Saya belum lama baru saja bisa mengendarai sepeda motor hehe… Ya ampreettt di usia yang udah sepuh begini baru bisa motor, malu ama sincan! Saya bahkan belum sampai 20 kali mengendarai sepeda motor, namun meteran di dasbor sepeda motor saya udah tembus 2000 ka’em hahah. Iya, saya nekat ke Puncak, sampai ke Majalengka sendirian. Padahal baru aja bisa, SIM juga belom punya wahahah. *janganDitiru
Etapi, saya mau curcol dikit deh, emang betul ya, di jalan itu perasaan bawaannya maunya ngamuk terus. Lho emang kenapa? Sepanjang jalan diteriakin “Jombs” melulu ya sama pengendara lain?
Jangan gitu dong, *hiks
Bukan! Diriku yang selalu menyendiri ini serasa tersakiti. Ok, stop this non sense. Padahal saya sudah berusaha sabar tingkat dewa. Kalo saya jadi Thanos mungkin Jakarta nggak perlu lagi seorang pemerintah untuk memberantas kemacetan.
Beberapa dari kita mungkin sudah bisa menebak kalau Final Boss di jalanan mungkin emak-emak yang nyetir sen ke kanan belok ke kiri, sudah begitu kalau kita tegur mungkin akan banyak UFO yang mengarah ke wajah kita yang klimis ini. Tapi ah sudahlah, itu sudah jadi rahasia umum.
Emak-emak akan saya eliminasi dari tipe-tipe pengemudi yang selalu bikin saya mendidih kayak bensin di tangki. Lagipula cukup sering kok bapak-bapak yang nyetirnya jauh lebih menyeramkan daripada emak-emak. Emansipasi dong hahah! Lalu apa saja 5 kelakuan pengendara sepeda motor yang kalau bisa jangan perkenalkan saya kepada dukun mana pun, pokoknya jangan…
Diskusi mulai ya…
Sumpah serapah sepertinya harus menjadi lagu kebangsaan saya ketika di jalanan, yaitu saat sedang menyetir dengan aman sentosa namun salah seorang warga dari negara api dengan tiba-tiba datang menyerang!
Yup, pengendara yang tiba-tiba keluar dari gang dan langsung belok ke tengah jalan. Berapa kali kendaraan saya hampir bercipika-cipiki dengan kendaraan orang-orang begitu.
Di mana-mana orang kalau mau keluar gang itu ya pelan-pelan dulu, tengok kanan kiri, kalau kosong ya cuss, bukan justru malah tiba-tiba muncul kayak Jin Tomang dan langsung belok a la Rossi ke tengah jalan. Seakan merasa berdosa saya jika pada saat itu saya tidak membunyikan klakson.
Bukan cuma sekali-dua kali saya melihat ada pengendara sepeda motor yang menyalip saya dari kiri dan berhenti tepat di belakang sisi kanan mobil. Sudahlah mobil tersebut jalannya seperti kura-kura dalam perahu, eh pengendara sepeda motor tersebut malah asyik melototin ban kanan mobil.
Mbok ya kalau nggak mau nyalip minggir sedikit ke kiri dong… saya ingin salip mobilnya dari kanan mumpung jalanan di kanan kosong, mana nyetirnya galau lagi kadang geser kanan kadang geser kiri.
Paling sebel ketika saya mau menyalip beneran itu pengendara juga ikutan nyalip, padahal lajur jalan di sebelahnya sudah bersih dari truk dan kontener dari tadi, alias sudah siap disalip dari sejak Bang Toyib mau berangkat.
Sewaktu saya belajar sepeda motor sampai sekarang, lebih baik saya hindari yang namanya pengendara yang lagi pacaran on track. Mana pada nggak pake helm lagi, mengobrol sepanjang jalan lagi, stangnya dimain-mainin lagi.
Lagipula menghindari pengendara seperti itu mungkin lebih susah daripada emak-emak ya, kalau saya ke kanan, dia ke kanan, kalau saya ke kiri, dia ke kiri, kalau saya klakson, bisa pecah perang dunia ketiga.
Mana sebagai seorang Jombs melihat yang seperti itu sama saja membiarkan diri ini terluka lebih dalam, ingin rasanya saya tebar paku di depan bannya itu. Apalagi ketika pengendara (sang cowok) sok-sokan menunjukkan kepada si penumpangnya (si cewek) pemandangan yang seolah-olah berada di Paris, padahal sekelilingnya cuma kebon kosong.
Jauh-jauh sebelum ada wabah Coronce-SembilanBelas, praktik social distancing bahkan sudah wajib diterapkan kepada sesama pengendara khususnya kendaraan bermotor. Ya iya lah, kalau ada salah satu yang rem mendadak, seenggaknya dengan adanya social distancing bisa meminimalisir insiden ciuman massal antar kendaraan.
Yang sebel itu, dan sering pula, ketika saya sudah menerapkan social distancing dengan kendaraan lain, eh nyelonong pengendara sepeda motor mengisi kekosongan shaf di antara saya dan kendaraan lain tersebut. Jadinya super mepet deh ini jarak, moga-moga saya nggak tiba-tiba naikin gas dengan spontan.
Gaya menyetir satu tangan dengan tangan yang satunya sibuk skrol-skrol WhatsApp? Iya deh yang merasa udah jago naik motor… Tapi serius, kalau mengecek sekali dua kali nggak masalah, yang bikin benci itu kalau sepanjang jalan dia justru asyik dengan layar digitalnya itu.
Kadang nyetirnya mencong, kadang jalannya ngeblok pengendara lain yang ingin lewat dengan kecepatan standar, kadang tiba-tiba nyetirnya nggak stabil mencong-mencong, terkadang pula ingin rasanya saya begal hapenya. Padahal ada yang hapenya cuma Nokia 3310. Heeesh.
Saya sudah bak customer service dalam menerima komplain tentang kelakuan pengendara sepeda motor yang satu ini dari teman-teman saya. Ada yang komplain kalau asap rokoknya mengganggu pandangan dan menyengat ke hidung, hingga ada yang komplain kalau api dari puntungnya hampir membakar rok teman saya.
Saya tidak mengerti dengan pengendara yang sibuk merokok di atas kucing besinya. Alih-alih terlihat bak koboi teksas, yang ada malah mendapatkan sumpah serapah sepanjang jalan lepas.
Plis deh, sewaktu saya membandel ke Majalengka, kontener-kontener yang obesitas itu saja menyalakan lampu sign ke arah mereka ingin menyalip kontener lain.
Dari sana saya belajar, keren juga kalau menyalakan lampu sen kalau mau menyalip hahah. Dan saya merasa terbantu sekali setiap ingin menyalip kendaraan yang ternyata dia juga ingin menyalip duluan.
Namun, tak terhingga rasanya saya melihat banyak pengendara sepeda motor pindah lanjur seenak udelnya, terutama mereka yang merasa jalanan padat merayap seperti sirkuit balap. Masih mending kalau pindah lanjurnya sedikit, nah ini dari ujung kanan ke ujung kiri, kemudian sebaliknya, padahal jalanan sedang ramai-ramainya.
Pernah lho saya lihat pengendara lain yang sampai kaget untung masih bisa menyeimbangkan sepeda motornya.
Kalau jalan kosong sih terserah, siapa juga yang mau lihat kita pindah lajur seenak moyang kita? Kuntilanak? Bahkan mungkin hantu-hantu juga sudah memiliki sign sendiri setiap ingin berbelok ketika terbang agar tidak bertabrakan dengan hantu lainnya.
Oh iyes, saya bahkan hampir bertabrakan dengan pengendara sepeda motor yang tiba-tiba menghindari lubang seenaknya. Jadi saat banyak pengendara yang sedang berkecepatan tinggi, pengendara yang paling depan justru berbelok menghindari lubang, padahal lubangnya cuma segede lobang semut gitu loh, terobos saja bisa.
Mana beloknya yang cuma untuk menghindari lubang itu cukup melenceng jauh dari lubangnya lagi, di belakangnya ada saya yang juga lagi lumayan ngebut di kecepatan 60km/jam.
Sebel! Sebel! Sebel!
Saya mungkin sudah lelah ya dengan para pengendara khususnya sepeda motor yang sebagian besar justru nyelonong happy saat lampu lalu lintas sedang merah-merahnya. Tak jarang hanya menyisakan saya sendirian yang sedang leha-leha di tengah jalan.
Benar, pengendara sepeda motornya hanya saya saja yang berhenti di lampu merah, yang lainnya kendaraan yang rodanya lebih dari dua.
Cuma yang bikin saya sampai mau ngambil kursus bela diri sampai tahap sabuk hitam itu adalah saat banyak pengendara sepeda motor yang berbondong-bondong menerobos lampu merah padahal tidak sedikit pengendara dari sisi lain yang status jalanannya masih di lampu hijau.
Pernah saya saksikan dengan mata kepala saya sendiri seorang bapak yang melanggar lampu merah kemudian bertabrakan hebat dengan pengendara lainnya. Mau saya syukurin justru saya kasihan dengan pengendara yang satunya. Yasudalah…
Yang nyebelin? Banyak orang yang saya pernah dengar ngakunya bahkan memang benar memiliki SIM dengan cara yang legal, tidak nembak atau memakai calo, namun kelakuan menyetirnya masih mirip anak TK yang baru belajar rambu-rambu. Dilatih apa sih waktu ujian SIM? Benar-benar mencoreng citra baik orang yang udah capek-capek berkorban waktu hingga berdarah-darah demi mendapatkan SIM yang legal.