Ah… mungkin kalian berpikir artikel ini akan membangkitkan memori tentang kenangan tahun 90an seperti nonton satu kluster kartun di minggu pagi, mencari huruf N di permen Y.O.S.A.N (saya sampai sekarang masih belum pernah dapat yang “N”nya). Bukan, bukan itu yang ingin saya tulis.
Terkadang ada beberapa hal yang saya sebenarnya lebih memilih era tahun 90an daripada zaman sekarang ini. Lho? Mengapa bisa terpikir seperti itu? Bukankah hari ini segala sesuatunya lebih mudah, lebih aman, lebih canggih, dan lebih banyak pilihan? Betul, tetapi saya hanya menyebutkan “beberapa” hal, bukan seluruhnya.
Apa saja memangnya beberapa hal yang membuat saya lebih memilih era 90-an atau sebelumnya dibandingkan sekarang?
Suatu malam, tepat beberapa hari sebelum saya ulang tahun, saya hampir setiap malam selalu menghabiskan waktu saya dengan terus-menerus melihat story dan reels Instagram, membuat saya terkadang lupa jika jam sudah menunjukkan pukul dua dinihari.
Saya kemudian terbetik sesuatu. Dahulu jauh sebelum ada media sosial, termasuk media digital seperti Youtube dan Instagram, hiburan kita kebanyakan hanya bergantung dari televisi atau melihat langsung di tempat pertunjukkan.
Saat kita benar-benar menunggu tayangan favorit kita muncul, ada momen-momen indah yang benar-benar berkesan. Sayangnya, acara favorit kita tidak berlangsung lama di televisi atau di media lainnya, paling lama mungkin satu jam rata-rata jam tayang.
Setelah itu? Kita kembali kepada aktivitas masing-masing dengan bersemangat karena jatah hiburan kita telah terpenuhi atau terbayarkan pada hari itu, atau sebagai bekal semangat di esok harinya.
Pada zaman itu setiap orang yang bekerja hampir-hampir tidak pernah terganggu dengan rasa penasaran untuk mengecek sosial media setiap lima menit sekali, dan waktu mereka kebanyakan terkelola dengan baik karena hampir tidak ada ruang dan waktu untuk tetap di layar digital sepanjang hari.
Hari ini, banyak orang yang senang menunda pekerjaan demi melihat apa yang sedang terjadi di media sosial. Orang yang sedang sibuk bekerja tiba-tiba memojokkan diri, membuka smartphonenya untuk menghabiskan waktunya dengan tidak smart di depan layar digital. Mungkin ada dari kita di sini yang menghabiskan beberapa episode di Netflix atau sejenisnya hingga sudah datang waktu malam lagi.
Berapa banyak tugas yang seharusnya selesai hari ini justru hampir-hampir tidak pernah tersentuh hingga berminggu-minggu kemudian?
Tidak heran mengapa orang tua kita zaman dulu begitu cepat mendapatkan hasil jerih payahnya sehingga mereka menikah di usia yang begitu muda dan sudah mendapatkan apa yang mungkin sekarang kita sedang impi-impikan.
Suatu hari seseorang mengadu kepada saya karena mereka melihat teman-temannya selalu pamer di media sosialnya. Saya menenangkannya dan menyuruhnya duduk untuk menghirup napas dengan bebas.
Kemudian saya katakan kepadanya, “Dengar, kita tidak pernah tahu apa yang sedang terjadi di balik glamornya dunia maya. Mungkin beberapa orang sedang khawatir apakah benda-benda yang ia banggakan tersebut tidak lagi dapat ia nikmati karena tingginya beban tunggakan cicilan.”
Hari ini, hampir semua yang tampil di dunia maya memang serba maya, agak kontras dengan pemandangan zaman dulu di mana barang-barang dan kendaraan mewah benar-benar hanya milik orang kaya saja, dan itu pun orang kaya tersebut mungkin hanya terkenal di daerahnya saja yang dapat membuat maklum orang-orang sekitarnya.
“Oh, dia memang juragan tebu.“, “Oh, memang sawahnya banyak.” Dan lain sebagianya.
Sedangkan di masa kini semuanya bahkan diperparah dengan banyaknya berita-berita bombastis yang menyebutkan penghasilan dan omzet mereka yang baru saja merintis usahanya tanpa tahu bagaimana jalan dia mendapatkan hal itu. Mungkin sebagian orang tidak mempedulikan berita tersebut, namun bagaimana dengan sisanya?
Bahkan, hal kecil seperti foto piknik yang terpampang di dunia maya dapat benar-benar mengganggu mereka yang bahkan tidak memiliki waktu untuk bepergian.
Sayangnya, banyak dari kita yang sepertinya belum siap untuk menyambut gegap gempita canggihnya teknologi dunia maya yang bahkan dapat menyamarkan siapa pengguna sebenarnya dan bagaimana keadaan yang tengah terjadi pada mereka.
Kemana senyum polos kita dahulu?
Saya pernah menyinggung hal ini di sebuah postingan yang membeberkan alasan mengapa saya “pamit” dari dunia desain. Banyaknya tools dan template yang sangat mudah dipakai oleh pemula tanpa perlu teknik yang njlimet membuat setiap orang sepertinya dapat menjadi apa yang mereka inginkan dalam sekejap.
Tentu hal ini dapat menyebabkan sebuah ketidakseimbangan karena membuat rancu mana profesional dan para pendatang baru yang sebenarnya jika hasil karya mereka dapat terlihat mirip satu sama lain, sedangkan para audiens hampir-hampir tidak mempedulikan bagaimana proses di balik layarnya.
Bahkan, kehadiran para profesional amatir tersebut juga bisa merusak pasar karena banyaknya jumlah mereka sehingga mereka dengan beraninya memasang harga yang begitu rendah di hadapan calon klien mereka. Karya yang seharusnya bernilai tinggi, namun audiens yang kebanyakan bukan seorang ahli tidak akan menemukan banyak perbedaan dengan orang awam yang baru terjun di bidang itu hanya berbekal tools dan template yang lebih canggih.
Dulu, banyak sekali seniman legendaris yang begitu dikenal karena produk keahliannya yang unik dan alami. Mereka bahkan tetap dikenang hingga sekarang. Karya mereka dibuat dengan dedikasi tinggi tanpa harus terusik dengan iming-iming apresiasi di dunia industri digital.
Saya agak terusik jika saya menemukan perkumpulan yang hanya datang, masing-masing berkumpul di tempatnya yang mereka inginkan, main gadget, sibuk dengan urusannya masing-masing, kemudian pulang. Tidak ada pembicaraan-pembicaraan hangat kecuali sedikit.
Mereka yang berbincang-bincang, terkadang hanya membahas apa yang terjadi di dunia digital, membicarakan orang di internet dengan cakupan yang lebih luas, kemudian pulang.
Sosialisasi hari ini terkesan banyak kekakuan. Bahkan banyak dari kita yang merasa sudah tercukupi kebutuhan digitalnya, agak enggan untuk terjun ke dalam masalah orang lain (dalam hal ini bukan ikut campur) dan membantu untuk ikut menyelesaikannya.
Saya sendiri merasa teman saya jauh lebih banyak di media sosial daripada di dunia nyata, di mana lebih dari 70%nya tidak saya kenal sama sekali. Saya tidak tahu apakah itu sebuah prestasi atau hal yang buat prihatin.
Saya ingat dulu, teman-teman saya semuanya hanyalah mereka yang benar-benar saya temui wajahnya dan saya hangat dengan mereka, seratus persen.
Benar bahwa hari ini dunia kedokteran sudah semakin canggih dan mudah, namun ternyata selaras dengan tingkat polusi yang semakin hari semakin tinggi. Kalau dipikirkan lebih dalam, setiap saat kita selalu dihimpit radiasi dari pancaran sinyal telepon selular, radio, dan wifi. Untunglah itu bukanlah hal yang terlalu buruk jadi dapat sedikit diabaikan.
Mereka yang mungkin benar-benar sehat adalah para pegiat olahraga dan gym. Sisanya? Terlalu dimanjakan dengan kemudahan-kemudahan teknologi. Sebenarnya kemudahan teknologi adalah anugrah yang harus disyukuri, namun banyak orang menggunakannya sedikit terlalu berlebihan.
Saya sebenarnya agak kagum dengan orang-orang tua kita yang begitu tahan naik turun gunung hanya untuk berangkat ke sekolah. Saya sendiri terkadang baru mendaki beberapa anak tangga saja, betis saya sudah mengibarkan bendera putih.
Namun setidaknya saya tidak pernah menggunakan sepeda motor saya hanya untuk beli makanan ringan di minimarket. Saya berusaha.
Agak kontradiksi sebenarnya mengingat zaman dulu hiburan benar-benar begitu terbatas. Namun justru begitulah kenyataannya, beberapa orang yang selalu giat mencari hiburan di depan layar gadgetnya pada akhirnya akan mengeluh karena seluruh stok hiburannya pada hari itu sudah tidak ada yang dapat dinikmati lagi.
Sewaktu belum mengenal wifi, banyak sekali kegiatan yang saya lakukan di waktu senggang. Bahkan teman-teman saya yang dikenal malas pun ternyata tidak pernah mengeluh begitu bosan. Mereka cukup keluar rumah dan mereka dapat bertualang kemanapun yang mereka mau. Sesimpel itu.
Orang-orang zaman dulu begitu sering jalan-jalan ke taman, bercengkrama dengan siapa pun, menjalin hubungan, berolahraga, tanpa ada sedikit pun pemandangan orang yang diam di sudut taman hanya terpaku di depan layar gadgetnya saja.
Saya kaget saat saya lihat banyak anak kecil di bawah tujuh tahun yang getol dengan smartphonenya. Beberapa yang saya pergoki sedang bermain game, banyak sekali kata-kata yang tidak senonoh keluar dari mulutnya saat banyak orang-orang yang lebih tua di sekelilingnya.
Di era digital ini bahkan banyak sepertinya orang-orang yang jauh dari dewasa sudah ikut berbagai diskusi penting hanya untuk membuat komentar yang mengganggu. “Keyboard warrior”, begitu sebutannya untuk para pengguna media sosial yang senang mengganggu orang lain dengan perdebatan yang tidak pernah dapat diselesaikan.
Jika ditilik dari gaya berpakaian, banyak pula anak-anak di bawah umur yang berlomba-lomba tampil modis dengan mengabaikan bagaimana cara berpakaian yang dulu pernah diajarkan oleh orang tuanya.
Sebenarnya tujuan dari kemudahan dan kecanggihan teknologi di masa kini adalah untuk mempermudah aktivitas dan memberikan hiburan lebih kepada para manusia di dunia. Tetapi justru yang banyak terjadi adalah penggunaan yang tidak terkontrol karena ternyata masih banyak dari kalangan masyarakat yang belum siap menyambut era digital ini.
Tugas kita yang telah mengerti adalah terus memberikan langkah-langkah persuasif agar manfaat dari era kecanggihan teknologi ini benar-benar dapat dirasakan dan memang seharusnya dapat membawa kehidupan dan negara yang lebih makmur dan sejahtera.
Siapa di sini yang tidak ingin pekerjaannya selesai lebih cepat, pergaulan yang lebih luas, dan hiburan yang lebih ekstra? Jangan sampai tawaran-tawaran menggiurkan dari digitalisasi ini justru membuat semut mati karena gula.