Akhir-akhir ini entah kenapa istilah “syariah” begitu akrab di telinga kita yang sebagian besar muslim. Padahal dulu, menjalankan perintah agama seperti memakai hijab adalah sesuatu yang sepertinya dianggap sebelah mata oleh masyarakat di kala itu.
Bahkan saya ingat dahulu ibu saya pernah bercerita bahwa orang tua zaman dulu menghindari untuk menamai anak perempuannya dengan “Siti” karena alasan ‘martabat’. Benar, waktu itu nama “Siti” dianggap bukanlah nama yang memiliki derajat yang tinggi.
Sampai akhirnya muncul seorang penyanyi Melayu, Siti Nurhaliza yang mempopulerkan nama “Siti”. Jadi begitulah kurang lebih pandangan sebagian besar orang zaman dulu mengenai syariah.
Maka dari itu hari ini adalah sesuatu yang sebenarnya sangat baik jika istilah “syariah” begitu menggema dan bahkan tersemat dalam beberapa produk bisnis.
Jadi peristiwa ini adalah sebuah hal yang menyenangkan melihat antusiasme orang-orang, baik muslim atau bahkan non-muslim itu sendiri yang ikut berpartisipasi dalam membangun bisnis-bisnis yang bertema syariah karena pangsa pasar yang menjanjikan.
Sayangnya, di tengah gegap-gempita kaum muslimin termasuk diri saya sendiri menyambut gebyar syariah di negeri yang memiliki jumlah muslim terbanyak di dunia ini, di satu sisi saya semakin hari semakin merasa ada sesuatu yang tidak nyaman.
Mengapa bisa?
Hal pertama yang saya perhatikan adalah beberapa tahun silam saat bisnis transportasi online merebak dan setiap calon pebisnis berlomba-lomba membuat aplikasi layanan transportasi online.
Salah satunya ada bisnis layanan transportasi ojek online yang mengusung tema syariah. Saya sejujurnya tertarik dengan keunikan ini dan penasaran apa saja fitur yang dapat ditawarkan sebagai identitas untuk bersaing dengan layanan ojek online lainnya.
Pendirinya hanya berkata, “Layanan ojek ini dapat memilihkan pengendara yang satu mahram.”
Artinya, wanita yang memesan ojek online syariah hanya akan dapat pengendara yang juga wanita, begitu juga dengan pria.
Saya tidak ingat ada fitur “syariah” lainnya yang unik ditawarkan selain itu.
Kemudian ada bisnis hotel syariah yang ternyata fiturnya hanya memisahkan pria dan wanita yang belum menikah, tidak dapat tidur di kamar yang sama. Secara syariah yang berhubungan dengan zina, mungkin itu telah diterapkan.
Namun sayangnya, sewaktu saya berkunjung untuk menginap di hotel tersebut ternyata tidak memiliki pelayanan yang baik bahkan jauh dari profesional. Pegawai hotel yang tidak menyenangkan, listrik yang mati mendadak dan tidak ada tindak lanjut, serta kurangnya informasi seputar fasilitas hotel.
Terakhir, saya pernah membaca berita tentang wisata pendakian gunung syariah di salah satu provinsi. Lagi, fitur yang disajikan hanyalah pemisahan pendaki laki-laki dengan perempuan.
Saya seringkali bertanya, mengapa istilah syariah ini selalu dikaitkan dengan sesuatu yang berhubungan dengan jenis kelamin?
Sejauh yang saya tahu, bisnis syariah yang menawarkan hal lain di luar sesuatu yang berhubungan dengan gender baru dilakukan oleh bank syariah, yakni syariah mengenai muamalah atau bertransaksi secara Islam alias tanpa riba. Entah dengan murobahah atau mudorobah.
Sangat disayangkan banyak pengetahuan dari para muslim itu sendiri tentang syariah yang hanya berhubungan dengan pemisahan jenis kelamin khusus bagi mereka yang belum menikah. Atau mereka yang hanya menambah fitur syar’i lainnya seperti layanan mereka tutup di waktu salat. Tidak lebih.
Saya pernah lagi mendengar tentang bisnis syariah lainnya, hingga saya bangun dan berkata dengan agak keras, “Cukup dengan istilah syariah!”
Dear, listen! Sebenarnya sah-sah saja seseorang menggunakan istilah syar’i dalam produknya. Namun saya menjadi skeptis dengan layanan berbasis syariah tersebut karena ia membawa sebuah istilah yang agung.
Apakah pelayanannya adalah yang terbaik? Karena melayani pelanggan dengan baik adalah bagian dari syariat.
Apakah dia selalu berinovasi dengan produknya untuk memudahkan pelanggannya? Karena memudahkan suatu urusan adalah bagian dari syariat.
Apakah pegawainya selalu bekerja dengan maksimal dan tidak setengah-setengah dalam mengemban tugas mereka? Karena bekerja mencari nafkah dengan sungguh-sungguh adalah bagian dari syariat.
Apakah setiap manajemen dan kebijakannya mudah untuk dimengerti dan dilaksanakan? Karena informasi yang jelas adalah bagian dari pelayanan yang baik, yang mana itu juga bagian dari syariat.
Apakah customer servicenya benar-benar memahami masalah pelanggannya? Karena peka terhadap sesama pun bagian dari syariat.
Bahkan, apakah produknya ramah lingkungan? Karena hablum-minal-alam atau berhubungan dengan alam secara mengejutkan adalah bagian dari syariat pula.
Muslim yang baik seharusnya tahu atau pernah mendengar dalil yang berasal dari entah Al-Quran atau Hadits yang kurang lebih membahas mengenai:
Dengan ‘bermodal’ dalil-dalil tersebut, para pegiat usaha syariah haruslah jadi yang terdepan dalam sektornya. Bagaimana tidak? Seluruh aspek kebaikan dan upaya meraih hasil yang baik telah ditunjukkan lewat syariah. Bisnis syariah sudah sepantasnya jauh lebih inovatif karena Islam mendorong umatnya untuk berlomba-lomba dalam kebaikan, dan terus melakukan kemajuan yang baik dan memudahkan penggunanya.
Sangat disayangkan, banyak embel-embel syariah hari ini yang melekat dalam suatu bisnis, tidak lain tidak bukan hanya sebagai ‘lipstik’ semata.
Bahkan bisnis syariah berisiko menjerumuskan citra syariah itu sendiri kepada sesuatu yang buruk.
Jika usaha syariah hanya berhubungan dengan gender dan waktu salat semata namun tidak mengutamakan aspek pelayanan, aspek inovasi, dan aspek kejujuran, serta tidak melakukan banyak perbaikan, itu mungkin dapat dikatakan agak ‘menistakan’ istilah syariah itu sendiri karena membentuk stigma yang tidak menyenangkan di mata masyarakat.
Wallahu A’lam Bishshawaab