Agenda Touring Malam

urban legend by : anandastoon

Agenda Touring Malam

Sarip tidak bisa mengendarai kendaraan apa pun, namun dia sangat ingin sekali mengunjungi sebuah pantai di Pelabuhan Ratu. Sarip membicarakan hal ini kepadaku, dan aku dengan senang hati menyanggupi keinginannya karena aku dari dahulu ingin sekali ke sana namun justru tidak memiliki teman. Jauh pun tidak apa.

Sebuah hari yang berbahagia, dimulai pada malam itu. Aku menginginkan melihat matahari terbit di pantai, bukan tenggelamnya karena sudah sering aku lihat. Ini mengapa kami sepakat memulai perjalanan kami malam hari dengan sarip yang aku bonceng. Tidak mengapa sepeda motorku berjenis matik, karena memang itu yang aku miliki.

Perjalanan menuju Pelabuhan Ratu diarahkan oleh maps menuju Cikidang, yang sudah terkenal angker, gelap, dan rawan begal, terutama di kawasan kebun sawit. Aku tidak begitu takut, sedangkan aku menyuruh Sarip memelukku karena khawatir ada begal yang mengikuti dari belakang dan merampas ranselnya mengingat jalan ini sepi serta sudah pukul 12 malam lewat.

Di tengah perjalanan, aku disetop seseorang dengan memanggil kami.

Aku yakin bukan begal, karena area kebun kelapa sawit ‘tahap pertama’ sudah kami lewati dan ada warung-warung 24 jam yang berjaga. Dia adalah seorang bapak, lebih tepatnya adalah sebuah penjaga warung. Aku berpikiran positif bahwa dia tidak ada hubungannya dengan begal, namun aku berjaga-jaga jika memang ada yang harus diwaspadai.

“Bagaimana? Kau ingin istirahat sejenak?” Tanyaku kepada Sarip. Dia menyetujui.

Jadilah kami memesan kopi susu hangat karena memang udara yang dapat dikatakan cukup dingin. Si bapak setelah itu keluar dari ruangannya dan menghampiri kami.

“Mohon maaf tadi aku memberhentikan kalian secara tiba-tiba.” Ucapnya diwarnai dengan desahan.

“Ada apa pak? Bapak terlihat khawatir seperti itu?” Tanyaku kembali.

“Untung kalian berhenti. Aku sedang kebetulan melihat kalian yang sepertinya bukan orang sini. Boleh aku ceritakan sesuatu?”

Aku dan Sarip mengangguk.

“Sudah sejak lama, beberapa rombongan touring beristirahat di warung ini. Aku kemudian bercerita bahwa di depan ada jalan yang sebaiknya tidak dilalui. Mungkin itu terlihat seperti jalan pintas dan begitu menggoda, namun tetaplah lurus dan mengambil jalan utama.”

“Sudah lelah aku baca berita mengenai rombongan hilang di daerah ini karena mereka tidak mendengarkan aku. Kebanyakan adalah rombongan touring malam seperti kalian ini. Tidak ada yang keluar dengan selamat, kecuali sedikit. Aku bahkan tidak tahu apa yang ada di dalam itu.”

“Sebentar pak.” Aku menyanggah. “Apa itu artinya banyak begal pembunuh bersarang di sana?”

“Bisa jadi. Namun aku sampai sekarang tidak berani melihat ke sana karena aku sendiri adalah penakut.” Kata bapak itu diselingi tawa.

“Ya sudah.” Sambung si bapak, “Sekarang kalian bermalam di sini dahulu baru besok subuh lanjutkan. Kalian ingin ke Ciletuh atau Pelabuhan Ratu?”

“Pelabuhan Ratu.” Jawab kami serempak.

“Oh sudah dekat. Tidurlah.”

Si bapak kemudian meninggalkan kami dan kami mulai tidur di alas bambu yang memang telah disediakan. Hanya diterangi dengan lampu pijar kuning dan air toilet yang sangat dingin, serta suara jangkrik yang membuat melodi malam menjadi khas, diiringi suara kendaraan yang sesekali lewat menembus kegelapan, mimpi kami dimulai.

Menjelang subuh, kira-kira pukul setengah 4, aku terbangun. Aku begitu menggebu-gebu untuk melanjutkan perjalanan dan kunyalakan mesin kendaraanku. Aku memanggil Sarip dengan mulut berasap karena dinginnya dan dia kemudian menghampiriku serta mulai naik kendaraanku. Perjalanan kami dimulai kembali.

Benar, di tengah jalan gelapnya perkebunan sawit yang kami masuki kembali, aku menemukan arah belok yang bertuliskan Pelabuhan Ratu tertancap di atas tanah. Papan arah tersebut mengarah ke sebuah jalanan yang juga gelap, namun tidak sempit.

Aku menjadi semakin penasaran dan abai dengan peringatan si bapak penjaga warung, masalah begal, aku sudah bersabuk hitam. Aku tak lupa dengan pisau yang aku taruh di kantung depan di sepeda motorku. Kami mulai masuk ke jalan tersebut dan turun dengan sedikit pelan.

Semakin jauh, aku baru sadar bahwa itu bukanlah kebun kelapa sawit lagi melainkan hutan belantara dan jalanan dari aspal sudah menjadi bebatuan.

Aku agak kaget dengan apa yang disorot lampu kendaraanku kini…

Sebuah helm full face. Aku semakin mendekat untuk meyakinkan diriku sendiri. Helm-helm semakin banyak bertebaran di jalanan. Beberapa bahkan sudah ada yang ditumbuhi lumut dan rerumputan. Aku juga menemukan berbagai macam sepeda motor sport yang sudah terbengkalai. Seperti sebuah buangan yang tidak pernah dipakai oleh siapapun.

Tidak, helm-helm dan kendaraan-kendaraan itu masih dalam kondisi utuh. Hanya… bertebaran saja di mana-mana semakin aku masuk ke dalam jalan itu. Apa yang pernah terjadi di sini? Perasaanku semakin tak enak, aku pun berhenti. Lampu kendaraanku kini kualihkan menjadi lampu jauh.

Apa yang aku lihat kini, membuatmu tidak akan percaya.

Intinya aku tidak tahu apa itu. Hanya sebuah bulatan hitam muncul dari semak-semak, yang semakin lama semakin muncul ke atas. Aku tebak itu adalah sebuah kepala, karena dua lubang hitam di dalamnya aku tebak sebagai mata, sebuah mulut tanpa bibir, sedang menganga. Aku bahkan tidak tahu di mana letak giginya.

Parahnya, ada sebuah bulatan hitam lagi muncul dari semak-semak lainnya.

Dan ada lagi…

Dan ada lagi…

DAN ADA LAGI!!! Ini waktunya untuk tancap gas dan berputar balik!

“SARIIPP! PEGANGAN PADAKU DENGAN KENCANG!!!”

Apapun itu, mereka mulai keluar dari semak-semak dengan badan pendek dan mengejar kami dengan melompat. Mereka tidak berlari, mereka melompat-lompat dengan tangan dan kaki panjangnya, dengan cepat, yang mungkin akan sampai di kepalamu tanpa kau sadari sebelumnya.

Aku tancap gas, dan sepada motor matikku tidak begitu bisa diandalkan. Mereka tambah bermunculan dari arah depan dan sampingku. Mereka berkoloni? Suara mesinku bahkan dikalahkan oleh gumaman mereka yang begitu melengking. Aku tidak peduli.

Aku tersandung sebuah batu besar di jalan yang tidak aku lihat karena aku panik.

Untung, kakiku sigap menolak tanah dan menstabilkannya lagi. Sarip memelukku semakin kencang hingga aku mulai sesak nafas dan mual. Aku terpaksa memukul tangannya sehingga dia merenggangkan sedikit pelukannya.

Aku mengebut tidak tentu arah. Di mana jalan keluarnya? Jalanan semakin bercabang dan bercabang. Aku tidak ingat ada cabang-cabang ini sebelumnya. Aku hanya menebak cepat dengan putus asa. Klakson aku bunyikan berkali-kali sebagai tanda minta tolong, namun sepertinya tidak berguna. Suara makhluk-makhluk itu semakin nyaring dan bergerombol.

Aku hanya ingin aku dan Sarip selamat. Semoga kendaraan ini tidak mogok.

Kakiku tak henti-hentinya menolak batu ke sana-sini demi menstabilkan kendaraanku yang berjalan di tengah bebatuan ini. Tanganku juga sudah lelah menjaga keseimbangan. Aku harus bertahan, kami harus selamat. Sekarang alat bantu yang kupunya hanyalah lampu sepeda motorku.

Makhluk-makhluk hitam menyeramkan itu sudah semakin dekat, bahkan spakbor roda depanku berhasil ditangkapnya. Aku dengan cepat menendangnya hingga ia terlepas dan terjatuh. Mereka mulai berusaha menangkap kami, gas sudah aku putar dengan maksimum, di mana aku mulai teriak dan klakson tetap kubunyikan terus menerus.

Aku ingat tangannya memiliki 4 jari berujung lancip. Terus berusaha mencengkeram kepala kami. Untungnya kami memakai helm.

Sampai akhirnya, ada jalanan aspal yang mulai kulalui. Apa ini? Aku mulai menanjak. Suara menyeramkan itu mulai hilang. Pemandangan sudah kembali menjadi kebun sawit.

Aku melihat kebelakang dan melihat makhluk-makhluk itu yang sepertinya memperhatikanku dari jauh. Aku baru sadar bahwa yang menjadi batas mereka adalah hutan di tengah kebun sawit ini. Kulihat langit sudah sedikit agak terang, pemandangan mulai terlihat sedikit. Jam berapa ini? Pukul 5 lewat.

Lega rasanya. Seakan pengalaman buruk tadi hanya mimpi belaka.

Tetapi aku baru sadar, Sarip tidak lagi kubonceng. Sejak kapan ini?! Aku panik. Yang ada dipikiranku adalah kembali lagi kepada si bapak penjaga warung untuk memberitahu apa yang terjadi. Dengan keringat yang bercucuran dan jantung yang sepertinya ingin lepas dari dadaku, aku pacu kendaraanku ke arah warung.

Tiba.

Si bapak berlari kepadaku begitu melihatku dan diikuti seseorang di belakangnya.

Itu Sarip.

“Sarip?! Itu kamu? Beneran?! Aku pikir kau hilang tadi!!!” Aku teriak tidak percaya.

“Dia dari tadi bersamaku.” Kata si bapak. “Apa yang terjadi?”

Sebelum aku bercerita, Sarip menyanggah terlebih dahulu,

“Aku dengar kau memanggilku. Waktu itu aku baru selesai buang air dari toilet. Kemudian aku melihatmu jalan, aku teriak kamu tidak dengar, aku hubungi pun tidak bisa.”

“Masa sih?” Aku menyangkal.

“Kau masih tidak percaya dengan ini? Kau bahkan dengan santainya membonceng sebuah makhluk hitam yang aku tidak tahu apa itu.”

Suka
Komentar
pos ke FB
pos ke X
🤗 Selesai! 🤗
Punya uneg-uneg atau saran artikel untuk Anandastoon?
Yuk isi formulir berikut. Gak sampe 5 menit kok ~

  • Sebelumnya
    Diari #9: Negeri Ini dan Dua Kubu yang Selalu Bersebrangan

    Berikutnya
    Tidak Setiap Orang Perlu Jadi Pengusaha


  • 0 Jejak Manis yang Ditinggalkan

    Minta Komentarnya Dong...

    Silakan tulis komentar kalian di sini, yang ada bintangnya wajib diisi ya...
    Dan jangan khawatir, email kalian tetap dirahasiakan. 😉

    Kembali
    Ke Atas
    Pakai tema horor