Macet, iya, macet. Sebuah lagu kebangsaan yang telah lama dialunkan oleh jalan-jalan di Jakarta. Semuanya telah bahu-membahu menuntaskan masalah kemacetan tersebut yang belum selesai hingga saat ini. Hampi semua cara sepertinya sudah dikerahkan, mulai dari peraturan 3 in 1, ganjil-genap, bahkan hingga pembangunan flyover dan underpass.
Ada berapa jumlah flyover yang telah dibangun di Jakarta? Ratusan. Apakah pembangunan flyover tersebut efektif dalam menuntaskan kemacetan? Saya tidak begitu tahu, karena itulah yang akan dibahas di artikel ini.
Flyover demi flyover terus dibangun untuk memberantas sesuatu yang mereka sebut-sebut sebagai kemacetan tersebut. Pembangunannya menghabiskan dana sekian, dan sekian, kemudian mengorbankan beberapa lahan jalan selama proyek berlangsung, yang tentu saja mengakibatkan kemacetan yang lebih parah.
Keluhan pengguna jalan pun terdengar di mana-mana, berharap jalan layang yang sedang dibangun akan segera selesai dan diresmikan. Mencoba jalan baru dengan pemandangan yang tidak biasa menjadi sebuah harapan utama, sambil menerapkan peribahasa, bersakit-sakit dahulu dan bersenang-senang kemudian.
Baiklah, flyover baru menyambut para pengemudi dan pengendara untuk lewat di atasnya. Ucapan selamat tinggal pada kemacetan pun menghiasi bibir mereka. Bahkan para muda-mudi sering berhenti di tengah flyover dan menjadikan momen-momen tersebut sebagai ajang berpacaran, yang kebanyakan dilakukan di sore, atau malam hari.
Saya sejujurnya sangat terbantu dengan adanya Flyover Pancoran sisi utara karena Bus Transjakarta melewatinya untuk mampir di halte Pancoran Tugu yang tentu saja, terletak persis di atas flyover. Sehingga saya tidak perlu khawatir macet jika lewat sana disebabkan lajur bus Transjakarta tidak perlu menunggu lampu merah dan bercampur dengan kendaraan lain.
Begitu juga yang terjadi dengan flyover yang dibangun melewati rel kereta api untuk menutup perlintasan sebidang liar. Kendaraan juga tidak perlu repot-repot menunggu kereta lewat untuk menunggu perjalanan. Inilah flyover yang benar-benar sangat dibutuhkan masyarakat.
Namun semakin ke sini, saya semakin mempertanyakan reliabilitas flyover dalam menuntaskan kemacetan Jakarta.
Mengambil contoh Flyover Kuningan Sisi Selatan yang diresmikan 2015 silam, memiliki umur yang lebih muda dari flyover-flyover lain, dengan harapan para pengendara mengambil lajur atas sehingga kemacetan di perempatan Kuningan dapatΒ sedikit teratasi.
Saya naik bus Transjakarta jurusan Tanah Abang dari Pasar Minggu dan akan melewati lampu merah Kuningan di mana sudah tersedia flyover Kuningan sisi selatan jika tidak ingin terjebak di lampu merah tersebut. Sayangnya, bus Transjakarta yang saya tumpangi ternyata lewat bawah.
Hasilnya? Kemacetan justru semakin melebar. Bus tidak bergerak mulai dari Tegal Parang, dan saya memakan waktu hingga 1 jam hingga sampai ke Kuningan Barat. Padahal saat itu bukan jam sibuk. Flyovernya? Kosong. Hanya ada beberapa pengendara sepeda motor yang naik dan itupun dapat dihitung jari. Mobil yang ingin naik juga terjebak kendaraan-kendaraan yang hampir semuanya lewat bawah.
Penumpang Bus Transjakarta lainnya juga mengungkapkan nada serupa. Tingat efisiensi? Minus!
Kemudian apa? Flyover Pancoran sisi selatan? Pembangunannya bahkan melangkahi pintu tol. Jadi pengendara yang dari Pancoran yang ingin ke Tebet, Pasar Minggu, Tol Tebet, dan putar balik, harus lewat bawah yang nyata-nyata telah sempit lajurnya karena dimakan oleh flyover.
Kemudian apa? Flyover Simpang Susun Semanggi? Ok, saya akui pembangunannya cukup cepat. Saya kagum. Flyover yang membentang panjang di simpang Semanggi itu menyita banyak perhatian orang-orang. Apalagi dihiasi dengan lampu-lampu yang standar Instagram. Membuat sebuah prestasi cemerlang siapapun gubernur yang telah berhasil membangunnya.
Tapi tunggu. Flyover Simpang Susun Semanggi hanya melayani pengendara dari Cawang ke Bundaran HI dan dari Slipi ke Senayan. Kita sudah tahu bahwa rute tersebut sudah ada dari sebelum flyover dibuat. Sehingga, flyover tersebut hanya memberikan sebuah pilihan lain.
Akibatnya? Pengendara arah bundaran HI dan Senayan menjadi semakin membludak, baik dari arah putaran turunan, sekarang ditambah lagi dari flyover. Apalagi melihat flyover yang bagus dan ditambah lancar begitu apa tidak merangsang para pengendara lain untuk menjadi giat memakai kendaraan pribadi?Β Yang ujung-ujungnya semua kendaraan bertemu di satu titik.
Baik, saya ambil permisalan. Dari jalan A ke B sudah memiliki tingkat kemacetan di angka 4. Sekarang dibangunlah flyover dari jalan A ke B tanpa menghilangkan akses jalan lama. Akhirnya dari jalan A ke B yang tadinya tingkat kemacetan sudah 4, kini ditambah volume kendaraan lain yang lewat flyover baru yang tingkat kemacetannya 2. Dan akhirnya, tingkat kemacetan dari jalan A ke B menjadi 6.
Laju penurunan muka tanah Jakarta adalah 10-11 sentimeter per tahun. Artinya, lambat laun Jakarta akan tenggelam. Dampak dalam waktu dekatnya? Bisa jadi air laut akan masuk lebih jauh ke dalam daratan Jakarta dan merusak struktur air tanah yang dilaluinya dan akan mengakibatkan tidak stabilnya tanah di Jakarta. Maka, lambat laun gedung-gedung yang pondasinya tidak begitu kuat akan berada dalam posisi berbahaya.
Mengenai hal ini saya yakin pemerintah memiliki antisipasi dan AMDAL tersendiri sehingga tidak perlu terlalu khawatir. Namun terkadang, flyover yang dibangun kadang tidak diimbangi dengan pergantian tanaman yang cukup, sehingga daya serap tanah merosot. Flyover-flyover LRT, saya sedang menyorot kalian semuanya.
Bahkan pembangunan flyover dan underpass yang brutal sedikit membuat saya tidak nyaman. Karena hal tersebut tidak akan sedikit pun mengurangi kemacetan. Yang ada justru sebaliknya, menambah minat masyarakat untuk semakin menggunakan kendaraan pribadi. Yang pada akhirnya, kemacetan tetap terjadi sejak awal titik temu.
Sehingga benarlah kata orang-orang, bahwa flyover tidak memberantas kemacetan, melainkan hanya memindahkannya.
Jakarta, stop build any flyovers already! Saya tidak masalah mengenai flyover yang dibangun untuk kendaraan umum. Misal, jalan layang khusus busway atau JLKB. Atau untuk transportasi masal lainnya. Karena jika ingin mengurangi kemacetan, pembatasan kendaraan pribadilah yang harusnya dilakukan disertai dengan pendidikan berkendara.
Sebaiknya diketahui bahwa kemacetan terjadi bukan karena lajur jalan yang sempit. Lihat? Gang di depan rumahmu lancar bukan? Iya, yang menyebabkan kemacetan adalah tingginya volume kendaraan dan kurangnya etika berkendara, sedangkan lebar lajur jalan hampir tidak pernah ada hubungannya. Lihat jalan Sudirman yang sebegitu lebarnya, bahkan sebelum ada pembangunan apapun, tetap macet bukan?
Jadi apa yang harus dilakukan pemerintah untuk mengurangi kemacetan? Benar, perbagus layanan dan kualitas kendaraan umum, perbanyak armada transportasi massal, dan yang terpenting, perlakukan para pejalan kaki dan buat mereka nyaman seakan-akan mereka sedang berjalan di dalam pusat perbelanjaan atau mall.
Karena negara pembuat kendaraan kalian pun dipenuhi oleh para pesepeda dan pejalan kaki.
—<(Wallaahu A’lam Bishshawaab)>—