Di bagian yang terakhir ini, sebagai penutup dari seri ulasan pertanyaan, “Mengapa Allah Ta’ala menguji para manusia”, saya berikan sebuah judul pamungkas.
Alasan “kembali fitrah” di sini bukanlah saya maksud dengan kembali fitri atau suci, melainkan kembali kepada fitrah kita sebagai manusia.
Justru itu mengundang kepada pertanyaan lain, bagaimana sebuah ujian dapat menyadarkan kita sebagai manusia?
Inilah yang ingin saya bahas di penghujung seri artikel bertema ujian ini.
Setiap manusia pastinya memiliki gengsi agar mendapatkan lirikan positif dari orang lain.
Tetapi sayangnya, demi mendapatkan status “orang hebat” di mata orang lain, kebanyakan dari kita lupa bahkan menyangkal salah satu atau beberapa fitur atau kodrat sebagai manusia.
Salah satu fitur atau kodrat manusia adalah kemampuannya untuk menangis, baik laki-laki maupun perempuan, baik anak-anak maupun dewasa.
Apakah menangis itu cengeng? Tergantung. Menangis karena tidak mendapatkan balon? Ya. Menangis karena masalah hidup yang terlalu berat? Tentu bukan.
Bahkan para sahabat Nabi saw., yang terkenal gagah dan piawai di medan perang, ternyata mereka adalah orang-orang yang paling mudah menangis.
Manusia itu berfitur rapuh, layaknya barang pecah belah. Bahkan Allah Ta’ala sendiri yang memberikan pernyataan ini.
Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah.
(QS. An Nisa: 28)
Dalam mengelola nafsu dan emosi, kadangkala kebanyakan kita tidak memiliki pengalaman yang cukup dan cenderung menggampangkan sesuatu.
Banyak sekali dari kita yang berpura-pura tegar, hanya karena khawatir akan mendapatkan cap lemah dari orang-orang sekitar.
Perlu kita ketahui, itu adalah anggapan toxic yang hanya berasal dari lingkungan toxic. Saran saya, hindarilah lingkungan seperti itu. Alhamdulillah saya sendiri tidak pernah mendapatkan anggapan seperti itu karena saya tipikal orang yang memilih-milih dalam bergaul.
If you want to cry, just cry. Jangan dengarkan orang-orang yang berlagak kuat karena kebanyakan mereka sudah putus asa mencari orang yang mau mendengarkan masalah mereka.
Kemudian dalam ayatNya yang lain,
Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir.
(QS. Al Maarij: 19)
Karena manusia ‘doyan’ komplain dan tidak rela dalam menerima kesulitan, Allah jelaskan dalam ayat berikutnya bahwa shalat dapat menjadi pengecualian.
Seperti yang telah saya sebutkan di bagian sebelumnya, bahwa Allah Ta’ala senang mendengarkan hambaNya yang merintih memohon kepadaNya. Sebab ini adalah bagian dari fitrah manusia di saat sulitnya.
Saya sendiri setelah mengalami beberapa ujian hidup yang bagi saya sangat berat, bahkan hingga depresi berbulan-bulan, ternyata mendapatkan sebuah hikmah yang juga perlu kita ketahui.
Para Nabi dan Rasul sekali pun, mereka pernah mendapatkan rasa takut, meski hanya berupa khawatir.
Selama ini mungkin kita diajari bahwa Nabi dan Rasul adalah sosok manusia superpower yang memiliki kekuatan yang kita sebut mukjizat. Padahal sebenarnya Nabi dan Rasul itu sendiri tidak tahu mukjizat tersebut sampai Allah Ta’ala sendiri yang beri.
Nabi Musa a.s tidak tahu jika tongkat beliau dapat membelah lautan saat beliau khawatir rombongan Firaun akan menangkap kaum Nabi Musa.
Nabi Ayyub a.s yang terkenal sabar dengan penyakit menahun beliau dan kemiskinan serta kehilangan keluarganya, ternyata ada satu titik di mana beliau mengadu kepada Allah Ta’ala.
Dan ingatlah kepada hamba Kami Ayyub ketika menyeru Tuhan-nya, “Sesungguhnya aku diganggu setan dengan kepayahan dan siksaan.”
(QS. Shaad: 41)
Nabi Yaqub a.s., beliau sering menangis sehingga membuat mata beliau menjadi putih hampir buta sebab kehilangan Nabi Yusuf a.s.
Dan Ya’qub berpaling dari mereka (anak-anaknya) seraya berkata: “Aduhai duka citaku terhadap Yusuf”, dan kedua matanya menjadi putih karena kesedihan dan dia adalah seorang yang menahan amarahnya (terhadap anak-anaknya).
(QS. Yusuf: 84)
Bahkan Nabi kita yang mulia, Muhammad saw., ternyata beliau pernah ‘depresi’ karena wahyu tak kunjung turun. Para kafir Makkah menuduh beliau saw. sudah ditinggalkan Tuhannya. Sampai ada riwayat yang mengatakan bahwa Rasulullah saw. hingga mondar-mandir gua Hira dengan harapan mendapatkan wahyu.
Dengan mengenal Nabi dan Rasul lewat jalan seperti itu, tentu itu dapat membuka batin dan wawasan kita bahwa mereka pun juga manusia, yang memiliki emosi dan rasa takut.
Hikmahnya, saat mendapatkan ujian, kita tidak lagi merasa sendirian karena sudah ada contoh dari para manusia terpilih yang mulia, bahwa mereka pun emosional seperti kita. Jadi bukan harus terus-menerus menahan emosi agar dipandang kuat sehingga hati menjadi tidak lagi dapat berempati, melainkan cara melepaskannya yang harus kita atur.
Beberapa orang yang curhat kepada saya berkata bahwa saya tidak pernah ‘menjudge’ atau menghakimi masalah mereka, padahal saya belum pernah merasakan ujian hidup mereka atau meski ujian hidup mereka bagi saya itu ringan.
Karena bagaimana pun ujian tetaplah ujian.
Kemudian terakhir, salah satu fitrah manusia adalah tidur. Allah Ta’ala sendiri yang menyediakan waktu khusus agar para manusia beristirahat yakni tidur di waktu tersebut.
“Dan adalah karena rahmat-Nya, Dia jadikan untukmu malam dan siang, agar kamu beristirahat pada malam hari dan agar kamu mencari sebagian karunia-Nya (pada siang hari) dan agar kamu bersyukur kepada-Nya.”
(QS. Al Qashash: 73)
Rasulullah saw., adalah manusia yang paling rajin shalat malam setelah tidurnya. Resepnya cukup manusiawi, Beliau saw. tidur selepas isya.
Jadi hak tidur Beliau sebagai manusia pun telah beliau penuhi.
Maka dari itu agak heran dengan sebagian orang yang menjadikan shalat tahajud sebagai tantangan, yang padahal sama sekali bukan.
Beberapa orang tidur larut malam kemudian menantang diri mereka sendiri dalam keadaan mengantuk luar biasa untuk melaksanakan tahajud. Padahal itu sangat tidak dianjurkan.
Bahkan Rasulullah saw., itu sendiri yang menyuruh umat beliau agar tidur dan tidak menyiksa diri mereka sendiri dengan rasa kantuknya meski untuk bangun shalat malam.
“Ketika salah seorang di antara kamu mengantuk dalam shalat, maka tidurlah agar dia mengetahui apa yang dibacanya.”
(HR. Bukhori)
Sayangnya, banyak orang yang menuduh orang tidur sebagai orang malas dan cenderung mengganggu tidur sebagian orang. Perlu kita ketahui, tidur dan malas adalah dua hal yang jauh berbeda.
Lihatlah negara maju yang begitu menghargai waktu istirahat seseorang. Karena tentu saja, orang tidak akan menghakimi seseorang sebagai orang malas kecuali dirinya sendiri yang benar-benar malas.
Hingga saat ini, saya tidak pernah menanggap orang tidur sebagai orang malas, bahkan cenderung berusaha tidak mengeluarkan suara saat melewati orang yang tidur, meski hanya satu orang.
Ke depan saya insyaAllah akan bagikan beberapa pengalaman ujian hidup saya dan saya akan coba bagikan juga bagaimana Allah Ta’ala pada akhirnya mengangkat ujian hidup tersebut. Ada ujian yang sebentar dan ‘ringan’, ada yang menahun tapi tidak intens, dan ada yang ‘hanya’ dalam hitungan bulan namun cukup untuk membuat saya tidak dapat bangkit dari tempat tidur.
Wallahu A’lam Bishshawaab.