Dongeng ini dibuat oleh dua orang penulis bersaudara yang sangat terkenal, yaitu Brothers Grimm. Di mana mereka juga adalah pengarang dongeng Putri Salju, Cinderella, Kerudung Merah, dan lain sebagainya.
Sejujurnya kebanyakan dongeng-dongeng karya dua orang tersebut dapat dikatakan cukup disturbing dikarenakan ada bagian dari beberapa dongeng ini yang tidak pantas diketahui anak-anak, terlalu dewasa, atau terlalu sadis.
Dan kalian tidak salah baca, memang dongeng ini dikhususkan pembacanya untuk anak-anak. Mungkin pada saat itu anak-anak memang tumbuh di zaman peperangan, banyaknya penjahat, hutan belantara, sehingga harus dididik ‘keras’ dari kecil.
Apa yang telah kalian tonton dari kisah-kisah tersebut kebanyakan telah mengalami proses penyensoran. Kecuali kisah-kisah yang memang masih sangat asing kalian dengar, salah satunya The Juniper Tree, atau Pohon Jinten Saru. Berikut kisahnya…
(Mohon maaf apabila terjemahannya berantakan atau sulit dimengerti, saya sudah melakukan yang terbaik hehe…)
Pada zaman dahulu kala, hidup seorang kaya dengan istrinya yang cantik. Mereka saling mencintai namun sayangnya mereka belum dikaruniai seorang anak. Betapa besar hasrat mereka ingin memiliki anak meski seorang saja hingga berdoa siang dan malam, namun tetap saja mereka tak kunjung memiliki anak.
Di depan rumahnya ada sebuah pekarangan yang ditumbuhi pohon jinten saru. Suatu hari di musim dingin sang istri berdiri di bawah pohon itu untuk mengupas apel, dan ketika mengupas jari tangannya terluka sehingga darahnya menetes ke timbunan salju. ’Ah,’ desah perempuan itu dengan nafas yang berat, ’Andai saya memiliki anak semerah darah dan seputih salju,’ dan saat itu hatinya seperti mendapatkan suatu cahaya, yang sepertinya keinginannya akan dikabulkan, sehingga dia kembali ke rumah dengan perasaan senang.
Sebulan berlalu dan salju telah hilang, kemudian bulan berikutnya berlalu dan bumi kembali hijau. Dan bulan-bulan berganti hingga musim semi benar-benar tiba. Sekali lagi sang istri berdiri di bawah pohon jinten saru dengan begitu penuh sukacita melompat kegirangan, dan dia begitu diliputi kebahagiaan, sehingga ia berlutut. Saat buah-buah menjadi bulat dan keras, ia merasa senang dan damai.
Tetapi ketika buah-buah itu sudah masak dia memetiknya dan memakannya dengan lahap, lalu kemudian ia kembali sedih dan sakit. Beberapa saat kemudian dia menelepon suaminya, dan berkata kepadanya sambil menangis. “Jika aku mati, kuburlah aku di bawah pohon jinten saru.”
Lalu ia merasa terhibur dan kembali bahagia, serta sebelum bulan berikutnya tiba dia telah memiliki seorang anak, dan ketika ia melihat bahwa anaknya putih seperti salju dan merah seperti darah, kegembiraannya begitu besar sampai dia meninggal.
Suaminya kemudian menguburkannya di bawah pohon jinten saru sambil menangis dengan sedihnya. Sedikit demi sedikit, kesedihannya semakin berkurang, dan meskipun kadang-kadang ia masih berduka atas kehilangan istrinya, ia mampu untuk kembali menjalani kehidupannya seperti biasa, hingga akhirnya ia menikah lagi.
Dia sekarang memiliki seorang putri kecil dari ibu tirinya, sedangkan anak dari istri pertamanya adalah seorang anak laki-laki, yang semerah darah dan putih seperti salju. Sang ibu baru sangat mencintai putrinya, namun ketika kemudian menatap anak tirinya, hatinya terbesit untuk berpikir bagaimana dia bisa mendapatkan seluruh warisan untuk dia dan putrinya.
Pikiran jahat ini menguasai dirinya semakin lama semakin parah, dan membuatnya berperilaku sangat tidak ramah kepada anak itu. Ibu tirinya memperlakukannya dengan tidak senonoh, sehingga anak malang itu selalu diliputi rasa takut, terutama dari saat ia meninggalkan sekolah hingga waktu dia kembali ke rumah.
Suatu hari sang putri kecil berlari ke ibunya yang sedang di ruang toko, dan berkata, ‘Ibu, berikan saya sebuah apel.’,
‘Tentu saja, Anakku,’ kata ibunya, dan dia memberinya apel yang indah dari peti yang memiliki tutup sangat berat dan kunci dari besi yang besar.
“Ibu,” kata si putri kecil lagi, ‘apakah adikku juga boleh makan apelnya?’
Ibunya marah mendengar hal ini, namun dia menjawab, ‘Ya, ketika ia pulang dari sekolah.’
Saat itu dia melihat keluar jendela dan melihat anak tirinya datang, tampaknya seolah-olah roh jahat masuk ke dalam dirinya, karenanya ia menyambar apel dari tangan putri kecilnya, dan berkata, ‘Kamu tidak akan mendapatkan apel sebelum saudaramu itu.“
Dia melemparkan apel ke peti dan menutupnya. Kini anak tirinya datang, dan roh jahat si ibu tiri membuatnya berkata ramah kepadanya, ‘Anakku, mau apel?’ Sembari menatapnya jahat.
“Ibu,” kata anak itu, “Betapa menyeramkannya tatapanmu! Ya, aku mau apel.”
Pikiran itu datang kepadanya bahwa dia akan membunuhnya. ‘Ikuti aku,’ katanya, dan ia mengangkat tutup peti apel, ‘Ambil satu untuk dirimu sendiri.’ Dan saat anak tiri membungkuk untuk mengambilnya, roh jahat mendesak sang ibu tiri agar melakukannya, dan Brakkk!
Ditutupnya peti itu dengan keras hingga memutuskan kepala anak kecil itu. Lalu ia kewalahan dengan rasa takut membayangkan akibat yang telah dilakukannya. “Kalau saja aku bisa mencegah orang untuk mengetahui apa yang telah saya lakukan,” pikirnya.
Jadi dia pergi ke kamarnya, dan mengambil sapu tangan putih dari dalam laci nya, kemudian ia mengatur kepala anak itu agar kembali lagi di posisinya semula, dan mengikat dengan sapu tangannya sehingga tidak ada yang tahu, dan mendudukkan dia di kursi dekat pintu dengan sebuah apel di tangannya.
Segera setelah ini, Si gadis datang ke ibunya yang sedang mengaduk panci air mendidih di atas api, dan berkata, ‘Ibu, saudaraku duduk di dekat pintu dengan sebuah apel di tangannya, dan dia tampak begitu pucat, ketika saya memintanya untuk memberikan apelnya, dia tidak menjawab, hal itu membuatku takut. “
‘Kembali padanya.’ kata ibunya, ‘Jika dia tidak menjawab, pukullah kepalanya!”
Kemudian anaknya pergi kepada anak tirinya yang sudah tidak bernyawa itu, dan berkata, “Saudaraku, berikan apel itu!”
Tapi dia tidak mengatakan sepatah katapun, hingga ia pukul kepalanya dan kepala saudara laki-lakinya lepas terguling. Dia begitu kaget serta berlari sambil menangis dan berteriak kepada ibunya. ‘Oh!’ Katanya, ‘Aku telah memutuskan kepala saudaraku,’ membuatnya kemudian menangis dan menangis, tidak ada yang dapat menghentikannya.
‘Apa yang telah kau lakukan!” Kata ibunya, “Ingat, tidak boleh ada yang tahu tentang hal ini, sehingga kamu harus diam. Yang terjadi terjadilah. Kita akan membuat dia menjadi puding.”
Kemudian dia mengambil tubuh anak malang itu dan memotongnya, membuatnya menjadi puding, dan menempatkan dia di dalam panci. Tapi sang gadis berdiri menatapnya sambil menangis dan menangis, hingga air matanya jatuh ke dalam panci yang membuatnya tidak perlu diberi garam.
Saat ayah pulang dan duduk untuk menyantap makan malamnya, ia bertanya, “Di mana anakku?” Sang ibu tidak berkata apa-apa, tapi memberinya hidangan besar, dan anak gadisnya masih menangis tanpa henti.
Sang ayah kembali bertanya, “Di mana anakku? ‘
‘Oh,’ jawab istri, ‘Ia pergi ke seberang untuk mengunjungi pamannya, dan akan tinggal di sana beberapa waktu.’
“Untuk apa dia pergi kesana? Dan ia bahkan belum pamit kepada saya! ‘
“Yah, dia suka berada di sana, dan dia bilang bahwa dia harus pergi selama enam minggu. Dia juga tampak betah di sana.”
“Saya merasa sangat tidak senang akan hal itu,” kata suaminya, “Hal itu tidak benar, dan ia harus mengatakan selamat tinggal kepada saya!”
Kemudian suaminya melanjutkan makan malamnya, dan berkata, “Gadis kecil anakku, mengapa kau menangis? Saudaramu akan segera kembali.” Lalu ia meminta istrinya untuk memberikan pudingnya lebih banyak lagi, dan saat ia makan, ia melemparkan tulang di bawah meja.
Anak perempuannya naik ke atas dan mengambil saputangan sutra yang terbaik dari laci bawah, dan dengannya dia membungkus semua tulang dari bawah meja kemudian membawanya ke luar, dia melakukan semua itu dengan menangis.
Lalu ia meletakkannya di atas rumput hijau di bawah pohon jinten saru, dan dia melakukannya dengan tidak terburu-buru, maka semua kesedihannya tampaknya meninggalkannya, sehingga dia tidak menangis lagi.
Setelah itu pohon jinten saru mulai bergerak, dan cabang-cabang melambai belakang dan ke depan seperti seseorang bertepuk tangan kegirangan. Lalu kabut datang menyelimuti pohon, dan di tengah-tengah itu ada cahaya seperti api, dan dari sana terbanglah burung yang indah naik tinggi ke udara, bernyanyi merdu, dan akhirnya pohon jinten saru berdiri di sana seperti sebelumnya, dengan saputangan sutra dan tulang yang telah hilang.
Sang gadis sekarang merasa tenang dan bahagia seakan adiknya masih hidup, dan dia kembali ke rumah dan duduk riang ke meja dan kembali makan.
Burung itu terbang dan hinggap di rumah seorang tukang emas dan mulai bernyanyi:
“Ibuku membunuh anak kecilnya,
Ayahku sedih ketika aku pergi,
Adikku mencintaiku dengan cinta terbaik,
Dia meletakkan selendang di atasku,
Dan mengambil tulang-tulangku dan membaringkanku,
Di bawah pohon jinten saru
Cuit, cuit, betapa aku adalah burung yang indah!”
Tukang emas itu sedang di bengkel membuat rantai emas ketika ia mendengar nyanyian burung di atas atap rumahnya. Dia pikir nyanyian itu begitu indah sehingga ia bangkit dan berlari keluar, dan saat ia melewati ambang pintu ia kehilangan salah satu sandalnya.
Namun ia tetap berlari ke tengah jalan, dengan sepatu di satu kaki dan kaus kaki di kaki yang lain, masih memakai celemek, dan masih memegang rantai emas serta penjepit di tangannya. Ia berdiri menatap burung itu, sementara matahari bersinar cerah di atas jalan.
‘Wahai Burung,” Katanya, “Betapa indahnya nyanyianmu itu! Nyanyikan untukku lagu itu lagi.”
“Tidak,” kata burung itu, “Aku tidak menyanyi dua kali tanpa mendapat apa-apa. Berikan aku rantai emas, dan aku akan bernyanyi lagi. ‘
“Ini adalah rantainya, ambillah!” Kata tukang emas.
Burung itu terbang ke bawah dan mengambil rantai emas dengan cakar kanannya, lalu ia hinggap lagi di depan tukang emas dan bernyanyi :
“Ibuku membunuh anak kecilnya,
Ayahku sedih ketika aku pergi,
Adikku mencintaiku dengan cinta terbaik,
Dia meletakkan selendang di atasku,
Dan mengambil tulang-tulangku dan membaringkanku,
Di bawah pohon jinten saru
Cuit, cuit, betapa aku adalah burung yang indah!”
Kemudian ia terbang menjauh, selanjutnya hinggap di atap rumah seorang tukang sepatu dan bernyanyi :
“Ibuku membunuh anak kecilnya,
Ayahku sedih ketika aku pergi,
Adikku mencintaiku dengan cinta terbaik,
Dia meletakkan selendang di atasku,
Dan mengambil tulang-tulangku dan membaringkanku,
Di bawah pohon jinten saru
Cuit, cuit, betapa aku adalah burung yang indah!”
Pembuat sepatu yang mendengarnya, melompat dan berlari keluar dengan pakaian kerjanya, berdiri menatap burung di atap dengan tangan di atas matanya untuk menjaga dirinya dari sengatan sinar matahari.
‘Wahai Burung,” Katanya, “Betapa indah nyanyianmu!” Kemudian ia memanggil istrinya. “Istriku, keluar! Ada burung yang sangat indah, mari lihat dan dengarkan ia menyanyi.” Kemudian ia memanggil anak-anaknya, dan mereka semua berlari di jalan untuk melihat burung itu, dan melihat bagaimana indah rupanya dengan warna bulu merah dan hijau, leher seperti emas mengkilap, dan mata seperti dua bintang terang di kepalanya.
“Wahai Burung,” Kata tukang sepatu, ‘nyanyikan lagu itu lagi.”
“Tidak,” kata burung itu, “Aku tidak menyanyi dua kali tanpa mendapat apa-apa. Berikan aku sepasang sepatu yang indah, dan aku akan bernyanyi lagi. ‘
‘Istriku!’ kata pria, ‘Pergilah ke loteng, di rak bagian atas kamu akan melihat sepasang sepatu merah, bawa mereka kepada saya. “Istri pergi dan mengambil sepatu.
“Ada, wahai burung,” Kata tukang sepatu itu, “sekarang nyanyikan saya lagu itu lagi.”
Burung itu terbang ke bawah dan mengambil sepatu merah dengan cakar kirinya, kemudian ia kembali ke atap dan bernyanyi:
“Ibuku membunuh anak kecilnya,
Ayahku sedih ketika aku pergi,
Adikku mencintaiku dengan cinta terbaik,
Dia meletakkan selendang di atasku,
Dan mengambil tulang-tulangku dan membaringkanku,
Di bawah pohon jinten saru
Cuit, cuit, betapa aku adalah burung yang indah!”
Setelah itu, sang burung kembali terbang menjauh. Dia memiliki rantai di cakar kanannya dan sepatu di kirinya, dan ia terbang langsung ke pabrik, dan pabrik sedang berbunyi ‘Klik klak, klik klak, klik klak.’ Di dalam pabrik itu ada dua puluh orang buruh yang memotong batu.
Burung itu hinggap di pohon di depan pabrik dan bernyanyi :
“Ibuku membunuh anak kecilnya,
maka salah satu dari buruh tersebut meninggalkan pabrik dan keluar,
Ayahku sedih ketika aku pergi,
dua buruh tersebut meninggalkan pabrik dan keluar mendengarkan,
Adikku mencintaiku dengan cinta terbaik,
kemudian empat buruh mengikuti,
Dia meletakkan selendang di atasku,
Dan mengambil tulang-tulangku dan membaringkanku,
sekarang hanya ada delapan buruh di tempat kerja,
Di bawah
dan sekarang hanya lima,
Pohon jinten saru
dan sekarang hanya satu,
Cuit, cuit, betapa aku adalah burung yang indah!”
kemudian semua buruh meninggalkan tempat kerjanya.
‘Wahai Burung,” Katanya, “Betapa indahnya nyanyianmu itu! Nyanyikan untukku lagu itu lagi.”
“Tidak,” kata burung itu, “Aku tidak menyanyi dua kali tanpa mendapat apa-apa. Berikan aku batu kilangan, dan aku akan bernyanyi lagi. ‘
Kata orang itu, ‘Kamu akan memilikinya.”
“Ya, ya,” kata yang lain, “jika ia akan menyanyi lagi, dia bisa memilikinya.”
Burung itu turun, dan semua dua puluh buruh pabrik mengangkat batu itu dengan balok; maka burung meletakkan kepalanya melalui lubang dan mengambil batu dengan lehernya, dan terbang kembali dengan itu ke pohon yang berada di depan pabrik.
“Ibuku membunuh anak kecilnya,
Ayahku sedih ketika aku pergi,
Adikku mencintaiku dengan cinta terbaik,
Dia meletakkan selendang di atasku,
Dan mengambil tulang-tulangku dan membaringkanku,
Di bawah pohon jinten saru
Cuit, cuit, betapa aku adalah burung yang indah!”
Dan ketika ia selesai lagunya, ia mengembangkan sayapnya, dan dengan rantai di cakar kanannya, sepatu di kiri, dan batu kilangan lehernya, dia terbang langsung ke rumah ayahnya.
Ayah, ibu, dan anak gadisnya sedang menikmati sarapan mereka.
‘Betapa senang saya merasa,’ kata ayah, “saya sangat gembira dan ceria. ‘
“Dan aku,” kata ibu, “Aku merasa sangat tidak nyaman, seakan badai besar akan datang.”
Tapi sang gadis masih duduk menangis dan menangis.
Kemudian burung itu terbang menuju rumah mereka dan hinggap di atap.
“Saya merasa sangat senang,” Kata ayah, dan betapa indah sinar matahari! Aku merasa seakan-akan saya akan melihat seorang teman lama lagi. “
‘Ah!” Kata sang istri, ‘dan aku merasa sangat gelisah, aku merasa seolah-olah ada api di pembuluh darahku.’ dan dia merobek bajunya. Sedangkan sang gadis duduk di sudut dan menangis, hingga piring di atas lututnya basah dengan air matanya.
Burung itu sekarang terbang ke pohon jinten saru dan mulai bernyanyi:
“Ibuku membunuh anak kecilnya,
Sang ibu menutup mata dan telinganya, dia mungkin tidak melihat dan mendengar apa-apa, tapi ada suara menderu di telinganya seperti itu dari badai yang sangat dahsyat, dan matanya serasa terbakar dan berkedip seperti kilat :
Ayahku sedih ketika aku pergi,
‘Lihatlah, ibu,’ kata suaminya, ‘di burung indah yang bernyanyi begitu merdu, dan betapa hangat dan cerah sang mentari!’
Adikku mencintaiku dengan cinta terbaik,
Sang gadis meletakkan kepalanya di atas lututnya dan menangis.
“Aku harus pergi ke luar dan melihat lebih dekat burung itu” katanya.
‘Ah, jangan pergi! “Teriak istri. “Saya merasa seolah-olah merasa seluruh rumah terbakar!’
Tapi suaminya pergi dan melihat burung tersebut.
Dia meletakkan selendang di atasku,
Dan mengambil tulang-tulangku dan membaringkanku,
Di bawah pohon jinten saru
Cuit, cuit, betapa aku adalah burung yang indah!”
Lalu burung itu menjatuhkan rantai emas ke arah leher sang suami, sehingga mendarat persis di lehernya menjadi kalung.
Dia masuk ke dalam, dan berkata, ‘Lihat, burung yang indah itu telah memberi saya rantai emas yang indah ini!’
Tapi sang istri begitu takut dan jatuh ke lantai hingga penutup kepalanya terjatuh.
Kemudian burung itu mulai menyanyi lagi:
“Ibuku membunuh anak kecilnya,
“Ah aku!” Seru istri, “Jika saya berada seribu kaki di bawah bumi, saya mungkin tidak akan mendengar lagu itu.”
Ayahku sedih ketika aku pergi,
Maka wanita jatuh lagi seolah-olah mati.
Adikku mencintaiku dengan cinta terbaik,
‘Baiklah’ kata si anak perempuan, ‘Aku akan pergi keluar juga dan melihat apakah burung akan memberikanku sesuatu. “
Jadi dia pergi.
Dia meletakkan selendang di atasku,
Dan mengambil tulang-tulangku dan membaringkanku,
dan ia melemparkan sepatu padanya,
Di bawah pohon jinten saru
Cuit, cuit, betapa aku adalah burung yang indah!”
Dan dia sekarang merasa cukup senang dan lega, ia mengenakan sepatu dan menari serta melompat dengannya. “Saya sangat sedih,” katanya, “namun ketika saya keluar, kesedihan itu sirna. Memang burung yang indah, dan dia telah memberi saya sepasang sepatu merah.’
Kini ibunya muncul, dengan rambutnya berdiri keluar dari kepalanya seperti nyala api. “Aku akan pergi keluar juga” Katanya, “Dan melihat apakah itu akan meringankan penderitaan saya, karena saya merasa seolah-olah berada di akhir dunia.”
Tapi saat ia melewati ambang pintu, “Brukk!” Sang burung melemparkan batu kilangan di kepalanya, dan ia meninggal.
Suami dan putrinya mendengar suara dan berlari keluar, tapi mereka hanya melihat kabut dan api dan api naik dari tempat itu, dan ketika semuanya telah berlalu, muncullah saudara laki-lakinya, ia meraih tangan ayah dan saudara perempuannya. Kemudian mereka bertiga bersukacita, dan masuk ke dalam bersama-sama dan duduk untuk kembali menyantap sarapannya.