Media Massa

Saya gemar mengunjungi situs-situs berita untuk melihat apa yang sedang terjadi di dunia ini setiap harinya, terkhusus di Indonesia, negara di mana saya hidup di atasnya. Beragam peristiwa dalam berbagai bidang dari mulai politik hingga teknologi saya selami di sela-sela waktu kosong yang tersedia.

Ada salah satu situs berita favorit saya yang entah mengapa, semakin hari cara penyampaian beritanya semakin berubah. Saya menunjukkan hal ini kepada teman saya yang memang gemar menyelami situs berita serupa dan dia mulai menyadarinya.

Beberapa situs berita bahkan semakin mendapatkan citra yang campur aduk dari masyarakat di media sosialnya. Ada yang memang seolah memihak kelompok tertentu, bahkan ada beberapa judul berita yang seakan mengusik keharmonisan masyarakat dan cenderung mengkotak-kotakannya.

Ada apa? Saya tahu ini memang bukanlah hal baru. Tapi, ada apa?


  • Beda negara, beda standar

Saya pun memiliki situs berita favorit yang berasal dari luar negeri seperti The Strait Times dan South China Morning Post. Namun saya lebih cenderung menggemari untuk membaca berita-berita di The Strait Times.

Kepuasan saya dalam membaca salah satu berita di situs tersebut benar-benar terpenuhi. Cara jurnalis menuliskan beritanya sangat objektif sehingga hampir-hampir saya tidak menemukan sedikit pun kalimat opini di dalamnya. Bahkan belum pernah saya temukan judul-judul yang clickbait seperti “Melihat apa yang terjadi itu, si A bilang begini.” dst.

Masalah judul yang clickbait sebenarnya tidak masalah, selama isi berita benar-benar menjawab umpan yang telah disebutkan di judul. Namun saya pribadi sejujurnya agak malas mengklik judul berita yang bombastis tetapi sebenarnya inti beritanya hanya ada pada satu kalimat saja dari belasan alinea.

Saya pribadi juga biasanya tidak menyenangi situs berita yang mana untuk sebuah judul ringan saja, beritanya dibuat hingga empat bagian terpisah. Apalagi saat saya kebingungan untuk mencari di bagian mana inti berita yang disebutkan di judulnya, alhasil saya bersumpah tidak akan lagi mengunjungi situs berita tersebut.

Walaupun sebenarnya, saya memahami bahwa hal itu hanyalah sebuah produk dari persaingan antar situs berita.


  • Dilema pers

Ada teman saya mengeluhkan sebuah situs berita yang sepertinya banyak beritanya yang mengusik sebagian paham umat beragama. Saya berkata kepadanya bahwa untuk apa kita merisaukan hal yang seperti itu? Itu adalah bagian dari teknik pemasaran mereka. Judul bombastis, konten kontradiktif, berita yang sama yang terbagi-bagi menjadi beberapa artikel.

Biarkan saja, itu teknik marketing mereka. Tujuan mereka pastinya ingin mendapat pengunjung sebanyak-banyaknya karena salah satu pendapatan terbesar mereka adalah dari iklan digital yang terpajang di situs mereka. Makanya saya tidak heran meskipun sebenarnya saya agak terganggu dengan serangan iklan-iklan saat pertama kali saya membuka sebuah situs berita.

Saya bahkan hingga kesulitan menemukan navigasi situs karena terhalang oleh peletakan iklan-iklan yang sepertinya masing-masing tidak mau mengalah agar dapat terlihat pengunjung. Seakan-akan saya seperti baru pertama kali mengunjungi hutan belantara, dan terpaksa harus membuka jalan di hutan tersebut secara manual dengan alat-alat tradisional.

*klik klik klik klik klik (suara menebangi iklan-iklan yang menghalangi)

Berapa banyak situs berita yang selama ini kita tahu? Banyak, pokoknya. Di antara situs berita yang kita tahu ada yang dapat kita sebutkan namanya, dan ada pula yang kita hanya sebatas ingat rupa namun lupa nama.

Kemunculan situs-situs berita itu bak jamur di musim hujan. Beberapa jurnalis situs berita besar bahkan sampai ada yang mengelola situs berita mini dia sendiri.

Dan pastinya, tujuan dari semua itu adalah meraup penghasilan tambahan dari iklan-iklan digital, baik iklan otomatis dari penyedia layanan iklan, atau pun kemitraan.

Pada akhirnya banyak yang mulai menyadari, semakin hari penempatan iklan pada beberapa situs berita tersebut semakin mengganggu. Sebab saya pun menyadari, semakin ke sini, permintaan iklan sudah semakin terbagi-bagi sehingga penghasilan yang didapat oleh jasa billboard digital semakin terpecah dengan jasa billboard digital lainnya.

Siapa sangka, dulu yang sehari bisa mendapatkan Rp500.000 dari iklan, sekarang dapat Rp20.000 sehari saja sudah bersyukur.


  • Marketing yang cerdas tidak cerdas

Kembali mengenai berita-berita yang kontradiktif, yang sepertinya condong ke arah adu domba dan perpecahan. Atau sepertinya condong ke arah dukungan dan keberpihakan subjektif terhadap individu atau kelompok tertentu.

Sekali lagi, mereka hanya ingin makan. Para pengusaha atau pengelola situs berita tersebut pastinya menginginkan editor dan jurnalis mereka dapat bertahan hidup. Toh, semelenceng apa sih beritanya? Yang disampaikan pun masih tidak jauh dari fakta di lapangan. Lagipula tidak setiap hari ada berita kontradiktif seperti itu benar?

Justru di para customer situs berita itulah masalah utamanya, yang membuat berita kontradiktif itu menjadi viral dan populer. Masyarakat kita masih senang mencari berita pembenaran dan sering terjebak kepada judul-judul berita yang menjadi umpan jitu bagi para kursor untuk mengkliknya.

Jika ada yang bertanya, mengapa banyak berita kontradiktif atau keberpihakan yang dikonsumsi masyarakat kita? Jawabannya karena memang berita seperti itulah laku di sebagian besar kalangan masyarakat kita. Banyak dari kita yang justru membuat berita seperti itu mendapatkan ketenarannya. Mengapa masih bertanya?

Seandainya masyarakat sudah tidak tertarik dengan gaya berita seperti itu, maka jumlah klik pada jenis berita tersebut akan anjlok dan para pengelola situs berita tidak akan lagi memuat berita-berita seperti itu karena memang sudah menjadi kurang menguntungkan.

Bahkan ada seorang mafia situs berita yang sengaja mencari-cari kesalahan orang lain, dan jika korban telah ditemukan maka sang korban diberi pilihan apakah ingin menebus sejumlah uang agar berita negatif tentang dirinya tidak diangkat ke publik, atau sebaliknya. Seorang jurnalis pernah berbincang tentang hal tersebut kepada saya.

Ya mau bagaimana lagi, ini perihal bertahan hidup di rimba digital.


  • Kesimpulan

Semua ini hanya masalah tren dan budaya. Apa yang diusahakan itulah yang dihasilkan. Masyarakat yang sebagian besarnya menyenangi berita yang kontradiktif, maka itulah tren yang dihasilkan oleh masyarakat kita sendiri. Pada akhirnya, tren ini diolah menjadi data yang disajikan kepada para pengelola situs berita.

Semakin cerdas para pengelola situs berita dalam menangkap basis data tren yang sedang terjadi di masyarakat kita, semakin tinggi pula situs berita mereka mendapat kunjungan pelanggan, semakin besar pula mereka mendapatkan penghasilan dari iklan-iklan yang dipasang.

Di sinilah dahsyatnya ilmu statistik. Ilmu statistik yang secara brutal diaplikasikan, maka semua prediksi di masa depan akan jatuh ke tangan setiap orang lewat sang ahli yang dengan piawainya menyajikan data-data yang mudah dikonsumsi khalayak publik. Tidak heran, ilmu statistik begitu ‘mahal’ di tangan orang yang tepat.

Dengan statistik, kita tahu kira-kira berapa jumlah tren yang akan tiba di suatu periode, kita juga bisa tahu kira-kira tren apa yang akan meredup atau bahkan musnah di tahun-tahun berikutnya.

Jika kita mengeluh dengan fenomena sebagian besar media massa ini, bisakah kita sendiri yang menjadikan statistik tersebut berbicara lain?

Suka
Komentar
pos ke FB
pos ke X
🤗 Selesai! 🤗
Punya uneg-uneg atau saran artikel untuk Anandastoon?
Yuk isi formulir berikut. Gak sampe 5 menit kok ~

  • Sebelumnya
    Kudeta Myanmar dan Representasi Kerakyatan

    Berikutnya
    Peduli Disabilitas, Saat Moral Telah Menyentuh Puncak


  • 0 Jejak Manis yang Ditinggalkan

    Minta Komentarnya Dong...

    Silakan tulis komentar kalian di sini, yang ada bintangnya wajib diisi ya...
    Dan jangan khawatir, email kalian tetap dirahasiakan. 😉

    Kembali
    Ke Atas