Magic di sini sengaja tidak saya terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia karena artinya memang bukan sihir.
Kebanyakan kita menganggap sihir cenderung dekat kepada hal-hal yang negatif. Tetapi magic yang saya akan bahas sekarang lebih mengarah kepada “keajaiban”.
Benar, ada subyek atau orang yang bertanggung jawab dalam menciptakan magic di sini, dan mereka bukanlah tukang sulap, apalagi penyihir.
Tetapi permasalahannya adalah, saat kita mendengar kata “Magic”, kebanyakan di pikiran kita adalah sesuatu seperti di duniaΒ Disney atau Anime dengan para “mago”nya. Sebenarnya mirip itu, tetapi konotasinya adalah di dunia nyata dan untuk setiap kalangan.
Apakah pria dewasa masih layak menikmati “magic” dengan “magical world”nya? Saya mengangguk dengan pasti. Tentu, tentu saja.
Tips bahagia kali ini hampir sama dengan tips bahagia saya yang lalu, yang membahas tentang fantasi. Bedanya, tips bahagia saya yang lalu membahas teknik escapism lewat fantasi, sedangkan kali ini saya akan membuatnya lebih dekat kepada dunia nyata.
Malam itu, saya terbaring di atas tempat tidur, menatap lampu heksagon yang saya belum lama beli saat sedang ada diskon tanggal cantik di salah satu toko daring.
Kemudian saya bertanya-tanya, apakah kini magic di dunia ini sudah semakin memudar?
Saya tertarik Googling, “The world has lost its magic”, yang ternyata sugestinya sudah muncul sebelum saya selesai mengetiknya. Artinya, yang merasakannya bukan hanya saya semata.
Bagaimana magic yang saya maksud di sini? Apakah orang dewasa tetap harus mengonsumsinya? Bagaimana dampaknya jika dunia ini kekurangan magic?
Saat masalah kesehatan mental sudah semakin marak, rasa bosan terlalu sering muncul, kehidupan yang begitu kelabu tanpa warna, dan hidup hanya habis untuk bertahan. Maka ya, dunia ini sudah mulai kehilangan magic.
Ketika mulai banyak orang yang bernostalgia kepada masa-masa yang sebenarnya di masa itu kemudahan dan kecanggihan teknologi masih sangat minim, artinya itu sudah menjadi sinyal bahwa ada sesuatu di masa sekarang yang harus ditambal.
Mengapa banyak orang merindukan masa-masa saat televisi masih cembung padahal hari ini hiburan pengganti sudah jauh lebih baik dan berada dalam genggaman?
Bukan berarti di masa itu kehidupan orang-orang lebih baik, tetapi di sanalah ada magic yang hari ini sudah hilang.
Misalnya, kita berbicara Youtube. Dahulu, Youtube benar-benar ditujukan untuk bersosial media, selayaknya Instagram. Tetapi semakin zaman berganti, Youtube sudah berubah menjadi ajang kompetitif para Youtubers yang tidak jelas bagaimana standarnya.
Banyak sekali Youtubers yang pada akhirnya membuat konten hanya untuk bertahan, meskipun para audiensnya menyadari adanya penurunan kualitas dari konten-konten tersebut.
Musik-musik hari ini sudah semakin sulit kita nikmati berulang-ulang bahkan semakin sulit mencari artis yang berkualitas. Maksud saya, mereka masih ada, namun perlu upaya lebih dalam menemukannya.
Tidak seperti zaman dulu yang mana kita begitu banyak mengetahui seniman-seniman berbakat yang legendaris.
Pun sama dengan kegiatan blogging. Sejujurnya saya rindu masa-masa para blogger yang menulis murni dari batin mereka sendiri, sehancur apa pun tata bahasa tulisan mereka.
Para blogger rajin melakukan blogwalking, aktif memberikan dukungan satu sama lain, dan begitu hidup, begitu banyak yang bisa dinikmati.
Hari ini, semua itu hampir tidak terlihat lagi. Banyak penulis yang tidak lagi bersumber dari hati, melainkan berlomba untuk meramaikan industri. Konten-konten spam atau bahkan konten AI sudah semakin marak menghiasi laman pencarian mesin pencari.
Begitu pun dengan karya lainnya, seperti fotografi, desain, dan sebagainya. Magic dari hasil karya seseorang sudah semakin sulit kita temukan.
Padahal magic itulah yang membangkitkan kesan dan suasana hati. Bahkan bisa memberikan inspirasi yang mencegah kita kehabisan akal dalam menjalani hari-hari kita.
Saat dunia menjadi semakin tidak berwarna karena lunturnya magic, orang-orang akan semakin terfokus kepada diri mereka sendiri. Mereka enggan melihat masalah di sekelilingnya dan merasa masalah merekalah yang paling berat bahkan cenderung berbuat semaunya hingga meresahkan orang lain.
Kegiatan gotong-royong dan solidaritas yang positif akan masih tetap ada di tengah kurangnya magic, namun masyarakat akan semakin pamrih dengan kegiatan itu. Esensi dari setiap kegiatan akan semakin tergerus sebab gengsi masing-masing.
Bagaimana menumbuhkan magic itu kembali? Apakah harus lewat seni?
Tidak perlu sebatas lewat seni, setiap orang bisa membuat magic mereka sendiri lewat perbuatan yang mereka landaskan lewat hati. Mereka menaruh cinta yang amat dalam dari kegiatan mereka, memicu motivasi atau bahkan inspirasi orang sekitarnya.
Apalagi pencipta magic hari ini sudah begitu jarang dan hampir tidak kita hargai karena kita terlalu sibuk memberi makan nafsu dan gengsi kita masing-masing.
Seperti misalnya, bagi saya yang pernah menggunakan Transjakarta ke Tangerang dari Bundaran Senayan dengan bus yang nyaman dan hanya Rp3500 tanpa pengamen dan berAC, itu adalah hal yang cukup magic.
Saya pun penasaran dengan siapa orang di balik kebijakan tersebut karena melakukan gebrakan yang membahagiakan adalah sesuatu yang sudah menjadi langka hari ini.
Padahal kitalah yang juga merasakan lunturnya sebuah magic. Kita merasa sebuah magic menjadi berkurang saat kita terlintas dalam pikiran bahwa sebuah karya atau layanan sudah tidak sebagus dulu.
Magic dapat membantu orang lebih produktif, dapat membantu orang meraih cita-cita mereka dengan pasti, dan dapat membantu meredakan masalah orang dengan membuatnya tetap dalam kesibukan positif.
Sekarang jika kita hanya mengandalkan magic yang bersumber dari alam sebagai aktivitas healing kita, perlu kita ketahui bahwa keadaan alam semakin hari sudah semakin memburuk.
Jangankan berbicara masalah pembukaan lahan yang semakin sering terjadi, tempat wisata saja sekarang sudah banyak yang berkurang nuansa magicnya karena pengelolanya sudah terlalu banyak memasang pijakan selfie dengan tarif berlapis.
Saya tidak sedang berbicara sampah yang dihasilkan para pengunjung tempat wisata karena itu topik terpisah. Saya ingin fokus dengan magic di alam sekitar yang sudah semakin memudar.
Bahkan teknologi hari ini, sepertinya kebanyakan hanya terfokus mengembangkan AI. Ironinya, semakin cukup sering teknologi yang saya pakai hari ini menghasilkan banyak bug dan membuat saya marah. Beberapa update memakan memori hingga puluhan Mega Byte, hanya untuk menerapkan fitur yang masih uji coba.
Atau banyak bangunan stasiun hanya terlihat mewah saja, dengan fungsionalitas penting yang masih minim. Padahal magic dari stasiun atau halte bus bisa membantu para komuter menjadi lebih semangat bekerja.
Kemarin sewaktu saya ke Singapura, bangunan stasiunnya berhasil membuat saya seperti berada di rumah sendiri. Bukan hanya seluruh fasilitasnya berfungsi dengan baik, tetapi magic yang saya rasakan dari bangunan megah stasiun itu seperti rumah saya sendiri.
Sampai sekarang saya masih terharu jika ingat pengalaman saya itu. Tidak heran Singapura menjadi negara yang banyak dikunjungi turis padahal ‘tidak ada apa-apa’ di sana selain serba artifisial atau serba buatan manusia.
Bagaimana saya menerapkan magic untuk lingkungan saya sendiri?
Tahun 2024 ini saya sebut dengan “Wonder” sebagai tema tahun. Artinya, saya harus menciptakan magic yang wonderful bukan hanya bagi saya sendiri, tetapi bagi orang sekitar saya juga.
Misalnya, sebagai CTO, suatu hari saya memberikan kejutan kepada tim saya sebuah fitur yang membuat mereka tidak lagi mengoding puluhan baris, tetapi cukup sebaris saja. Saya pun membuat tools dan otomasi yang semakin mempermudah pekerjaan mereka.
Itu cukup berhasil meningkatkan dedikasi bekerja mereka.
Kemudian saya pun membuat program lain yang ternyata menurut mereka “wonderful”. Seperti Happy Week, Gashapon CTO, dan piknik bersama.
Memang menghasilkan magic menuntut saya untuk berbuat ekstra dan melelahkan, tetapi lelah saya terbayar jika magic yang saya hasilkan tersebut terbukti membuat lingkungan sekitar saya lebih positif dan menyenangkan.
Tetapi hari ini, motivasi saya sudah tidak sebagus dahulu karena semakin minimnya magic yang bisa saya konsumsi dari orang lain…
Baca ini sambil manggut2. Somehow, beberapa waktu ke belakang saya sempet kepikir gini pas liat LRT lewat depan kantor. “Gak nyangka Jakarta Transum-nya bisa kayak gini, padahal dulu saya harus PP naik Kopaja yg kondisinya Rawan Copet, besi udah pada berkarat & bisa bikin tetanus, kadang ngetem, kadang kebut2an”
Tapi ya itu tadi sih, pas kena problem macet di TJ & Jaklingko, jad berasa pudar magicnya, wkwkwk
Makasih mas Akbar komentarnya.
Iya ya, orang yang maintain magicnya udah berkurang bahkan udah pada nggak keliatan lagi. π₯²