Seikhlasnya

Mungkin bagi kita yang tinggal di Indonesia, menemukan kata “seikhlasnya” di kotak-kotak sumbangan atau mendengar kata “seikhlasnya” langsung dari mulut sang peminta sumbangan bukanlah hal yang asing untuk dialami.

Beberapa kita yang dermawan memberi uang lebih, namun beberapa kita yang memang memiliki jatah kelebihan rezeki hanya Rp2000 pun memberi dengan mantap. Semua uang masuk ke dalam kotak sumbangan sesuai dengan standar keikhlasan pemberi masing-masing.

Namun bagaimana jika yang memasang kata “seikhlasnya” justru bukanlah peminta sumbangan, melainkan para penyedia jasa?

Berikut adalah percakapan saya dengan seorang supir ambulan beberapa tahun lalu.

Saya: Berapa tarifnya?

Sang supir: Seikhlasnya pak.

Saya: Berapa tarifnya? (Saya mengulangi pertanyaan)

Supir: Seikhlasnya pak. (Masih menjawab sama)

Saya: Biasanya berapa dengan yang lain?

Supir: Rp300.000 pak.

Saya: Nah begitu, bilang! Memangnya kau mau saya beri Rp10.000? Kan seikhlasnya?

Supir: Tidak mau pak (sambil tersenyum).


Kata “seikhlasnya” sebenarnya dapat menyiksa batin seseorang, karena tentu saja banyak orang yang tidak tahu standar “seikhlasnya” si penyedia jasa itu berapa. Hal ini sangat ironi mengingat si penyedia jasa juga membutuhkan uang dari customernya, namun ia justru membuat bingung sumber penghasilannya sendiri.

Di beberapa tempat wisata yang pernah saya kunjungi misalnya. Masih banyak pengelola yang benar-benar memasang tarif “seikhlasnya” kepada para pengunjungnya. Hal ini dapat membuat beberapa para pengunjung dilema. Mengapa? Sebab para pengunjung mengunjungi tempat wisata pastinya ingin memperbaiki mood mereka. Sekarang bagaimana suasana mereka akan lebih baik jika uang yang mereka keluarkan seikhlasnya justru akan mendapatkan muka masam dari pengelola?

Pada akhirnya, beberapa pengunjung lebih memilih untuk mengunjungi tempat wisata yang pelayanannya jauh lebih baik meskipun harus merogoh kocek lebih dalam. Jika pelayanannya ternyata sesuai, mengapa tidak?

Ketika saya tanya, alasan beberapa penyedia jasa tidak memasang tarif alias “seikhlasnya” karena mereka khawatir akan mendapatkan persepsi “getok harga” atau “pasang tarif seenaknya” kepada para pengguna. Padahal persepsi yang diterimanya akan lebih buruk jika mereka pasang tarif abu-abu.


Yang namanya penyedia jasa, pada dasarnya adalah berjualan. Dan yang namanya berjualan, harus ada akad atau kesepakatan mengenai segala sesuatunya sehingga tercapailah ridha antara penjual dan pembeli. Kata-kata “seikhlasnya” justru dapat merusak kegiatan transaksi jual beli tersebut.

Bagaimana tidak? Meskipun ditulis tarif “seikhlasnya” namun diberi Rp2000 justru mereka cemberut. Hal ini jelas merupakan pelayanan yang tidak menyenangkan kepada para pengguna jasa jika terjadi.

Padahal menyenangkan hati orang lain itu bukanlah pelajaran matematika, kimia, atau fisika. Namun ternyata masih banyak orang yang tidak mampu untuk melakukannya.

Saya tidak menerima alasan bahwa si penyedia jasa mungkin masih awam dalam melakukan bisnisnya. Mengapa ia memberanikan diri berbisnis jika belum cukup pengetahuan bisnisnya? Sedangkan para pengguna jasa pun sebagian besar tidak ingin tahu-menahu urusan si penyedia jasa karena para pengguna jasa hanya ingin pelayanan.

Toleransi yang diberikan kepada penyedia jasa yang awam dikhawatirkan akan membuatnya semakin malas menggali ilmu baru dalam berbisnis, minimal mencari kawan yang dapat diajak diskusi mengenai hal terkait, jadi bukan mencari kawan yang hanya mampu mengajaknya membicarakan orang lain.

Dunia bisnis tidaklah kejam, siapa yang mencelupkan dirinya ke sungai yang deras, maka resikonya adalah hanyut. Inilah pentingnya mencari pondasi yang dapat membantunya menyebrangi sungai-sungai bisnis yang deras, apalagi semua pondasi tersebut sudah bertebaran di internet yang dapat kita akses dari gadget kita secara gratis. Maka alasan apa lagi yang harus dilayangkan?

Cukup penyedia jasa memasang tarif wajar, lalu memberikan pelayanan hangat dan pelayanan cepat kepada para pengguna jasa. Sesimpel itu, namun masalahnya dalam praktiknya justru masih banyak yang timpang karena memang penyedia jasa tidak pernah dilatih untuk itu atau mendapatkan pengalaman seperti itu sebelumnya.

Dan padahal, dengan jargon “Orang Indonesia itu ramah-ramah”, seharusnya para penyedia jasa tidak perlu lagi didikte hanya untuk masalah pelayanan.

Sekali lagi, ironi.

Suka
Komentar
pos ke FB
pos ke X
🤗 Selesai! 🤗
Punya uneg-uneg atau saran artikel untuk Anandastoon?
Yuk isi formulir berikut. Gak sampe 5 menit kok ~

  • Sebelumnya
    Horor Pendek 43: CCTV

    Berikutnya
    Dua Dimensi #1: Lampung Selatan, Pantai Sebalang & Pantai Bagus


  • 0 Jejak Manis yang Ditinggalkan

    Minta Komentarnya Dong...

    Silakan tulis komentar kalian di sini, yang ada bintangnya wajib diisi ya...
    Dan jangan khawatir, email kalian tetap dirahasiakan. 😉

    Kembali
    Ke Atas