Lokasi tempat tinggal favorit saya adalah yang paling dekat dengan masjid. Alhamdulillah selama saya menempati indekos selama 3 kali pindah, semuanya benar-benar bersebelahan atau tepat berseberangan dengan masjid.
Tentu saja lokasi yang stategis ini dapat mempermudah saya ketika ingin shalat berjamaah di masjid, bahkan ketika hujan deras sekalipun saya dapat menuju masjid tanpa memakai payung.
Tetapi mengapa saya tibat-tiba menulis artikel dengan judul sekontradiktif ini? Tenang, tenang, tidak perlu alergi dengan yang namanya penista agama, saya insyaAllah bukan salah satu dari mereka.
Lagipula memang tidak baik langsung menuduh seseorang dengan sebutan penista agama padahal mungkin mereka masih belum mengerti atau hanya karena lonjakan emosi sesaat.
Atau yang lebih menakutkan, kitalah yang selama ini menjadi penista agama itu, namun kita sama sekali tidak sadar.
Ingatlah, sesungguhnya merekalah yang berbuat kerusakan, tetapi mereka tidak menyadari. (QS. 2: 12)
Lho, kok bisa? Iya, karena alih-alih kita merasa telah membela agama, justru yang kita lakukan adalah membuat citra agama menjadi sangat buruk di mata orang lain hanya karena kita terlalu mudah menilai seseorang dengan kobaran emosi dan mengabaikan tabayun, serta jauh sekali dari yang namanya kebijaksanaan.
Kembali ke permasalahan mengenai pengeras suara masjid. Saya akan mulai membahasnya di artikel ini.
Bermula dari indekos baru yang saya tempati, hari itu adalah hari pertama Ramadan di tengah wabah COVID-19, jadi saya tidak tarawih di masjid. Namun setelah tarawih di rumah, malam itu saya benar-benar tidak dapat tidur sehingga tak terasa sudah pukul dua malam dan saya tiba-tiba mulai mengantuk.
Tentu saja, alarm sahur sudah saya nyalakan dan saya telah meminum beberapa teguk air untuk berjaga-jaga jika saya terlewat sahur.
Begitu saya mulai menapaki dunia fantasi di alam mimpi, sebuah gema suara mulai terdengar. Ternyata itu berasal dari masjid sebelah yang sepertinya mulai membangunkan orang-orang untuk sahur. Jam berapa ini? Masih pukul dua dini hari, dan waktu imsak pada saat itu adalah setengah lima pagi.
Sang pembicara benar-benar membuat kegaduhan pada saat itu, membuat mata saya sulit terpejam. Belum lagi ditambah dengan topik pembicaraan tanpa arah dan bernyanyi-nyanyi di masjid hingga hampir 45 menit!
Anehnya masyarakat yang lain sepertinya sudah menjadikan ini sebagai tradisi dan menganggap wajar. Ini masih terjadi di kota-kota besar seperti Jakarta, meskipun hanya sedikit (saya yakin).
Atau sebenarnya masyarakat ada yang protes, namun mereka khawatir dicap sebagai penista agama.
Saya tidak nyaman, di masjid-masjid dekat indekos saya sebelumnya pun tradisi membangunkan sahur tetap dilakukan, namun tidak semengganggu ini.
Hingga akhirnya saya memutuskan untuk terjaga dan membuka internet mencari masalah serupa. Alhamdulillah bukan hanya saya saja yang mengalami hal ini, begitu banyak yang mengeluhkan hal serupa, ada yang muslim dan ada yang non-muslim juga, seakan membuat masjid tidaklah menjadi tepat yang mulia lagi.
Tak jarang, beberapa kasus bahkan hingga terjadi konflik antar warga, hanya karena manajemen pengeras suara yang buruk. Seakan agama yang katanya rahmatan lil ‘alamin ini tidak punya syariat untuk mengatur penggunaan suara di masjid.
Saya sadur dari situs Nahdlatul Ulama, bahwa:
Ada masjid yang memutar kaset pengajian pada Jumat pagi dengan durasi setengah sampai satu jam untuk mengingatkan masyarakat. Ada juga yang memutar kaset shalawat setengah jam sebelum subuh untuk membangunkan masyarakat. Tetapi ada juga pengurus masjid yang memutar kaset pengajian dengan durasi lebih lama dari satu jam itu.
Ada juga anggota masyarakat yang bertadarus menggunakan mikrofon. Sebenarnya tadarus atau pemutaran kaset pengajian dengan pengeras suara masjid atau mushalla untuk sejumlah keperluan tersebut boleh saja. Tetapi pemutaran kaset itu atau tadarus Al-Quran dengan durasi panjang misalnya lebih dari satu jam juga tidak baik karena dapat mengganggu orang yang memerlukan kondisi tenang.
Pemutaran kaset terlalu lama hanya membuat bising atau polusi suara hingga menggangu aktivitas sebagian masyarakat. Kebisingan atau polusi suara ini yang dilarang dalam agama. Jangankan pakai pengeras suara. Tadarus tanpa pengeras suara lalu mengacaukan konsenstrasi orang sembahyang jelas dilarang agama.
Sayyid Abdurrahman Ba’alawi menjelaskan lebih lanjut bahwa tadarus Al-Quran, zikir, atau semacamnya hingga membuat polusi suara bukan saja dilarang karena dapat mengganggu orang yang sedang bersembahyang. Semua itu dilarang dan karenanya harus dihentikan atau dikurangi volume suaranya karena dapat mengganggu sebagian orang lain bahkan mengganggu orang istirahat.
Bahkan kita dapat menukil sebuah kisah di zaman Nabi saw.,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam beri’tikaf di Masjid, lalu beliau menedengar mereka (para sahabat) mengeraskan bacaan (Al Qur’an) mereka. kemudian beliau membuka tirai sambil bersabda: “Ketahuilah, sesungguhnya setiap kalian tengah berdialog dengan Rabbnya, oleh karena itu janganlah sebagian yang satu mengganggu sebagian yang lain dan jangan pula sebagian yang satu mengeraskan terhadap sebagian yang lain di dalam membaca (Al Qur’an) atau dalam shalatnya.”
(HR. Abu Daud & Ahmad)
Hal ini pernah mengingatkan saya juga bahwa di indekos sebelumnya pernah terjadi hal serupa. Yaitu pembacaan ayat suci Al-Qur’an beberapa menit sebelum maghrib dengan volume yang tidak biasanya, begitu nyaring dan sangat mengganggu. Padahal tetangga-tetangga saya ada yang non-muslim.
Alhamdulillah hanya terjadi pada hari itu saja, dan tidak lama. Selanjutnya murottalQur’an dari masjid diputar dengan volume yang wajar.
Lalu bagaimana peraturan-peraturan negara yang mayoritasnya memang muslim seperti di Timur Tengah dalam mengatur suara-suara yang keluar dari masjid?
Para imam masjid di Saudi dilarang memasang alat echo dan alat transmutation cutting setelah muncul banyak keluhan dari masjid-masjid sekitar soal suara yang terlalu keras dari speaker eksternal sejumlah masjid. Suara yang terlalu keras dari berbagai masjid berbeda pada saat bersamaan, dilaporkan malah memicu gangguan.
Otoritas Bahrain mengimbau warga untuk melapor jika ada penggunaan speaker eksternal masjid yang terlalu keras dan mengganggu.
Artikel Gulf Insider tahun 2017 mengulas aturan yang sama. Kementerian Urusan Kehakiman dan Agama Islam Bahrain menyatakan sistem pengeras suara masjid bisa diperintahkan dicopot jika masjid yang bersangkutan menolak untuk mengecilkan volume yang dianggap mengganggu.
Ditambahkan Kepala Divisi Teknis Departemen Urusan Agama Islam UAE, Jalal Obeid, panggilan salat via speaker eksternal masjid tidak boleh melebihi 85 desibel di area permukiman. Alasannya, suara di atas 85 desibel dianggap bisa memicu kehilangan pendengaran.
Pemerintah Mesir baru memberlakukan aturan khusus untuk pengeras suara masjid sejak Ramadan tahun ini. Menteri Urusan Keagamaan Mesir, Mohammed Mokhtar Gomaa, melarang penggunaan speaker eksternal masjid saat ibadah salat dilakukan.
Di Malaysia, aturan pengeras suara masjid berbeda-beda tergantung wilayahnya. Larangan penggunaan speaker eksternal masjid untuk menyampaikan ceramah dan khotbah berlaku di Selangor.
Penggunaan speaker eksternal hanya sebatas untuk azan dan pembacaan ayat Alquran. “Ini untuk menjaga citra Islam, yang penting bagi kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan,” demikian pernyataan Dewan Kesultanan Selangor seperti dikutip New Straits Times.
Lalu bagaimana Indonesia mengatur permasalahan mengenai pengeras suara masjid?
Berpedoman pada Instruksi Direktur Jenderal Bimas 101/1978, penggunaan pengeras suara masjid pada waktu tertentu secara terperinci adalah sebagai berikut:
Waktu Subuh
a. Sebelum waktu subuh, dapat dilakukan kegiatan-kegiatan dengan menggunakan pengeras suara paling awal 15 menit sebelum waktunya. Kesempatan ini digunakan untuk membangunkan kaum muslimin yang masih tidur, guna persiapan shalat, membersihkan diri, dan lain-lain
b. Kegiatan pembacaan ayat suci Al-Qur’an dapat menggunakan pengeras suara keluar. Sedangkan ke dalam tidak disalurkan agar tidak mengganggu orang yang sedang beribadah di masjid
c. Adzan waktu subuh menggunakan pengeras suara keluar
d. Shalat subuh, kuliah subuh, dan semacamnya menggunakan pengeras suara (bila diperlukan untuk kepentingan jama’ah) dan hanya ditujukan ke dalam saja
Waktu Dzuhur dan Jum’at
a. Lima menit menjelang dzuhur dan 15 menit menjelang waktu dzuhur dan Jum’at diisi dengan bacaan Al-Qur’an yang ditujukan ke luar
b. Demikian juga suara adzan bilamana telah tiba waktunya
c. Bacaan ahalat, do’a pengumuman, khutbah dan lain-lain menggunakan pengeras suara yang ditujukan ke dalam
Ashar, Maghrib, dan Isya
a. Lima menit sebelum adzan dianjurkan membaca Al-Qur’an
b. Saat datang waktu shalat, dilakukan adzan dengan pengeras suara ke luar dan ke dalam
c. Sesudah adzan, sebagaimana lain-lain waktu hanya menggunakan pengeras suara ke dalam
Takbir, Tarhim, dan Ramadhan
a. Takbir Idul Fitri, Idul Adha dilakukan dengan pengeras suara ke luar
b. Tarhim yang berupa do’a menggunakan pengeras suara ke dalam dan tarhim dzikir tidak menggunakan pengeras suara
c. Pada bulan Ramadhan di siang dan malam hari, bacaan Al-Qur’an menggunakan pengeras suara ke dalam
Upacara hari besar Islam dan Pengajian
Tabligh/pengajian hanya menggunakan pengeras suara yang ditujukan ke dalam dan tidak untuk ke luar, kecuali hari besar Islam memang menggunakan pengeras suara yang ditujukan ke luar.
Namun sayangnya, tidak tercantum bagaimana sanksi yang akan ditegakkan untuk para pelanggar. Semoga dengan jalan kekeluargaan dapat menyelesaikan permasalahan dengan cepat.
Beberapa orang yang saya lihat dari media sosial dan komentar-komentar di sebagian situs berita, mereka terlalu takut untuk melaporkan kepada anggota DKM karena khawatir dicap penista agama dan lain sebagainya oleh masyarakat sekitar.
Dan masyarakat pun sepertinya sudah begitu wajar dalam menghadapi beberapa masjid yang menggunakan pengeras suara dengan volume yang diluar batas.
Akhirnya, sebagian masyarakat yang terganggu hanya berani berkoar di sosial media. Mengapa sebagian kita begitu sulit menerima komplain dari orang-orang?
Pada dasarnya tidak ada yang meributkan suara di masjid kecuali beberapa ekstremis saja, namun beberapa pengurus masjid terkadang memang tidak menyadari bahwa volume yang keluar dari pengeras suara eksternal memang begitu keras, padahal dari dalam masjid suaranya hanya terdengar lirih. Akibatnya, dari sinilah yang kemudian menjadi pemicu salah satu penyebab ketidakharmonisan antar masyarakat bahkan antar agama.
Bahkan untuk suara Adzan pun, jika memang di antara pengurus masjid memiliki seseorang yang bersuara indah seperti di beberapa masjid yang pernah bersebelahan persis dengan rumah dan indekos saya, lebih baik selalu gunakan orang tersebut. Itu lebih baik daripada muazin yang hanya berteriak-teriak dalam azannya.
Jika tidak ada orang yang bersuara bagus pun tidak mengapa, itu hanya poin plus. Seburuk apa pun suara adzan, insyaAllah muslim masih mentolerirnya.
Yang terpenting, kita memiliki kesadaran bahwa mengganggu orang itu bukanlah bagian dari syariat Islam. Ini menjadi tantangan bagi setiap masjid agar menggunakan pengeras suara masjid dengan bijak. Tidak ada yang komplain bukannya berarti masyarakat sudah menganggap wajar, karena kita pun dilarang hanya memikirkan diri sendiri saja.
Diluar itu, saya selalu berdoa kepada Allah Ta’ala agar selalu diberikan tempat tinggal yang begitu dekat dengan masjid.
—<(Wallaahu A’lam Bishshawaab)>—
Beberapa kutipan dari Detik News, NU, dan Hukum Online