“Amar Ma’ruf Nahi Munkar” adalah istilah syariat yang sudah bersahabat di telinga kaum muslimin.
Artinya sesederhana “Menyuruh kepada kebaikan dan melarang atas keburukan.”
Konteks yang akan saya tulis kali ini adalah tentang problematika masyarakat Indonesia yang sepertinya tak kunjung usai bahkan terlihat semakin memburuk dari hari ke hari, terutama saat membahas kebijakan pemerintah.
Di sini saya akan tekankan kepada “Nahi Munkar”nya sebab hal ini yang membuat permasalahan sosial yang sering muncul dan kita bahas, namun seolah tak kunjung mendapatkan titik terang dari penyelesaiannya.
Pernah saya saya menemukan utas di media sosial tentang seseorang yang mendapatkan makian oleh petugas pelayanan publik. Customer servicenya dengan gerak cepat langsung membalas utasnya dan bertanya seperti apa ciri-ciri petugas agar mendapatkan tindak lanjut.
Lalu apa jawabannya?
“Biar Allah aja yang bales.”
Entah, saya begitu gregetan mendengar jawaban yang seperti itu. Memang menurutnya bagaimana Allah Ta’ala akan membalas petugas tersebut? Apakah dengan anaknya yang jatuh sakit, atau anggota keluarganya meninggal?
Padahal balasan dari Allah Ta’ala yang ia inginkan bisa saja terjadi jika ia menyebutkan ciri-ciri si petugas kepada customer servicenya.
Proses tindak lanjut pun juga termasuk nahi munkar sebab memberikan pelajaran kepada petugas pelayanan publik tersebut beserta rekan-rekannya sebagai peringatan supaya tidak terjadi lagi kepada orang lain yang mereka layani.
Mungkin ini salah satu penyebab mengapa ketidaknyamanan semakin sering kita rasakan, baik ketidaknyamanan yang berasal dari pemerintah mau pun dari rakyatnya itu sendiri.
Para koruptor dengan bebasnya merajalela karena mereka sudah terbiasa sedari waktu masih menjadi rakyat. Berbagai kartu As drama mereka layangkan sebagai pembelaan diri seperti “saya punya keluarga”, atau “saya rakyat kecil”, dan lain sebagainya.
Akibatnya, orang-orang baik menjadi begitu lemah dan tercerai-berai karena begitu menoleransi perbuatan tercela seseorang hanya karena rasa iba.
Sedangkan orang-orang yang mendapat rasa kasihan tersebut tidak peduli dengan siapa pun kecuali dirinya sendiri dan rekan-rekan solidaritasnya yang sama-sama merusak juga.
Memaafkan itu adalah hal yang sangat mulia dan insyaAllah merupakan salah satu perbuatan yang mendapatkan ganjaran yang sangat tinggi di sisi Allah Ta’ala.
Tetapi bagaimana jika memaafkan itu terjadi kepada kemungkaran yang akan berdampak buruk pada sosialita?
Jika hal itu terjadi pada masalah individual, memaafkan kesalahan orang lain sangat dianjurkan. Konteksnya di sini adalah permasalahan sosial yang siapa pun termasuk orang yang kita cintai akan terkena imbasnya.
Memaafkan perbuatan seseorang terjadi apabila seseorang telah merasa bersalah dan kemungkinan kecil ia akan melakukan perbuatan tercela yang merugikan di hari kemudian tanpa perlu jatuhnya hukuman.
Yang jadi perhatian di sini adalah, banyak orang yang memaafkan karena memang “cari aman”. Berbagai dalih dikeluarkan seperti “yang penting kita tidak seperti itu”, atau “cinta damai”, atau bahkan merasa diri lebih mulia karena telah memaafkan perbuatan orang-orang yang merusak tersebut.
Tidak jarang saat saya sedang membahas masalah sosial, seringkali mendapatkan tanggapan untuk memaafkan saja pelakunya yang menjadi biang masalah.
Saya kemudian menghela nafas panjang dan menjawab, “Fine, saya akan maafkan orang itu. Tapi dirimu juga maafin perbuatan koruptor juga ya?”
Bukankah pohon yang buruk berasal dari tanah yang buruk pula? Kita sering membahas perilaku pemerintah namun justru menyuburkan bibit-bibitnya sewaktu mereka masih menjadi rakyat.
Kemungkaran tetaplah kemungkaran tidak peduli status sosial ekonomi yang bersangkutan.
Apalagi jika para pelaku kemungkaran itu menjual rasa iba seperti drama rakyat kecil atau playing victim saat ingin diadili. Mereka tahu bahwa masyarakat akan dengan mudahnya masuk ke dalam jebakan mereka.
Rasulullah Muhammad saw, Beliau pernah bersabda,
Barangsiapa dari kalian melihat kemungkaran, ubahlah dengan tangannya. Jika tidak bisa, ubahlah dengan lisannya. Jika tidak bisa, ingkarilah dengan hatinya, dan itu merupakan selemah-lemahnya iman.
HR. Muslim
Bisa kita catat di sana, bahwa mengingkari kemungkaran hanya dengan hati atau sekadar membencinya saja merupakan selemah-lemahnya iman. Sekarang bagaimana jika hati seseorang justru menganggap hal biasa perbuatan kemungkaran itu?
Banyak masyarakat yang sudah semakin menganggap normal berbagai tindak pelanggaran, bahkan pernah saya menyaksikan seseorang menyuruh korban kejahatan untuk mengikhlaskan saja perbuatan si penjahat tersebut.
Saya sadur dari Rumaysho, bahwa lima hal yang disebutkan Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah mengenai dampak buruk mendiamkan kemungkaran padahal mampu mengingatkannya:
Maksiat itu bukan hanya berzina, menenggak miras bagi yang muslim, dan meninggalkan shalat atau kewajiban-kewajiban utama.
Melanggar perjanjian dan peraturan yang telah ditetapkan dan diridai masing-masing individu pun termasuk maksiat. Seperti kalau kita lihat di jalan raya adalah mereka-mereka yang melanggar lampu merah, melawan arah, dan merokok yang mana debu dan apinya bisa membahayakan pengendara di sekelilingnya.
Termasuk juga kemungkaran perbuatan memotong antrian, memarahi orang tanpa sebab, membuang sampah sembarangan, melakukan pungutan liar, menunda pembayaran hutang, dan lain sebagainya.
Kita membenci jika ada aparat pemerintah yang melanggar peraturan tersebut dan mengganggu hak masyarakat, tetapi banyak dari kita justru yang menoleransi perbuatan tersebut jika dilakukan oleh orang yang mengaku-aku sebagai rakyat kecil.
Seolah rakyat kecil tidak mampu untuk taat dan tertib.
Dan padahal, pemerintah kita asalnya pun tetap dari rakyat juga. Pemerintah di sini cakupannya bukan hanya sebatas presiden, menteri, dan anggota dewan, melainkan juga gubernur, bupati, camat, lurah, hingga ketua RT/RW.
Tidak mengapa jika kita masih tidak mampu untuk melakukan nahi munkar dengan kuasa kita. Yang terpenting hati kita sudah mengingkari atau membenci perbuatan tersebut dan tidak menoleransinya.
Meski predikat kita dalam nahi munkar masih selemah-lemahnya iman berdasarkan hadits sebelumnya, setidaknya masih masuk dalam kategori peduli masalah perbuatan mungkar.
Faktanya di lapangan, saya sering melihat bukan hanya orang-orang yang menganggap wajar perbuatan mungkar tersebut, melainkan menyuruh diam orang-orang yang mencoba untuk mengubahnya.
Perbuatan mencari aman hanyalah akan membuat para pelaku kemungkaran merasa mendapatkan panggung sebab masyarakat sudah pasti akan membiarkan mereka.
Pada akhirnya saat perbuatan mungkar sudah merebak bahkan memiliki jabatan, masyarakatnya sendiri yang akan kerepotan dan kebingungan bagaimana menyelesaikannya.
Mungkin saat kita meminta Allah Ta’ala mengazab perilaku pemerintah yang zalim, dikhawatirkan kita juga akan terkena cipratan azab tersebut karena sebenarnya sumber perbuatan mungkarnya ada di sekeliling kita yang kita mungkin biarkan sebelumnya.
Kemudian di satu sisi, bagi kita yang telah mencoba mengubah kemungkaran tersebut tetapi tidak dihiraukan oleh pelakunya, jangan khawatir setidaknya kita sudah berusaha karena hidayah adalah hak istimewa yang hanya dimiliki oleh Allah Ta’ala.
Kewajiban Rasul tidak lain hanyalah menyampaikan, dan Allah mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan.
QS. Al-Maidah: 99
Bukan urusan kita untuk sampai kepada keberhasilan mengubah kemungkaran tersebut. Tugas kita adalah memberitahunya dengan cara terbaik dan beralasan.
Contohnya, saat kita melihat sekelompok orang berjudi, hal terbaik yang kita lakukan untuk memberantas kemungkaran tersebut adalah menghubungi pihak berwajib dan bukannya mengacak-acak permainan yang sedang mereka lakukan.
Benar bahwa kita tidak bisa mengubah watak orang lain, tetapi kita bisa mengubah perbuatan kita kepada orang lain.
Hari ini pahlawan nasional sudah tidak lagi ada, sekarang siapa yang bisa menjaga rasa aman dari perbuatan tercela orang-orang di sekitar kita?