Kudeta militer di Myanmar membuat seluruh dunia berang. Beberapa negara bahkan mengembargo (membatasi perdagangan) hingga menjatuhi sanksi bagi panglima militer tertingginya.
Kita yang terenyuh menyaksikan gonjang-ganjing yang terjadi di salah satu negara ASEAN tersebut mempertanyakan mengapa sampai terjadi hal yang memang seharusnya di masa modern ini tidak terjadi.
Ada yang bilang bahwa apa yang dirasakan masyarakat Myanmar itu adalah ‘azab’ atas perlakuan mereka kepada para muslim Rohingya. Ada pula yang berasumsi lain. Tetapi saya tertarik untuk membahas sesuatu yang lain.
Ada tiga klasifikasi negara jika ditilik berdasarkan maju atau tidaknya negara tersebut, yakni negara maju, berkembang, dan tertinggal (developed, developing, least developed). Myanmar masuk ke klasifikasi paling akhir, yaitu masih merupakan negara tertinggal.
Salah satu hal yang paling mencolok dari negara tertinggal adalah, meskipun mereka memiliki sumber alam yang melimpah, namun sebagian besar rakyat dan pemimpinnya ‘gagal’ mengolahnya. Lebih parah lagi, justru sebagian besar penduduk negara tersebut yang menjadi musibah dan kekacauan bagi negaranya sendiri.
Kita ambil contoh kasus konflik Rohingya. Saya dan umat muslim lainnya banyak yang prihatin dan sangat menyayangkan kejadian tersebut. Tetapi kenyataannya, justru sedikit sekali negara bermayoritas muslim yang ingin mengambil bagian dalam menyediakan pengungsian bagi mereka.
Ada apa ini? Apakah kemanusiaan umat Islam sudah mati? Bukan.
Negara-negara seperti Bangladesh, Malaysia, dan termasuk Indonesia itu sendiri membuka pintu lebar-lebar untuk para pengungsi Rohingya.
Namun pada akhirnya, para pengungsi Rohingya itu sendirilah yang memberikan jawaban mengapa hampir tidak ada negara mayoritas muslim yang ingin menerima mereka.
Coba lihat jawaban Quora berikut mengenai tanggapan orang Malaysia terhadap para pengungsi Rohingya.
Atau beberapa judul berita berikut:
Setelah melihat semua itu, kita memahami mengapa Myanmar masih tergolong negara tertinggal. Dari segi akhlak atau etika, budaya ‘senggol bacok’ di negara mereka masih sangat tinggi. Bahkan konflik Rohingya itu sendiri kabarnya bermula dari kejadian sepele, saat muslim ‘bersenggolan’ dengan orang Buddha. Masing-masing tidak menerima, masing-masing berseteru hingga terjadilah tawuran akbar.
Dengan keadaan moral sebagian penduduk Myanmar yang seperti itu, bagaimana Myanmar dapat memiliki pemimpin baik-baik? Bahkan Aung Suu Kyii yang menerima nobel perdamaian pun, nyatanya belum mampu untuk menyelesaikan konflik di negaranya sendiri.
Para tentara yang dengan kejam melakukan kudeta hingga menumpahkan darah rakyatnya sendiri, itu sudah merupakan darurat moral dan pendidikan. Apalagi sudah sampai kepada tahap di mana negara-negara lain sudah mengecam.
Namun jika kita lihat kembali bagaimana keadaan moral negara tersebut, alih-alih kita terkejut dan heran, kita justru mulai memakluminya.
Apa yang dilakukan dunia sudah nyata dan benar untuk mengecam, melakukan embargo, dan memberi sanksi kepada petinggi negara tersebut. Namun sisanya, itu tidak lain tidak bukan adalah masalah internal negara Myanmar itu sendiri.
Dalam bahasa yang cukup sadis, biarlah sang rakyat merasakan moral dan perbuatan mereka sendiri. Ya, meskipun memang tidak semuanya yang bermoral rendah, namun karena sudah terlalu banyak, pada akhirnya ‘orang suci’ dan ‘orang baik’ pun ikut terkena getahnya.
Dilansir dari situs Almanhaj (or.id), sudah jelas apa yang saya yakini bahwa “pemerintah adalah cerminan dari rakyatnya”. Simak beberapa poin-poin berikut, semoga kita sama-sama belajar.
Bahkan, saya pernah mendengar langsung seorang non-muslim berkata kepada saya, “pemerintah adalah representasi dari rakyatnya”.
Berkaca dari kejadian kudeta militer di Myanmar, coba kita kembali merenungi jika kita masih mengeluhkan keadaan-keadaan pemimpin kita yang sepertinya kurang mempedulikan nasib rakyatnya.
Ingat, para pemimpin tersebut tidak semerta-merta langsung naik menjabat sebagai pemimpin, melainkan rakyatnya sendiri yang memilih mereka. Mungkin kita menyangka bahwa diri kita bukanlah orang korup, atau bukanlah orang yang menganut budaya ‘senggol bacok’. Tapi, pernahkah kita melakukan survei dan peduli kepada keadaan di sekitar kita, di luar lingkungan kita?
Coba lihat bagaimana prilaku masyarakat kita di jalanan, kelakuan itulah yang akan terbawa hingga mereka mendapatkan jabatan tinggi. Karena mungkin kita terlalu fokus kepada para oknum pemerintah korup yang sudah kelas kakap, namun kita justru jengah kepada ribuan teri di sekeliling kita yang siap menjadi kakap jika suatu saat mereka terpilih.
Ingat, watak tetaplah watak. Setinggi apa pun jabatan mereka. Sesekali mungkin kita dapat melakukan studi akhlak ke negara maju untuk melihat bagaimana moral mereka di negara mereka sendiri semisal negara-negara Eropa, Jepang, atau bahkan yang terdekat, Singapura.
Wallaahu A’lam Bishshawab