Kata siapa mendengarkan itu sulit? Sehari-hari saya mendengarkan musik, cerita, bahkan guyonan orang lain dengan tidak ada masalah. Jadi, sulit dimananya? Apa mungkin artikel ini khusus untuk mereka yang perlu bantuan mendengar?
Perlu dicatat bahwa yang dimaksud mendengarkan di sini adalah bukan mendengarkan sesuatu yang memang sudah menjadi tugas indera pendengaran kita. Namun yang dimaksudkan adalah mendengarkan yang memiliki penghalang-penghalang khusus yang menjadikan mendengarkan itu menjadi semakin sulit. Memangnya apa itu?
Pernahkah kamu iri dengan orang-orang yang jauh lebih sukses darimu? Pengusaha-pengusaha yang bergelimpangan harta dan juga dermawan? Artis yang terkenal dan seniman yang tidak pelit ilmu? Atau posisi-posisi mengagumkan lainnya?
Jika iya, maka kamu normal. Bahkan agama sekalipun memperbolehkan untuk iri kepada orang-orang seperti itu :
“Rasulullah SAW bersabda, “Tidak boleh iri hati kecuali pada dua hal: iri terhadap orang yang dikaruniai Allah dengan harta kemudian membelanjakannya dalam kebenaran dan iri terhadap orang yang dikaruniai Allah dengan ilmu kemudian mengamalkannya dan mengajarkannya“.” (Muttafaq ‘Alaih).
Namun ada satu hal yang sangat menarik, yakni apakah mereka dapat sukses dan bahkan menjadi bermanfaat seperti itu dengan kemampuan mereka sendiri sepenuhnya? Saya yakin jawabannya tidak. Bahkan beberapa dari mereka yang sukses tadinya adalah orang-orang menengah kebawah yang diacuhkan oleh masyarakat. Lalu apa yang menjadikan mereka menjadi sangat hebat seperti sekarang?
Jawabannya sangat simpel. Salah satunya mereka selalu ‘haus’ arahan dari orang lain. Mereka mau mendengarkan nasihat dari orang lain. Maka mendengarkan seperti inilah yang sebenarnya sulit karena tersedia banyak penghalang-penghalang yang menyebabkan sebagian besar kita enggan mendengarkan petuah baik dari orang lain.
Sedari kecil banyak dari kita sedari kecil dididik untuk menjadi angkuh, meng-aku-kan diri, dan banyak mendapatkan tekanan dari orang tua dan lingkungan sekitar. Itulah yang menumbuhkan penghalang yang sangat kuat untuk dihancurkan sehingga menghalangi kita untuk mendengarkan nasihat positif dari luar. Penghalang itu bernama ego.
Sebenarnya ego diri ada pada setiap orang, namun banyak orang yang memiliki kadar ego yang terlalu tinggi hingga mereka menjadi keras kepala. Ditambah lagi, teman-teman dan lingkungan mereka juga memiliki kadar ego yang sangat buruk sehingga semakin memperkokoh ego yang dimiliki. Tentu hal ini berimbas pada sulitnya mendengarkan orang lain, bahkan inginnya selalu didengarkan orang lain.
Benar, kamu tidak dapat menilai dirimu sendiri jika memang belum menguasainya. Kamu itu sejatinya adalah apa yang dinilai oleh kebanyakan orang tentang dirimu. Bahayanya, enggan mendengarkan mereka akan berakibat pada kualitas diri yang semakin menurun, hingga akhirnya menjadikan ia sebagai seseorang yang dimusuhi dan dikucilkan.
Berikut adalah 3 tanggapan teratas kita atas penilaian orang lain
3. Masing-masing saja lah!
Kita seringkali mendengar istilah, “Kesadaran masing-masing saja.” Pertanyaannya, jika tidak disadarkan, kapan sadarnya? Sebenarnya itu hanyalah secuil ungkapan yang menunjukkan seseorang yang enggan mendengarkan orang lain. Karena dengan tingginya ego orang tersebut menganggap seseorang sama buruknya seperti dirinya.
2. Tidak perlu menilai orang lain!
Tidak perlu menilai orang lain? Yang benar? Saya justru sangat yakin orang-orang yang sering berkata seperti itu justru paling senang menilai orang lain. Memang begitulah ego yang sudah terlampau tinggi, menganggap kitalah yang selalu benar, yang lain tidak pernah tahu menahu.
1. Urus saja diri sendiri!
Yup! Ini merupakan kalimat yang paling sering diucapkan seseorang yang sudah tidak dapat mendengarkan orang lain karena tingginya ego sudah hampir tidak dapat diobati. Apalagi yang muslim, yang merasa katanya umatnya Rasulullah, beliau pernah bersabda begini,
Dan sesungguhnya termasuk dosa yang paling besar di sisi Allah adalah seseorang berkata pada rekannya : “Bertaqwalah kepada Allah”, lalu dijawab : “Urus saja dirimu sendiri“. [Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy, Al-Baihaqiy, Hanaad bin As-Sariy dalam Az-Zuhd, dll. Hadits itu dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albaaniy dalam Silsilah Ash-Shahiihah 6/188.]
Setelah membaca hadits tersebut, saya hanya dapat berkata ‘Nah loh!’ kepada orang-orang yang senang berkata seperti itu.
Selama ini orang-orang yang hanya ingin mendengarkan yang baik-baik saja. Saya akui termasuk diri saya, mungkin diri kalian juga. Hal-hal yang baik berupa pujian adalah makanan lezat bagi ego kita di mana nantinya ego tersebut jika sudah menjadi besar dan kuat akan menjadi tameng yang tangguh terhadap masuknya nasihat dan kritik positif yang datang melalui telinga kita.
Sedari awal paradigma yang mendoktrin kita telah berbicara bahwa jika seseorang menilai buruk diri kita, maka itu adalah pertanda bahwa orang tersebut adalah orang jahat yang senang mengganggu kita, makanya naluri kita dengan otomatis menjauhi orang-orang yang sebenarnya memiliki niat baik nan tulus ingin membuat diri kita menjadi jauh lebih baik lagi.
Di samping pujian yang dapat menumbuhkan ego, sifat-sifat seperti merasa diri lebih tahu, lebih berpengalaman, lebih tua, dan lebih akan yang lain-lainnya juga termasuk dari bagaimana sebuah ego dapat tertancap sempurna dalam diri manusia, ego yang terlampau besar, lagi tangguh. Dalam bahasa lain, gengsi yang sudah cukup keterlaluan.
Ada kapan saatnya kita tidak perlu mendengarkan omongan dari orang lain. Di sinilah perlu ada manajemen sendiri yang membahas masalah ini. Karena mendengarkan orang lain saja sudah sulit bagaimana dengan manajemennya?
Saya pernah membaca sebuah artikel bagus dari suatu majalah islami yang berjudul Tuli atau Tutup Telinga, yang isinya tentang bagaimana cara memanajemen dan memilah mana omongan orang lain yang harus diterima dan mana yang tidak. Secara langsung atau tidak langsung, perkataan orang lain yang satu tema dan secara terus menerus, dapat mempengaruhi prinsip atau bahkan mendoktrin kita. Di sinilah pentingnya manajemen itu.
Segala sesuatu yang bersifat menurunkan semangat, menghilangkan mimpi baik, dan menghancurkan cita-cita mulia, boleh diacuhkan. Adapun yang masih abu-abu, dapat dimintai konfirmasi dari orang yang lebih tahu. Apalagi jika nasihatnya baik, harus diterima sesakit apapun kenyataannya.
Yang terjadi sekarang ini justru kebalikannya, kita memberi nasihat baik kepada orang lain justru orang lain itu menolak mentah-mentah dengan angkuhnya sambil berbalik mengajari kita. Padahal kita sendiri sudah dengan sebaik-baiknya cara untuk menyampaikannya kepada mereka.
Coba bayangkan akan sebuah rumah yang sudah hampir rubuh, namun penghuninya enggan memperbaiki atau bahkan pindah dari rumahnya tersebut. Dia tidak mau mendengarkan orang lain yang memperingatkannya dan selalu mencari-cari celah positif dari rumahnya.
Terlebih lagi, orang-orang yang memperingatkan penghuni rumah itu justru dinasehati balik oleh sang pemilik rumah akan keadaan rumah mereka. Dia tidak tahu bahwa kondisi rumahnyalah yang jauh lebih pantas untuk diperhatikan.
Pada akhirnya, rumah itu rubuh dan pemiliknya tewas tertimpa puing-puing. Begitulah yang akan terjadi dalam diri kalian jika tidak ingin mendengarkan petuah baik dari orang lain. Karena saya cukup yakin, pemilik rumah reyot itu pernah iri dengan rumah-rumah mewah yang ditempati oleh orang lain. Namun sayang, mimpi itu tidak pernah terwujud untuk selama-lamanya.
Atau bayangkan jika ego kita sudah sekeras batu hingga telinga kita tertutup dari berbagai macam pendekatan positif dari luar. Apalagi jika batu tersebut sudah tidak dapat lagi lapuk dengan air, maka jalan satu-satunya adalah dihancurkan dengan alat.
Mendengarkan, suatu hal yang cukup mudah. Namun bagaimana jika hal yang harus didengarkan itu adalah suatu yang tidak menyenangkan? Memang tergantung, jika memang baik, sekalipun pahit, maka harus didengarkan. Karena obat yang pahit itu biasanya menyembuhkan.
—<(Wallaahu A’lam Bishshawaab)>—