalla pusat perbelanjaan.
Lalu kemudian dapat masuk ke gang pemukiman manapun dan bertanya. Saya juga sudah sangat sering melakukan hal ini. Biasanya lokasi masjid/mushalla paling jauh hanya berjarak 300 meter dari mulut gang. Perlu dicatat, bahwa tidak ada halte Transjakarta yang tidak memiliki gang yang menjadi miliknya, karena syarat berdirinya sebuah halte harus ada akses ke pemukiman penduduk setempat. Beruntung jika haltenya langsung berpapasan dengan masjid seperti halte Galur dan kebanyakan halte di koridor 11 (Pulogebang – Kampung Melayu).
Jika tidak mengetahui di mana letak pemukiman penduduk karena baru memijakkan kaki di halte tersebut, maka ada baiknya mengikuti ke arah mana sebagian besar penumpang yang juga keluar dari halte tujuan.
Dan untuk jaga-jaga, saya merangkum di mana saja yang menjadi titik rawan Transjakarta mengalami hambatan dalam perjalanannya. Di sini saya sebutkan nama koridor dan tujuan, dan keterangan untuk sebaiknya turun di halte mana untuk menyelamatkan kewajiban. Contoh, jika jarak halte Pondok Indah 2 ke Pondok Indah 1 adalah cukup jauh dan rawan macet, sebaiknya turun di halte Pondok Indah 2 dan mulai mencari masjid. Begitu pula sebaliknya, tergantung halte mana yang tiba terlebih dahulu.
Berikut rinciannya :
Koridor 1 : Blok M – Kota
Koridor 3 : Kalideres – Harmoni
Koridor 4 : Pulogadung 2 – Dukuh Atas 2
Koridor 7 : Kampung Rambutan – Kampung Melayu
Koridor 8 : Lebak Bulus – Harmoni
Koridor 9 : Pinang Ranti – Pluit
Koridor 10 : Tanjung Priok – PGC
Koridor 12 : Penjaringan – Tanjung Priok
Semoga membantu…
—<(Wallaahu A’lam Bishshawaab)>—
Terima kasih penjelasannya
Mas, sepengetahuan saya, berdasarkan kajian yang pernah saya dengar dan beberapa kali pertanyaan jamaah di berbagai masjid, jika kita ketinggalan sholat, maka SHOLAT ITULAH YANG DIDAHULUKAN. Untuk kasus mas nya yg tidak sempat sholat maghrib karena antrian transJ, maka ketika ada kesempatan DIQADA SHOLAT MAGHRIBnya. Itu yang utama, selekas kita ada kesempatan. Baru sholat Isa. Disertai Solat sunah dan Solat Taubat lebih baik lagi. Ada pertanyaan, bagaiamana jika pas kita masuk masjid sedang solat Isa berjamaah? Kan solat didahulukan yang tepat waktu dan berjamaah. Betul. Namun, diganti dulu solat yang teringgal. Kita qada dulu solat maghrib, baru ikut solat Isa jika masih memungkinkan (jadi masbuk). Jika tidak sempat misalkan pas datang di masjid sudah rakaat ketiga, dan kita belum solat maghrib, ya kita laksanakan solat maghrib dan isa munfarid (sendirian) karena tidak keburu. Alloh Maha Mengetahui. Wallohul’alam biswahab.
Wassalamu’alaikum wr.wb
Waalaikumussalaam wr. wb.
Baik bapak Indera terima kasih atas komentarnya.
Mohon agar Bapak Indera membaca lagi dengan saksama dan lebih teliti artikel saya di atas tepatnya pada sub artikel ke 2 paragraf pertama karena sudah dengan sangat jelas disebutkan bagaimana tatacara mengqadha shalat yang benar-benar tertinggal persis apa yang bapak sebutkan di atas. Jadi jangan khawatir, saya pun sering ikut kajian entah di masjid atau di manapun namun saya tidak berkata dengan terang-terangan. Mohon maaf. Lagipula, saya tidak menuliskan artikel ini dengan main-main. ๐
Jika ada hal lain yang ingin dikoreksi, saya akan dengan senang hati mendengarkan. ๐
Sekali lagi terima kasih atas sharing komentarnya. Saya senang.
Wallaahu A’lam Bishshawaab. ๐