Sebelumnya, pengalaman saya ‘mengamuk’ di moda transportasi berbasis BRT ini melibatkan petugas OnBoard dan supir bus serta membuatnya ‘tidak berkutik’. Namun kali ini ada yang lebih menarik untuk saya tuangkan ke dalam tulisan yang mungkin sangat tidak jelas ini.

      Adalah saya, setelah pulang dari Batu Ampar mengunjungi salah seorang karib dengan menggunakan angkutan umum bernomor 07 yang melayani rute PGC – Condet, pada saat itu saya menemukan hal yang tidak biasa, supir angkot tersebut sangat sopan, bahkan mungkin lebih sopan dari apa-apa yang pernah saya temui di angkutan umum yang lain. Tentu hal itu membuat saya nyaman ‘berlama-lama’ di angkot tersebut hingga akhirnya saya tiba di PGC untuk melanjutkan perjalanan saya dengan Transjakarta Busway.

      Yang membuat saya malas semenjak ingin pulang dari Batu Ampar, adalah sistem ticketing yang tidak lagi memakai cash alias harus dengan e-ticket. Terpaksa saya harus menyiapkan 20.000 rupiah atau tetap dengan 3.500 rupiah namun saya harus jalan ke halte BKN. Kebetulan ada halte Pasar Kramat Jati yang dilewati dan terlihat kosong, membuat saya harus memutar desisi mengenai masalah ticketing dan kondisi dompet saya pada saat itu. Tetapi saya akhirnya memilih untuk tetap berhenti di PGC.

      Sambil berjalan menuju halte yang terletak di dalam pusat perbelanjaan tersebut, saya khawatir jika PGC 2 masih mewajibkan e-ticket. Kebetulan ada petugas barrier yang berdiri di depan pintu dan saya bertanya,

      “Mas, pakai e-ticket?”

      “Tiket, ada”, saya tidak tahu persis apa yang dia katakan, akhirnya saya menuju kasir untuk melihat jenis tiketnya.

      Alhamdulillah, ada cash. Jadi 20.000 rupiah terselamatkan, hehe… Saya pun segera menyiapkan uang sebanyak 3.500 untuk ditukarkan dengan tiket kertasnya. Eh, ternyata tiket kertasnya sudah ada di depan saya dari tadi, saya kira itu sudah tidak terpakai karena kondisi sobekannya yang sangat tidak rapi.

      Saya langsung menyerahkan tiket tersebut kepada petugas barrier agar saya bisa masuk ke lokasi halte untuk menunggu bus. Setelah barrier itu menerima, ada seseorang yang bertanya masalah penggunaan e-ticket, barrier tersebut sepertinya sedang BT atau sesuatu, memberikan jawaban seenaknya yang saya sendiri tidak begitu senang melihatnya. Kemudian barrier tersebut mengengok ke arah saya sambil ‘ngedumel’ kasar namun tidak jelas apa maksudnya dan di tangannya masih terpegang tiket saya yang belum disobek.

      Saya maju untuk masuk ke dalam lokasi halte tempat menunggu bus dan saya lihat barrier tersebut masih ‘ngedumel’ setengah mengomel ke arah yang saya sendiri tidak tahu ke mana dengan raut muka yang sangat tidak enak dilihat tepat di depan wajah saya. Emosi saya memuncak, saya kemudian memutar besi barrier dengan perasaan yang tidak karuan. Pikiran saya bukan saya ingin membela diri atau sesuatu, yang saya pikirkan adalah ketika saya membayangkan tujuan omelan barrier itu adalah lansia, orang lemah, atau orang yang baru menggunakan moda transportasi BRT Jakarta. Pikiran saya campur aduk akan tiga hal, wajah ekstrim petugas barrier tersebut, bayangan pikiran saya tadi, dan memang perasaan saya yang memang ketika itu sedang campur aduk. Jadinya,,,

      “Mas, yang sopan ya!” Saya tidak tahu apakah saat itu saya membentak atau tidak.

      Melihat saya tidak digubris petugas barrier tersebut bahkan dia malah menatap wajah saya terus, saya tambah tidak senang.

       “Nomor punggungnya berapa sih!”

       Saya langsung menuju posisi punggung petugas tersebut namun dia justru memutar badannya hingga saya tidak dapat melihat nomor punggungnya kecuali hanya terlihat ada angka 2 di awal penomorannya. Petugas barrier itu pun melihat ke arah saya sambil senyum kecut nan meringis seperti ada suatu hal yang dia tidak inginkan.

       “Saya laporkan ke BLU Cawang ya!”

       Saya sadar nada ucapan saya semakin meninggi sambil menjauhi petugas tersebut untuk menunggu bus, mata saya tetap melotot tajam ke arah dia. Saya sebenarnya tidak ingin demikian karena mungkin bisa membuat masalah. Saya ingin foto tapi hanya bermodal kamera smartphone yang pikselnya tidak bisa diandalkan dari jauh. Akhirnya petugas tersebut melayani dengan senyum, dan seorang ibu-ibu pun masuk ke area tunggu.

       Karena emosi saya masih memuncak, -ya Allah, kenapa manajemen emosi saya buruk sekali?- saya pun menghampiri ibu-ibu tersebut dan bertanya,

       “Bu, petugas itu sopan tidak ke ibu?”

       “Sopan, iya sopan.” Jawab ibu tersebut, dengan nada yang seperti tidak rileks.

       “Kalo petugasnya tidak sopan laporin aja bu! Nggak boleh kayak gitu (petugasnya).”

       Sesaat petugas melihat kepada saya dan saya masih melihatnya dengan tidak senang sehingga petugas barrier tersebut menolehkan muka kembali ke asalnya. Dan ibu-ibu tersebut melanjutkan,

       “Iya, tadi memang dia jawabnya dengan ‘boring’.” Katanya sambil duduk.

       “Tadi saya sudah beri peringatan, akhirnya dia senyum juga.” kata saya.

       Ibu-ibu itu mengangguk dan saya lanjut berbicara serta berterima kasih padanya lalu menuju ke arah bus yang memang sudah datang. Mungkin aksi saya tadi dilihat oleh penumpang lainnya yang jumlahnya lumayan banyak. Ketika saya ingin masuk bus, saya lihat petugas barriernya tidak ada di tempat, pikiran saya mungkin berdiri kembali di tempat waktu saya bertemu dia pertama kali. Namun ketika bus sudah mulai jalan, lewat kaca bus dan kaca halte saya lihat barrier tersebut kembali lagi dengan tanpa rompi merah yang ada nomor punggungnya! Dia melepasnya!

       Apa-apaan!

Suka
Komentar
pos ke FB
pos ke X
🤗 Selesai! 🤗
Punya uneg-uneg atau saran artikel untuk Anandastoon?
Yuk isi formulir berikut. Gak sampe 5 menit kok ~

  • Sebelumnya
    Pengalaman Pertama Saya ‘Mengamuk’ di Bus Transjakarta

    Berikutnya
    Watak Bukanlah Hal Kondisional


  • 0 Jejak Manis yang Ditinggalkan

    Mohon maaf komentar telah ditutup.

    Kembali
    Ke Atas