Gunung
oleh: anandastoon
“Tidak! Aku ingin daki gunung besok!” Aku teriak.
“Jika ibu bilang jangan, ya jangan! Percayalah, ibu lebih tahu dan lebih punya insting yang kuat mengenai anaknya!”
“Tapi ini sesekali bu! Pokoknya aku akan tetap naik gunung!” Kataku dengan keras kepala sambil membanting pintu.
“Ya sudah jika tidak ingin menurut, tanggung resikonya sendiri!” Ibuku akhirnya menyerah.
Paginya sebelum berangkat, aku sarapan dengan makanan yang telah disiapkan olehnya. Namun pagi itu berbeda, ibuku benar-benar tidak ingin bicara denganku sama sekali. Bahkan sampai aku mendatangi ambang pintu pun, ibu tetap bergeming dan sesekali melihat kepadaku kemudian menghela nafas panjang sambil kembali membuang muka. Ekspresinya, antara marah dan khawatir jadi satu.
Aku akan buktikan bahwa nalurinya itu tidak benar. Aku sudah dewasa dan mulai berkumpul dengan teman-temanku untuk mendaki gunung. Jujur, aku merasakan beratnya mendaki apalagi dengan pengalaman yang pertama kali. Namun aku yakin, perlahan tapi pasti, aku bisa sampai puncak. Teman-teman pendaki lain juga membantu menyemangati satu sama lain.
“Tuh kan! Benar! Akhirnya sampai puncak juga!” Decakku bangga.
Aku menikmati puncak gunung, dan setelah puas, esoknya mulai turun. Kali ini jalanan sepertinya tidak bersahabat. Jalanan turun lebih terjal dibandingkan dengan mendaki, ditambah, kanan kiriku adalah jurang. Berkali-kali terperosok, namun aku berusaha memastikan bahwa aku akan baik-baik saja.
Malam itu aku berhasil pulang ke rumah dan kutemui ibuku yang sedang menonton TV di ruang tamu. Dia masih membuang muka dan tidak ingin menoleh kepadaku, ekspresinya benar-benar cuek, sepertinya masih marah dari kemarin.
“Ok. Fine! Saya pun sudah sangat lelah. Yang penting saya mau langsung tidur!” Kataku sambil menuju kamarku yang masih terkunci. Aku juga sudah terlalu malas untuk sekedar mengambil kunci kamarku di atas kulkas.
Lagipula siapa yang butuh pintu? Sekarang aku dapat menembus dinding.