Mana yang benar? InSYa Allah atau inSHa Allah? Seriously, ini adalah hal yang sepele, benar-benar hal yang sangat sepele. Namun seperti yang telah menjadi tradisi mendarah daging di negeri ini, bahwa kebanyakan kita lebih senang membuat hal yang sepele menjadi keributan yang tiada henti, dengan masalah yang sama, setiap tahunnya.
Kembali ke topik, bahwa ada beberapa hal yang sebenarnya sangat simpel dan begitu mudah untuk mengangkat akar masalah ke permukaan, yang tentu saja berikut solusinya. Sayangnya, sedikit orang yang ingin mencari keduanya dan lebih memilih untuk larut ke dalam perdebatan yang tiada henti.
Kemudian bagaimana untuk mengatasi masalah yang super duper sepele ini?
“Yang benar insya Allah!”
“Bukan! Insha Allah!”
“Salah! Harusnya In Syaa Allah”
“Yang paling afdhal itu inshaa-a Allah!”
Ya, kira-kira begitu. Setiap orang memiliki argumennya masing-masing, yang justru membuat mereka menjadi semakin keras kepala. Bahkan ada yang melarang menggunakan “Insya Allah” karena artinya adalah “Menciptakan Allah”. Wait, what?! Na’udzubillah! Saya mengerti bahwa Insya-un (ุฅูุดุงุก) memiliki arti menciptakan. Namun bukan semerta-merta kata tersebut menjadi “Insya Allah”, melainkan “Insya Ullah” (Creating God) di mana Insya (ุฅูุดุงุก) di sini bukan lagi menjadi kata kerja, melainkan Gerund, atau Mashdar, atau kata benda abstrak, sedangkan kata Sya-a pada InsyaAllah (ุฅู ุดุงุก ุงููู) adalah kata kerja.
Jadi apa yang diributkan?
Ada pula yang menulisnya dengan “In shaa-a Allah”. Saya pernah menemukan yang seperti itu. Well, sebenarnya itu hak si penulis, tetapi yang seperti itu apa justru semakin merepotkannya? Sedangkan agama ini indah dan tidak pernah mempersulit pemeluknya. Bahkan Allah yang Maha Baik pun ‘berhati-hati’ dalam menurunkan hukum dan agamanya karena Dia sangat sayang kepada ciptaanNya. Seperti yang tercuplik di potongan ayat berikut, mengenai dasar hukum wudlu dan tayammum:
“…Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al-Maidah:6)
Sedangkan kebanyakan kita senang mempersulit diri kita sendiri dan orang lain dalam beragama.
Mana yang benar? Husnul, Chusnul, atau Khusnul? Hairul, Chairul, atau Khairul?
Atau mana yang benar? Allah, Alloh, atau Awloh/Auloh?
Dan seterusnya… dan seterusnya…
Semuanya memiliki argumen masing-masing yang beberapa di antara bahkan menjatuhkan argumen-argumen lain sehingga terjadilah debat kusir yang sulit dielakkan. Bahkan kemudian muncul artikel-artikel yang di antaranya menganggap argumennya lah yang paling benar serta mencari alasan penguat sebanyak mungkin demi kepentingan ego mereka.
Cukup. Sekarang kita beralih ke jalan keluar yang paling mungkin.
Setiap negara telah memiliki transliterasi masing-masing untuk setiap aksara non alfabetik, termasuk bahasa Arab. Mengenai bagaimana transliterasi Arab standar yang telah ditetapkan di negeri tercinta ini, kalian dapat melihatnya di sini. Semuanya sudah jelas standarnya yang tentu saja dimaksudkan agar kita memiliki persamaan paham dan terlebih agar tidak ada lagi adu argumen yang semacam itu.
Telah dengan jelas tertulis di sana, bahwa huruf Syin (ุด), diromanisasi menjadi “SY”, bukan “SH”. Jadi cukuplah kita menuliskan insya Allah, bukan insha Allah, karena untuk “SH” di negara ini sudah menjadi milik huruf Shad (ุต), kecuali jika kita memakai transliterasi negara lain, seperti yang dapat dilihat di sini. Dapat dilihat bahwa beberapa negara mentransliterasikan huruf Syin (ุด) dengan “SH”, “ลก”, dan bahkan “CH”. Wait, di negara mana yang melatinkan huruf Syin menjadi “CH”? Berarti di negara tersebut, insya Allah ditulis dengan incha Allah?
Begitu juga dengan kasus yang lain. Mana yang benar? Husnul, Chusnul, atau Khusnul? Saya dapat katakan berdasarkan panduan link di atas bahwa standar romanisasi untuk huruf Ha kecil (ุญ) di Indonesia adalah “แธค” atau “H dengan titik di bawah”. Namun jika kita menggunakan transliterasi tersebut maka kita akan kerepotan mengetik karena aksara di negara ini tidak memiliki huruf H dengan titik di bawah. Maka dari itu pemerintah menetapkan standar lain bahwa huruf Ha kecil (ุญ) dapat ditulis dengan “CH”.
Artinya, di negara ini penulisan yang benar adalah Chairul. Karena jika ditulis dengan Hairul, sebagian kita akan menyangka bahwa itu ditulis dengan huruf H besar (ูู). Di satu sisi, hal itu berakibat kepada banyaknya misinterpretasi masyarakat di mana huruf “CH” pada akhirnya ditulis “KH”, sehingga bertabrakan dengan romanisasi huruf Kha (ุฎ). Dari misintepretasi itulah kemudian muncul nama-nama yang seharusnya “Chusnul” menjadi “Khusnul”, “Chairul” menjadi “Khairul”, dst…
Ya, sebenarnya intinya balik lagi ke niat masing-masing sih…
Orang-orang Arab sendiri, mereka melatinkan huruf yang bunyinya mirip dengan angka, seperti yang telah saya bahas di artikel berikut. Dan mereka serempak setuju tanpa ada sedikitpun perbedaan argumen yang berarti. Kita seharusnya malu jika berdebat mengenai hal ini karena itu sudah membuktikan bahwa kita tidak memiliki standar.
—<(Wallaahu A’lam Bishshawaab)>—