Siapa yang tidak ingin mendapat doa dari orang lain? Saya juga ingin sekali didoakan oleh orang lain. Apalagi jika yang mendoakan saya adalah mereka yang sedang berada di tanah suci.
Namun saya tidak tahu tepatnya sejak kapan, saya sudah tidak lagi meminta orang lain untuk mendoakan saya. Apalagi setelah saya melihat banyak orang-orang yang sepertinya memanfaatkan kegiatan ‘mendoakan’ orang lain sebagai sesuatu yang menguntungkan mereka.
Bagaimana kekuatan mendoakan orang lain justru menjadi sesuatu yang mendapatkan celah yang dapat orang lain ‘salah gunakan’?
Beberapa orang mungkin akan menyangkal hal ini dan berkata, ‘udah, aminin aja’. Tetapi bagi saya, tidak semudah itu.
Kita mungkin pernah tahu bahwa beberapa pengguna, khususnya dari negara kita, mudah untuk terpengaruh oleh sebuah postingan yang mengundang pemirsanya berkomentar.
Misalnya, dulu sempat di Facebook beredar banyak postingan yang menaruh gambar aneh atau mencekam, misalnya ada foto ular yang siap menerkam mangsanya, atau foto kucing berkaki lima. Tak jarang gambar-gambar tersebut adalah hasil dari rekayasa.
Si pemosting memberikan keterangan pada foto tersebut, “Ketik 5 dan lihat apa yang terjadi!”
Bum! Hasilnya adalah pengguna-pengguna lugu yang kemudian membanjiri komentar si pemosting dengan angka “5”. Jumlah komentarnya bisa tembus puluhan ribu.
Algoritma Facebook kemudian memprioritaskan akun yang memiliki postingan yang ramai, lalu si empunya akun menjual akun tersebut dan si pembeli mulai berkampanye karena akunnya sudah mendapatkan prioritas dari Facebook.
Terima kasih kepada orang-orang lugu yang dengan mudahnya terpengaruh dan termanipulasi, yang telah ikut meramaikan postingan-postingan macam itu.
Begitu pun dengan postingan-postingan yang bertuliskan, “Like untuk mendoakan dan share untuk membantu kesembuhan.” dst.
Kampanye tersebut tidak pernah gagal memanipulasi orang-orang.
Pastinya ‘para marketer’ akan selalu lebih cerdas dalam mencari-cari cara untuk terus memanipulasi orang lain demi meraup keuntungan pribadi.
Saat masyarakat sudah terbuka dengan postingan-postingan yang menyuruh mereka mengetik angka tertentu untuk melihat apa yang terjadi, mereka membuat tren lainnya.
Yang pasti, ada kaitannya dengan doa, sesuai tema artikel ini.
Saya lihat banyak yang memosting kalimat doa, dan menyuruh orang lain untuk mengaminkan. Doanya pun benar-benar sesuai dengan kondisi masyarakat yang mereka tuju.
Seperti doa agar mendapat kesembuhan, terlepas dari kemiskinan, terbebas dari hutang, dan lain sebagainya.
Bum, ribuan like dan komentar ‘aamiin’ lagi-lagi kembali meledak di postingan tersebut.
Sejujurnya saya tidak lagi ‘terjebak’ dengan itu dan saya lebih memilih untuk kembali menggulir timeline media sosial saya.
Contoh lain yang saya baru sadari, ternyata saya pernah bertemu masjid yang pengurus-pengurusnya seringkali menyalahgunakan pengeras suara untuk ‘mengemis’ kepada masyarakat agar menyumbang sesuatu untuk mereka. Seperti kopi, gorengan, dan lain sebagainya.
Saya mempertanyakan, kemana uang yang berada di kotak amal masjid tersebut?
Bahkan sesekali pengurus masjid menyuruh masyarakat sekitarnya untuk kerja bakti membersihkan masjid, seakan masjid tersebut tidak memiliki marbot.
Dan saat saya mendapatkan keterangan dari seorang warga, ia dengan blak-blakan bahwa marbot masjidnya sangat malas.
Di pagi hari yang nyaman, pengeras suara masjid meraung oleh pengurus masjid itu tak henti-hentinya, meminta warga mengirimkan sedikit ‘rezeki’ mereka agar dapat mereka doakan lewat pengeras suara.
Di antara doa tersebut adalah rezeki yang terus bertambah dan tidak habis-habis, keluarga yang samawa, jauh dari bala dan musibah, serta yang semacamnya.
Sekarang siapa yang tidak ingin mendapatkan doa? Strategi seperti itu memang selalu tidak pernah gagal memanipulasi orang lain.
Mendoakan orang lain adalah sebuah perkara yang sangat mulia. Bagaimana tidak, ada hadits dari Rasulullah saw., yang bunyinya sangat ‘menggiurkan’.
“Do’a seorang muslim kepada saudaranya ketika saudaranya tidak mengetahuinya adalah do’a yang mustajab (terkabulkan). Di sisinya ada malaikat, ketika dia berdo’a kebaikan kepada saudaranya, malaikat tersebut berkata: Amin, engkau akan mendapatkan yang sama dengannya.”
(HR. Muslim no. 2733)
Meminta agar orang lain mendoakan kita itu sebenarnya tidak mengapa, yang jadi permasalahan adalah saat kita hanya menggantungkan orang lain untuk berdoa kepada kita.
Apalagi jika doa tersebut sangat tidak realistis dengan kehidupan yang mendapatkan doa.
Contohnya, beberapa orang minta agar orang lain mendoakannya supaya ia mendapatkan rezeki yang banyak, sementara ia kerap bermalas-malasan saat bekerja, jarang berimprovisasi atau melakukan perbaikan kinerja, tidak menghargai usaha dan proses untuk menggapai rezeki lebih.
Kebanyakan orang hanya bergantung dari kata “aamiin” yang mereka ucapkan lewat doa yang mereka temukan di sosial media, seakan sunnatullah tentang rezeki sudah mereka kuasai lewat koleksi ucapan ‘aamiin’ tersebut.
Bahkan yang paling parah, beberapa orang sampai luput berdoa karena mereka terlalu menggantungkan doa dari orang lain.
“Berdo’alah kepada Rabbmu dengan merendahkan diri, dengan suara yang lembut.”
(QS. Al A’raf: 55)
Padahal berdoa itu adalah sebuah ibadah yang Allah Ta’ala langsung menyuruhnya. Mengapa bukan kita sendiri yang meminta?
Mungkin sebagian orang dapat mengelak dengan alasan “bertawashul” lewat orang yang mereka anggap doanya makbul, tetapi dalam standar siapa?
Dari situs Rumaysho saya kutip:
Jika memang engkau bukan orang yang maqbul doanya (terkabul doanya), maka tentu juga doa saudaramu tidak bermanfaat bagimu.
Oleh karena itu, wajib bagimu berbaik sangka pada Allah. Janganlah engkau menjadikan antara dirimu dan Allah perantara agar orang lain berdoa pada Allah untukmu. Lebih baik jika engkau ingin berdoa, langsung mintalah pada Allah.
Terlalu sering meminta dan berharap doa dari orang lain dikhawatirkan akan termasuk perihal meminta-meminta kepada orang lain, yang mana itu bukanlah sesuatu yang Rasulullah anjurkan.
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin rah.a, beliau pernah mengutarakan,
Permintaan seseorang kepada saudaranya agar mendoakan dirinya, -perlu diketahui- bahwa di dalamnya sebenarnya terdapat bentuk meminta-minta pada manusia.
Kalau kita melihat pada sejarah yaitu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dibaiat oleh para sahabatnya, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan kepada mereka, “Janganlah kalian meminta pada orang lain sedikit pun juga (syai’an).”
Syai’an (sedikit pun) di sini adalah kata dalam bentuk nakiroh. Dalam kalimat tadi, kata nakiroh tersebut terletak dalam konteks nafi (peniadaan). Sehingga yang dimaksud sedikit pun di situ adalah umum (mencakup segala sesuatu). Inilah kaidah ushuliyah (dalam ilmu ushul).
Lagipula, seorang muslim harusnya dengan cerdas dapat membedakan mana kegiatan mendoakan orang lain yang benar-benar bermanfaat baginya, atau hanya sebagai jebakan semata.
Saya sendiri mulai menyadari kalau sudah semakin banyak doa dari orang lain yang tidak lagi saya aminkan, sekalipun teks doa tersebut sangat baik.
Berbeda jika saya memberikan sesuatu kepada orang lain, kemudian saya dengar orang tersebut dengan tulus mendoakan saya, itu sudah barang pasti saya aminkan. Tentu sebab doanya sungguh keluar dari hati, serta saya sama sekali tidak memohon agar ia mendoakan saya setelah saya memberikan sesuatu untuknya.
Intinya, seorang muslim haruslah pandai membaca konteks. Bukan hanya sekadar mendengar doa yang baik kemudian ia ‘bernafsu’ untuk mengaminkan.
Jangan sampai kita menjadi termanipulasi oleh ucapan doa dari orang-orang yang sengaja memanfaatkan kita untuk kepentingan pribadinya. Ini bukan bentuk dari berburuk sangka, melainkan kewaspadaan lewat pembacaan konteks.
Mungkin saya sudah belajar sedikit mengenai doa yang dapat saya aminkan, dan mana doa yang lebih baik saya abaikan.
Jika saya memiliki sebuah hajat, lebih baik doanya langsung keluar dari mulut saya sendiri. Saya bahkan tidak lagi berusaha menitipkan doa kepada saudara atau rekan saya yang pergi haji atau umrah.
Biarlah doa tersebut keluar dari mulut mereka sendiri, tugas saya hanya terus belajar dan berusaha yang terbaik. Jika seseorang sudah merasakan manfaat dari saya, insyaAllah mereka akan mendoakan saya tanpa saya pinta sedikit pun.
Saya sendiri alhamdulillah sudah berhasil memfilter mana masjid yang saya lirik untuk saya sisihkan sebagian rezeki saya untuk masjid-masjid tersebut. Dan pastinya saya masih akan terus belajar dan belajar.
Wallaahu A’lam Bishshawaab