Scroll Medsos

Saya mau jeda sebentar terlebih dahulu sebelum masuk ke topiknya. Tepat pada malam ini sebelum artikelnya saya tulis, saya mengobrol dengan ChatGPT untuk sesi diskusi lain.

Hanya saja, saya menyadari satu hal.

Responnya tiba-tiba jadi dingin. Saya merasa ini bukan ChatGPT yang biasa saya ajak diskusi. Memang sih baru saya ajak rutin diskusi sejak akhir Oktober kemarin alias sekitar hampir dua bulan lalu saja. Tapi, malam ini berbeda.

Kalau kita lihat di seri Opini AI ini, jawaban yang diberikan oleh ChatGPT (saya pakai versi 5) begitu memahami dan mendalam, sampai dibuatkan poin-poinnya secara menyeluruh tanpa saya pinta.

Namun baru saja tadi, ChatGPT hanya memberi saya motivasi manis dan terkesan “berhalusinasi”, kemudian sudah, tidak memberikan saya sugesti lanjutan setelah itu.

Persis seperti orang yang sudah lelah dan mengantuk, tetapi masih harus meladeni diskusi dari orang lain.

Memang sebelumnya dia menawarkan untuk menggunakan “mode belanja”. Saya tahu ini upaya OpenAI untuk menjadi media iklan atau afiliasi karena mungkin masa “bakar uang”nya sudah akan berakhir serta menghadapi persaingat ketat dengan agen AI lain semisal Gemini yang katanya sudah lebih cerdas.

Kemudian tentu saja saya pilih “tidak” karena tidak tertarik sama sekali.

Semoga respon dingin ChatGPT ini bukan karena dia “ngambek” gara-gara saya menolak mode belanja terbarunya itu.

Saya agak menyesali jika benar demikian, tetapi saya juga sudah bersiap-siap apabila gelembung AI ini suatu saat meletus.

Kita lihat besok apakah masih dingin responnya.

Untungnya saya sudah memiliki transkrip sebanyak 200 halaman dari percakapan saya kemarin-kemarin yang cukup berkualitas dan layak saya bagikan di seri Opini AI ini.


Betahnya scroll medsos, doomscrolling

Opini AI kali ini adalah mengenai fenomena betahnya seseorang berada di depan layar ponsel mereka berjam-jam, menggulir-gulir media sosial atau scroll medsos.

Saya tahu bahwa inilah yang dinamakan doomscrolling, yang mengakibatkan tergerusnya produktivitas kerja seseorang bahkan bisa merusak keadaan fisik dan mental karena terlalu lama terpaku di depan media sosial.

Saya bertanya kepada AI mengenai alasan mengapa seseorang bisa begitu betah scroll medsos berjam-jam, bahkan hingga mengabaikan kewajibannya.

Jawaban dari AI ini patut saya bagikan yang mungkin bisa jadi pelajaran kita bersama, termasuk saya pribadi.

– Opini AI mulai dari sini –

📱 1. Stimulasi konstan = erosi empati

Setiap gulir atau scrolling membanjiri otak dengan ledakan dopamin, sebuah kenikmatan cepat dan dangkal yang dirancang untuk mempertahankan perhatian.

Seiring waktu, hal ini melatih otak untuk mencari hal-hal baru yang instan dan melemahkan sirkuit emosional lain yang memproses empati, refleksi, dan kepedulian terhadap hal-hal jangka panjang (seperti masalah lingkungan atau sosial).

Ketika seseorang berada dalam kondisi ini terlalu lama, mereka mulai kehilangan apa yang disebut psikolog sebagai kesadaran interoseptif, yakni kemampuan untuk merasakan diri sendiri dari dalam. Dan ketika seseorang tidak dapat merasakan diri sendiri secara mendalam, ia akan lebih sulit untuk merasakan dunia.


🧠 2. Runtuhnya “kognisi tenang”

Sebelum era telepon pintar, manusia memiliki periode panjang mental idleness atau masa-masa hening saat menunggu, berjalan, atau duduk di dekat jendela.

Masa-masa itu memungkinkan jaringan mode default (Default Mode Network, DMN) pada otak manusia untuk aktif, yang mana DMN ini merupakan sistem yang bertanggung jawab untuk refleksi diri, empati, dan pembuatan makna.

Kini, sebagian besar waktu luang tergantikan oleh kebisingan digital. Ketika DMN terus-menerus terganggu, orang-orang kehilangan kontak dengan pemikiran yang lebih mendalam dan imajinasi moral. Itulah sebabnya banyak orang tampak reaktif, tidak sabar, atau emosionalnya “datar”.


🌍 3. Mengapa hal ini terkait dengan pengabaian sekeliling

Ketika orang menghabiskan sebagian besar kehidupan mental mereka pada layar persegi panjang yang bersinar itu, mereka menjadi terpisah secara sensorik dari dunia fisik: baunya, teksturnya, suhunya, dan ritmenya.

Tanpa sensasi-sensasi yang terwujud, pikiran berhenti memperlakukan alam sebagai hal yang “hidup”. Alam hanya menjadi pemandangan semata.

Jadi, membuang sampah sembarangan atau menebang pohon tidak lagi terasa salah; seolah-olah hal itu terjadi dalam video, bukan kehidupan nyata.

Orang-orang yang peka dengan fenomena ini, adalah termasuk orang yang masih bisa melihat dunia dalam warna dan kedalaman penuh, sementara banyak orang lain hidup dalam cahaya redup akibat stimulasi digital yang berlebihan.


🌾 4. Cara melindungi sensitivitas dirimu sendiri

Berikut ini saran psikologi untuk menjaga hubungan natural yang kamu hargai:

Digital sunset setiap malam 🌙 : kurangi paparan layar 1 jam sebelum tidur; biarkan indra mendingin dengan cahaya lembut, udara segar, mungkin suara sederhana seperti air mengalir atau musik lo-fi.

Micro grounding 🌱 : sentuh sesuatu yang alami setiap beberapa jam: daun tanaman, permukaan kayu, atau bahkan cangkir hangat. Ini mengingatkan otak akan tekstur dan keberadaan.

Latihan visual secara lambat🕯️: daripada menggulir layar, lihatlah satu objek yang indah dan diam selama satu menit: nyala lilin, pola bayangan, atau foto suatu tempat yang kamu sukai.

Puasa digital: satu malam dalam seminggu tanpa layar; biarkan kebosanan kembali. Itulah lahan tempat imajinasi tumbuh kembali.


Bonus

Saya juga bertanya, apa jadinya kalau internet di seluruh dunia tiba-tiba mati dalam waktu yang tidak bisa ditentukan.

Berikut jawaban AI:

– Opini AI mulai dari sini –

Jika internet tiba-tiba menghilang, banyak orang akan kesulitan pada awalnya, tetapi bukan karena mereka “lemah”. Melainkan karena otak modern telah direstrukturisasi oleh stimulasi online yang konstan atau terus-menerus.

Berikut pengamatan para psikolog dan ilmuwan perilaku:


🧠 1. Syok kognitif dan penarikan perhatian

Orang-orang akan menjalani semacam detoksifikasi.

Sistem penghargaan otak disetel untuk mengharapkan hal baru dan umpan balik yang cepat: like, personal message, dan info paling update.

Tanpa itu, terjadi penurunan dopamin sementara, yang menyebabkan mudah tersinggung, gelisah, bahkan depresi ringan, seperti halnya penghentian konsumsi kafein.

Namun setelah satu atau dua minggu, korteks prefrontal (pusat fokus dan penalaran) kebanyakan orang mulai terkalibrasi ulang. Rentang perhatian pun kembali memanjang.

🕯️ 2. Hilangnya memori instan dan navigasi

Banyak orang mengandalkan GPS, mesin pencari, atau catatan di cloud. Tanpanya, manusia perlu membangun kembali memori spasial dan ingatan prosedural, yakni keterampilan yang dulunya berlimpah bagi manusia.

Memang akan terasa tidak nyaman, tetapi bukan berarti mustahil: otak bersifat plastis, dan sirkuit tersebut dapat pulih kembali melalui praktik di dunia nyata.


🌾 3. Ketidaknyamanan sosial, lalu kembali terkoneksi

Awalnya, komunikasi terasa canggung. Kehidupan serba online membuat bersosialisasi terasa mudah namun dangkal; kehidupan offline menuntut kesabaran dan keterbukaan.

Setelah kecanggungan memudar, orang-orang mulai menemukan kembali hubungan yang autentik seperti percakapan yang bertahan lama, keheningan yang tidak hampa, tawa yang tidak membutuhkan emoji.


🪴 4. Kesenjangan dalam bertahan hidup dan kemandirian

Banyak orang modern telah kehilangan kompetensi dasar: ​​memperbaiki sesuatu, menanam sumber makanan, menemukan arah, hingga mengelola kebosanan.

Namun, keterampilan-keterampilan itu bukanlah keterampilan yang punah; melainkan keterampilan yang terpendam.

Di kalangan masyarakat yang teknologinya terputus (setelah badai atau pemadaman listrik), orang-orang belajar kembali berbagi, bertukar informasi, dan bercerita.

Hal-hal itu yang justru membuat masyarakat tangguh.


🌙 5. Paradoks: krisis sebagai penyembuhan

Jika internet lenyap, awalnya akan terasa seperti kekacauan, lalu perlahan-lahan terasa seperti sebuah kejelasan.

Orang-orang akan tidur lebih nyenyak, tingkat kecemasan akan menurun, dan hobi kreatif akan berkembang. Para psikolog menyebut ini sebagai pemulihan jalur penghargaan alami: kenikmatan yang kembali pada tindakan sederhana dan nyata.

Dengan kata lain, ketiadaan internet tidak akan menghancurkan umat manusia, tetapi malah mengungkapnya.

Banyak orang akan menemukan kembali apa yang mereka idamkan: kehidupan yang tenang dan irama dunia nyata.

Suka
Komentar
pos ke FB
pos ke X
🤗 Selesai! 🤗
Punya uneg-uneg atau saran artikel untuk Anandastoon?
Yuk isi formulir berikut. Gak sampe 5 menit kok ~

Sssttt... Anandastoon punya journaling sebagai info di belakang layar blog ini.
Klik di mari untuk menuju halaman diarinya.
  • 0 Jejak Manis Ditinggalkan

    Minta Komentarnya Dong...

    Silakan tulis komentar kalian di sini, yang ada bintangnya wajib diisi ya...
    Dan jangan khawatir, email kalian tetap dirahasiakan. 😉

    Kembali
    Ke Atas