Pernah beberapa kali saya mendengar nama produk yang haram namun mendapatkan embel-embel seolah itu halal. Misalnya seperti daging babi vegan, sake halal, dan yang mirip itu.
Di sini saya akan melampirkan fatwa MUI beserta pandangan dari diri saya pribadi, semoga bisa obyektif.
Menurut sebuah fatwa MUI,
Produk halal tidak boleh menggunakan nama, nama makanan atau minuman yang mengarah pada benda atau binatang yang diharamkan, termasuk nama miras.
– Fatwa MUI No. 44 Tahun 2020
Dari sini kita mengetahui bahwa produk yang memiliki penamaan dari objek yang haram tidak akan bisa mendapatkan sertifikat halal, meskipun tidak memiliki unsur haramnya sama sekali.
Misalnya, daging babi vegan, meski tidak ada unsur daging babinya sama sekali, tetapi tetap saja hal itu langsung serta-merta kita sebut halal dan sebaiknya kita hindari untuk mengonsumsinya.
Mengapa?
Sebelumnya saya memahami jika beberapa orang ingin menjadi kreatif memberi nama produk mereka. Hanya saja, kebebasan itu tetap memiliki batas.
Apalagi jika penamaan sebuah produk sudah menyentuh-nyentuh lingkup syariah, maka persoalannya akan menjadi lebih serius.
Seperti misalnya wine halal. Meskipun minuman tersebut memiliki bahan yang halal seutuhnya, tetapi asosiasi penamaannya tidak bisa kita sebut halal karena wine identik dengan khamar yang keharamannya sudah absolut.
Tentu saja penamaan kontroversial seperti itu akan menyebabkan efek domino yang cukup menyita perhatian. Dampak negatifnyalah yang menjadi pertimbangan ke depannya.
Memberi embel-embel halal dari sesuatu yang sudah haram adalah tindakan yang mempermainkan syariat.
Padahal sesuatu yang haram itu seharusnya memang kita hindari bagi yang muslim, bukan justru mendapatkan parodi.
Dan padahal, selain daging babi, banyak daging hewan lain yang halal dan lezat. Namun sebagian orang seolah ingin membuat tandingan keharaman daging babinya itu sendiri.
Jika memang ada racikan dari bahan halal yang rasanya mirip daging babi, tidak perlu kita sebut dengan embel-embel daging babi karena akan menjadi rancu dan membingungkan.
Jika seseorang sudah terbiasa melegalkan penamaan barang halal dengan hal yang haram, terlebih itu adalah menjadi bisnis yang menguntungkan, ke depannya pasti banyak orang yang meniru hal serupa.
Apalagi tidak pernah ada standar di sini.
Tidak menutup kemungkinan akan ada jargon “judi halal”, “riba halal”, atau bahkan “korupsi halal” di kemudian hari.
Daripada main judi online yang haram, lebih baik main “judi” kami yang lebih islami.
Itu adalah pernyataan lucu yang lumayan berbahaya jika kita legalkan. Alih-alih kreatif, kita tidak tahu apakah judi islami tersebut sepenuhnya halal atau tetap ada yang haram meski sedikit.
Namun saya lebih mengkhawatirkan jika sesuatu yang haram mendapatkan embel-embel halal, perlahan masyarakat awam menganggap itu menjadi halal dengan sendirinya.
Karena sudah menjamurnya produk “bir halal”, orang awam lama-kelamaan tidak lagi menganggap bir menjadi sesuatu yang haram walaupun tidak ada jargon halal yang mengiringinya.
Hal itu tentu saja tidak akan terjadi dalam waktu semalam, apalagi banyak yang semakin meninggalkan ulama dan hanya berkiblat kepada perasaan masing-masing semata.
Kodok yang berada di dalam air yang langsung kita panaskan pastinya akan langsung melompat karena kaget. Tetapi kodok yang berada di air yang kita panaskan secara berkala, lama-kelamaan akan mati kepanasan. Semuanya terjadi di bawah alam sadar.
Sesuatu yang haram, sebaiknya kita hindari. Lagipula, sangat banyak pengganti yang halal, yang dapat kita nikmati.
Sekarang, sekali pun kita memakai jargon misalnya “daging babi vegan”, non-muslim sekali pun akan lebih memilih daging babi asli dan bukan imitasi.
Begitu pula dengan “wine halal”, “sake halal”, dan lainnya.
Lagipula, non-muslim yang terbiasa memakan daging babi, mungkin agak miris memandang muslim yang sepertinya berusaha untuk menyamakan makanan mereka. Islam akan kehilangan wibawa di sini.
Menurut para non-muslim, “apakah para muslim begitu keberatan atau tidak senang dengan syariat mereka sehingga berusaha untuk mengakali syariatnya dan mengikuti kami?”
Padahal sepertinya, hampir tidak ada atau bahkan tidak ada sama sekali dari non-muslim atau orang kafir yang mengajak para muslim agar meniru mereka. Justru perbuatan meniru-niru seperti ini seringnya datang dari muslimnya itu sendiri.
Apakah kita akan rela jika suatu saat ta’aruf disebut dengan “zina halal”?
Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.
HR. Ahmad & Abu Daud