Kejadian ini adalah waktu saya masih SMP.
Siang itu, saya laper. Pengen ngemil. Saya pergi ke dapur dan di lemari kaca ada mi instan. Jadilah saya bikin Indomie.
Tulisannya sih Sarimi, tapi tetep aja saya sekeluarga bilangnya Indomie.
Kemudian di hari yang lain, saya disuruh ibu saya ke warung. Kata ibu saya, “Beli Masako gih…” sambil ngasih duid saya buat ke warung.
Sepulang dari warung, saya kasih Royco dan ibu saya nggak komplain apa pun.
Di kamar mandi, tiba-tiba Odol habis. Padahal mereknya Ciptadent.
Pas lagi banyak nyamuk, kami menyemprotkan Baygon. Mereknya memang Baygon sih yang ini hehe…
Bahkan lebih parah, nenggak Baygon bisa jadi salah satu sarana lepas nyawaΒ “terfavorit” beberapa kalangan yang sudah frustasi dalam hidup. Khusus yang ini jangan ditiru ya dear pembaca, I love everyone of you. π
Sampai sekarang pun, sebelum saya bertamasya ria, biasanya saya suka beli Aqua di minimarket sebagai bekal air minum. Yah, meski yang nyampe ke kasir itu Le Minerale ~
Nah, fenomena di atas itu ternyata ada istilahnya saat kita menyebut sebuah barang dengan nama merek barang tersebut, lalu kita anggap itu adalah sinonim atau penyebutan lain dari barang itu sendiri. Padahal namanya sudah merupakan hak cipta dari sebuah korporat.
Fenomena itu disebut dengan “generalized trademark” atau merek dagang yang melebur jadi istilah umum.
Kalau tadi Odol, Baygon, Aqua, dan Indomie adalah kata umum yang hanya berlaku di Indonesia dan sekitarnya saja, apakah ada “generalized trademark” yang berlaku juga di seluruh dunia?
Yoi, ada banyak ternyata. Mungkin sebagiannya kita tidak akan menyangka juga kalau itu sebenarnya hak cipta dari merek dagang, bukan kata asli untuk barang tersebut.
Saya coba mengambil 10 istilah yang paling familiar saja.
Oh, sebenarnya fenomena generalized trademark ini punya dampak negatif yang bisa sangat merugikan perusahaan. Sebuah perusahaan bisa kehilangan hak ciptanya jika merek dagangnya sudah jadi properti umum.
Ibaratnya, udah capek-capek bangun brand, eh penamaan brandnya bisa dipake siapa aja dengan sembarangan. Ya kayak istilah nenggak Baygon tadi.
Baiklah, berikut 10 istilah yang ternyata itu adalah merk dagang. Beberapanya sudah jelas dan kita sadar kalau itu memang merek dagang, tapi sisanya mungkin kita baru tahu. Dan fenomena generalisasi merek dagang berikut juga berlaku di seluruh dunia.
Saya agak kaget ternyata Escalator itu bukan kata lain atau sinonim dari tangga berjalan. Escalator itu adalah nama brand atau merek perusahaan lho.
Mana kata Escalator itu sudah diserap sama bahasa Indonesia dan masuk KBBI lagi, jadi eskalator.
Lalu istilah yang bener untuk menyebut eksalator ini apa? Ya, tangga berjalan, atau moving staircase.
Kata “Escalator” dipatenin tahun 1959, jadi kalau ada perusahaan lain yang mau bikin tangga berjalan, udah nggak boleh lagi pakai nama “Escalator” sebagai bagian dari nama mereknya.
Wikipedia
Kalau kita mau bungkus paket, biasanya pelindungnya selain bisa pakai bubble wrap, bisa juga pakai sterofom.
Sterofom ini ejaannya adalah Styrofoam yang merupakan merek dagang dari sebuah perusahaan manufaktur di Amerika Serikat.
Padanan kata dalam bahasa Indonesia untuk menyebut styrofoam ini adalah “gabus sintetis” atau cukup gabus saja.
Di bahasa Inggrisnya penyebutannya lebih repot lagi, “Polystyrene Foam”. Kalau kayak gini emang lebih enak nyebut “Styrofoam” aja deh.
Lion Star
Dulu waktu kami, para gen Y dan sebelumnya pengen piknik sekeluarga, entah ibu atau bibi saya suka bawa-bawa termos sebagai wadah air panas.
Tapi popularitas termos mulai terkikis semenjak gen Z lebih mengenal alternatif yang praktis yakni Tumbler.
Thermos sendiri adalah nama brand yang dipatenkan oleh perusahaan Jerman untuk wadah vakum yang terisolasi secara umum, jadi bukan cuma sekadar menyimpan air panas saja.
Trampolin yang bisa dipakai buat loncat-loncat itu pun masih termasuk nama merek dagang.
Terus kata aslinya apa? Tuing-tuing gitu?
Ternyata dalam Bahasa Inggris, kata asli trampolin itu adalah “Bounce Mat” atau “Matras Pantul”.
Tapi saya yakin orang luarnya lebih kenal istilah Trampoline daripada Bounce Mat itu sendiri. Kayak, “Main trampolin yukk!” dan bukan, “Main kasur tuing-tuing yuk!”
Punya telepon lipat zaman dulu itu termasuk salah satu gengsi yang membahana.
Tapi siapa sangka kalau istilah Flip Phone itu sudah diklaim duluan hak ciptanya sama Motorola. Yang lain nggak boleh lagi pakai istilah Flip Phone, karena istilah sebenarnya adalah Foldable Phone.
Ya untung bahasa Indonesianya memang “telepon lipat” jadi kita nggak ikut-ikutan deh.
Tadi kita sudah bahas Baygon sebagai merek dagang yang digeneralisir dari produk obat nyamuk semprot. Saya yakin beberapa kita sudah tahu kalau Baygon itu diproduksi oleh perusahaan yang bernama Bayer.
Masih perusahaan yang sama, lagi-lagi bikin istilah yang menjadi sebutan jutaan umat manusia.
Aspirin yang kita kenal sebagai obat pereda nyeri atau penurun demam ternyata dibentuk dari kata acetyl ditambah dengan speraea (“tumbuhan bumban pengantin” kalau kata Wikipedia, yang diuji sama si Bayer ini) kemudian ditutup dengan akhiran “in”.
Jadilah A(cetyl) + spear + in. Aspirin.
Masih dalam lingkup obat-obatan yang kali ini bisa masuk ke ranah kriminal sebab Heroin ini adalah salah satu jenis narkoba.
Dan hak ciptanya masih dipegang sama Bayer lagi, meski kalah di negara lain semasa perang dunia pertama dalam perjanjian Treaty of Versailles.
Tapi lucu ya dalam lingkup narkoba bisa dapet hak cipta? Katanya sih heroin masih bisa dijadikan obat beneran di tangan yang tepat dan nggak bikinΒ fly.
Alo Dokter
Dulu waktu saya kecil, dekat sekolah saya ada abang-abang yang jualan dry ice yang kita sebut dengan biang es.
Nggak paham kenapa waktu itu anak-anak SD doyan banget beli begituan. Sampai sekarang masih kah?
Ternyata, dry ice pernah jadi merek dagang di Amerika Serikat sana.
HaloDoc
Kutek atau pewarna kuku ternyata berasal dari Cutex, sebuah nama brand dari Revlon, perusahaan cat kuku di Amerika Serikat. π π»
Parahnya, saking membahananya istilah Cutex yang dikenal jutaan umat manusia sebagai kata pengganti cat kuku, sampai-sampai juga melahirkan karakter “huruf” baru di Shanghai sana. Konon, “θ»δΈΉ” berasal dari Cutex itu sendiri.
“You go, gurl!”
Ini merek popok. Pampers ini salah satu merek popok yang sampe sekarang masih bisa kita saksikan sendiri di warung-warung kelontong seberang gang. Sudah.
Pun sama seperti kita menyebut Handiplast atau Hansaplast sebagai plester luka, Softex sebagai pembalut, dan Tupperware sebagai wadah plastik. Itu semua merek korporat dan ada hak ciptanya.
Tapi… wow, sebuah brand korporat begitu legendarisnya sampai banyak orang yang bahkan nggak tahu kata asli untuk produk tersebut selain dari nama brand perusahaannya.
Nah, beberapa perusahaan juga sempet coba-coba mematenkan beberapa kata yang memang sudah umum menjadi hak cipta mereka. Untungnya gagal total.
Contohnya kayak “yoyo”, permainan cakram tali itu. Terus kayak “super glue” jenis lem yang kita sebut “lem besi”. Semuanya ditolak pengadilan karena istilah tersebut memang sudah ada sebelumnya.
Bahkan yang lebih parah, si King, alias korporat yang bikin game Candy Crush, karena terlalu terkenalnya game tersebut di tahun 2010-an (saya juga termasuk pemainnya sih) coba-coba melakukan hal ekstrem yakni ingin mengklaim atau mematenkan kata “Candy”!
Kalau terwujud, akibatnya bisa fatal, seluruh brand atau judul permainan yang menggunakan kata “Candy” bisa dituntut kek nuntut royalti musik. Dendanya bisa jutaan bahkan milyaran rupiah. π£
Sokor deh gak sampe kejadian. Alamak, maruknya…
Google, Nintendo, dan Photoshop pun termasuk ke dalam daftar korban hak cipta yang digeneralisir.
Bagaimana nggak, bahkan Google itu sendiri udah diserap jadi kata kerja. Kata “Googling” mengacu kepada kegiatan menjelajah di mesin pencari dan itu nggak harus Google, bisa Yahoo!, Bing, apa pun.
Makanya Nintendo dan Adobe jadi ketar-ketir untuk urusan hak cipta ini dan mereka berjuang penuh untuk mempertahankan nama merek dagangnya dengan mengampanyekan berbagai hal.
Misalnya, Nintendo dengan jelas menyadari bahwa banyak para emak yang nyebut setiap video game adalah Nintendo.
“Jangan main Nintendo melulu!” Walaupun si anak main game dari Sega atau Playstation.
Nintendo sampai bikin ini:
Intinya, para emak yang budiman, nggak ada yang namanya Nintendo, kecuali mengacu kepada perusahaan yang bernama Nintendo itu sendiri. Jadi jangan digeneralisir ya bunds dengan nyebut semua game adalah Nintendo, kami segenap kru yang jadi budak korporat di Nintendo akan sangat berterima kasih lho…
Terakhir, Adobe pun sadar kalau istilah “Photoshop” seolah sudah jadi kata baku tersendiri sebagai bagian dari aktivitas manipulasi foto.
Lagi, Adobe melakukan hal serupa seperti Nintendo, dengan memudahkan bahasa resmi yang tertuang dalam hak cipta mereka supaya mudah dimengerti khalayak luas.
Jadi kalau bisa jangan lagi ya bilang, “Ah itu mah hasil Photoshop.”, padahal editnya di Canva. π
Saya mikirnya seru juga ya kalau semisal Anandastoon ini jadi korban generalisir hak cipta.
Bisa jadi suatu saat saya dengar, “Mau baca Anandastoon ah!”, padahal yang dibaca blog lain. Tapi, agak susah sih nyebutnya. Tim saya aja malah nyingkat jadi “Anstun”. π
Ketinggian oey ngarepnya ~ π