Indonesia berduka akibat bencana beruntun yang menimpa anggota tubuh ibu pertiwi belum lama ini. Benar, gempa Lombok dan Gempa Palu – Donggala. Bantuan mengalir dari setiap organisasi kemanusiaan, masyarakat, serta pemerintah, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Setiap pesawat TV dan sosial media selalu ramai memberitakan bencana ini siang dan malam, diiringi dengan untaian doa dari setiap belahan penjuru negeri.
Tetapi, ada hal yang selalu mengusik batin saya, setiap saya melihat beberapa gambar yang diekspos di media, apapun. Kebanyakan gambar menampilkan latar puing-puing masjid-masjid yang telah porak poranda. Saya semakin berpikir, mengapa alam bahkan sudah tidak berpihak kepada masjid?
Kemana ‘kejayaan’ masjid yang dulu pernah berhasil berjuang terutama setelah bencana hebat tsunami di Aceh 2004 silam? Berikut adalah salah satu masjid yang selamat dari bencana yang super dahsyat itu.
Adalah Masjidil Aqsha, yang sempat membuat membuat geger tentara Yahudi Israel karena masih kokoh berdiri meskipun pondasi masjid sudah mereka kosongkan. Atau Masjid Raya Tobelo, Halmahera Utara pada tahun 1999 yang tidak hangus dibakar karena ada konflik agama hebat?
Seseorang yang selamat karena berlindung di balik tabir sebuah mushala sewaktu peristiwa tsunami Aceh lalu, bercerita bahwa dirinya melihat gelombang air yang begitu tinggi terbelah dua ketika mendekati mushala tersebut. Suatu hal yang sudah bukan di lingkup nalar manusia lagi bahkan ilmu pengetahuan secanggih apa pun tidak bisa memecahkannya.
Hampir setiap kita tahu bahkan setidaknya pernah melihat banyaknya foto-foto masjid mungil yang ternyata telah dapat bertahan di tengah ganasnya bencana. Masjid-masjid tersebut tidak mengalami kerusakan kecuali dalam jumlah yang sangat sedikit.
Tetapi mengapa hal tersebut sepertinya sudah tidak berlaku lagi pada bencana-bencana besar yang muncul di kemudian hari?
Hampir sewindu lalu, saya ingat betul bahwa saya pernah menghadiri kajian subuh yang membahas masalah ini. Mengapa masjid-masjid tersebut masih berdiri? Ada apa memangnya? Sang pemberi taushiyah mengatakan bahwa, Allah ta’ala akan mengutus para malaikatNya untuk melindungi masjid yang Dia kehendaki.
Masjid-masjid yang senantiasa dimakmurkan oleh para jamaah, insyaAllah itu termasuk kategori yang dilindungi.
Begitu juga dengan pendapat orang berilmu yang saya kenal lainnya, yang menyebutkan bahwa semakin hari, cahaya di bumi semakin redup karena semakin sedikitnya orang-orang yang ingat Allah dan banyaknya maksiat yang bertebaran.
Saya berpikir, hari ini banyak orang yang jika diajak kepada jalan yang benar meskipun dengan bahasa yang baik, mereka secara terang-terangan dan dengan bangganya menolak. Bahkan mereka tak segan mengundang teman-temannya untuk ikut mencemooh para pemberi nasehat.
Benar mungkin kata penyanyi Ebiet G. Ade, dalam salah satu liriknya yang berbunyi,
Mungkin Tuhan sudah bosan,
Melihat tingkah kita,
Yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa
Allah swt., sesuai dengan firmanNya pada surat Adz-Dzaariyat ayat 56 yang berbicara tentang tujuan penciptaan jin dan manusia hanya untuk beribadah kepadaNya. Tetapi kini yang terjadi di lapangan adalah orang-orang yang menabrak syariat, semaunya, dan marah jika nama Tuhannya disebut.
Terkadang manusia memang perlu mengalami kesedihan untuk kembali ingat Allah. Mungkin itulah sebabnya Allah ‘sedikit menepuk’ Bumi untuk membuat setiap orang menyebut AsmaNya dan kembali kepada jalanNya.
Misalnya ada bantahan, “Tapi kan memang sudah proses alamnya akan terjadi retakan di antara patahan lempengan.”
Saya jawab, “Allah ta’ala lebih kuasa untuk menahannya.”
Jika kalian beriman kepada Tuhan kalian sendiri, Allah sudah jelas menurunkan firmanNya yang berbunyi,
Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.
(Al-A’raf: 96)
Tidak semua bencana terjadi atas ulah manusia secara langsung seperti banjir yang disebabkan karena pembukaan lahan hutan yang berlebihan dan sebagainya. Ada bencana yang bahkan manusia tidak dapat mengelak, bahkan gunung pun tidak. Di sinilah pentingnya memohon kepada Allah agar diselamatkan dari setiap bencana dan selalu kembali padaNya.
Ingat Pompeii di mana ketika sebagian besar masyarakatnya bermaksiat dan tidak ada atau sangat sedikit pemberi peringatan, Allah menjadikan Gunung Vesuvius mengalirkan lahar encer tanpa disertai gunung yang ‘batuk-batuk’ terlebih dahulu. Akibatnya, warga yang sedang asyik-asyiknya bermaksiat, langsung terkubur lahar sebelum mereka sempat apa-apa.
Saya pernah menulis sebuah diari yang bercerita bahwa sudah semakin jarangnya saya melihat anak-anak muda yang mengisi masjid di desa-desa. Semuanya terlena dengan temannya, kendaraannya, fasilitas internet, dan lain-lain. Saya sendiri tidak jarang melihat masjid yang jamaahnya jauh hanya lima orang hampir tanpa anak muda selain dari saya dan teman saya.
Di mana anak mudanya? Baru saya temukan banyak begitu saya telah mengambil sandal dan melangkah ke luar masjid, sibuk dengan aktivitasnya masing-masing yang sebenarnya dengan sangat mudah dapat dijeda dahulu. Menyedihkan.
Saya pernah melihat sebuah rekaman dari salah satu masjid pada gempa Lombok kemarin yang sepertinya sempat viral di media sosial, menggambarkan imam yang terus shalat ketika gempa sedang berlangsung di mana beberapa makmumnya justru kebingungan dan tunggang langgang. Bukan, bukan imamnya yang saya sorot, tetapi jumlah jamaahnya yang saya bahkan dapat saya hitung sekedip mata.
Mari introspeksi diri, dan tidak perlu menyalahkan yang lain. Sebab, daerah yang agamanya kental saja dapat terkena bencana yang maha dahsyat hanya karena warganya angkuh, merasa bangga karena daerahnya lebih agamis dari daerah yang lain. Padahal, Islam secara kelas telah mengharamkan ‘ujub atau sifat berbangga-bangga dengan diri sendiri.
Bisa jadi ada kota besar di negeri yang mayoritas muslim ini di mana di dalamnya penuh maksiat namun Allah masih menahan bencana agar tidak terjadi padanya.
Mungkin kita tidak tahu bahwa di dalam kota yang secara kasat mata bertabur kemaksiatan tersebut masih banyak orang-orang ikhlas yang menyebarkan kebaikan, memaintenance website-website yang isinya tentang kebaikan, dan sebagainya. Kita tidak bisa menilai rasa buah dari kulitnya.
Jadi berbenahlah, sampaikan kebaikan dan tahanlah kemunkaran, meski hanya membencinya, meski hanya dapat dilakukan dengan derajat iman yang paling lemah. Hari ini banyak layanan pengaduan yang dapat kalian laporkan setiap kemaksiatan kepada pihak yang berwajib.
Yang terpenting, selalu isi masjid atau berjamaah jika memang ada kesempatan. Ingat, bonus 27 derajat menanti… dan semoga daerah kalian menjadi daerah yang dilindungi Allah, tidak peduli dengan rumor bencana yang akan terjadi. InsyaAllah.
Mari, kembalikan kejayaan-kejayaan masjid seperti sediakala.
—<(Wallaahu A’lam Bishshawaab)>—